PPHN Diperlukan, Syarief Hasan: Tapi Jalan Masih Terjal

Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan , dalam diskusi “Haluan Negara sebagai Kaidah Penuntun Pembangunan Nasional,” , Sabtu .(23/10). 

Jakarta, Bhirawa.
Menurut para Pimpinan MPR RI Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN, dulu GBHN) diperlukan guna menentukan arah dan tujuan pembangunan Indonesia, untuk kurun waktu hingga 100 tahun kedepan. Namun diperlukan perangkat hukum, guna mengikat Presiden dan Kepala Daerah serta penyelenggara negara lainnya untuk mentaatinya.

“PPHN itu sangat dibutuhkan bagi kepentingan bangsa dan negara. Dengan PPHN rakyat akan mengetahui arah, tujuan dan pencapaian pembangunan. Agar PPHN ini bisa mengikat, maka harus memiliki konsekuensi hukum. Kalau tidak, maka PPHN itu tak ada gunanya,” papar Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan (Demokrat), dalam diskusi “Haluan Negara sebagai Kaidah Penuntun Pembangunan Nasional,” , akhir pekan. 

Hadir para pimpinan MPR RI lainnya, Dr Arsul Sani (PPP), Januar Prihatin (PKB), Ledya Hanifah Amali (PKS). Didampingi Sekjen MPR RI Dr. Ma’ruf Cahyono, Kabiro Humas MPR Siti Fauziah, Kabag pemberitaan MPR Budi Muliawan, Plt Kabiro Pemberitaan MPR Joko Anggoro.

Syarief Hasan lebih jauh, konsekuensi hukum bisa dalam bentuk UU, TAP MPR atau konstitusi. Namun, jika dalam bentuk UU akan terjadi pergeseran sistem ketatanegaraan. Khususnya terkait Pilpres langsung oleh rakyat yang diatur oleh UU Pemilu.

Disebutkan, khusus sanksi pada Presiden, bukan berarti impeachment atau pelanggaran. Karena hal itu sudah diatur tersendiri melalui tatacara pemberhentian Presiden berdasarkan pasal 7B UUD 45.

Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani berujar; PPHN merupakan Haluan Negara, bukan Haluan pemerintah. Jadi bukan hanya Presiden yang menjalankan PPHN, tetapi juga lembaga tinggi negara dan Kepala Daerah. Lembaga negara yang dimaksud adalah  MA, MK dsb.

“Dalam PPHN itu harus ada sanksi, sebagai konsekuensi konstitusional nya. Jadi PPHN ini butuh payung hukum. Mungkin dalam bentuk TAP MPR saja, sudah cukup, bisa cepat selesai, ” papar Arsul Sani.

Ledia Hanifa Amalia mengatakan, PPHN harus dikaji, baik terkait sosial politik, ekonomi dsb. Apakah dalam bentuk UU, TAP MPR atau amandemen. Yang utama, harus ada konsekuensi hukumnya, kalau tidak menjalankan PPHN.

Januar Prihatin menyatakan, walaupun PPHN memang diperlukan, tetapi jalan masih buntu. Ada tembok kuat untuk menjadikan PPHN sebagai dokumen Negara. PPHN, harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun dia optimis, PPHN akan didukung sebagian besar masyarakat Indonesia. , Sebagaimana halnya GBHN jaman Orde Baru dulu.

Sekjen MPR RI Dr Ma’ruf Cahyono mengajak wartawan Parlemen untuk membangun kebersamaan. Dengan kebersamaan, banyak hal yang bisa dipahami bersama. Sehingga semua kerja Parlemen dan hasilnya, bisa sampai dan diketahui oleh rakyat Indonesia. (ira).  

Tags: