Prahara Pemberantasan Korupsi dan Ancaman Plutokrasi

Oleh:
Muh Kamarullah
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang, pemerhati isu sosial politik nasional dan Internasional.

Kita semua menganggap bahwa reformasi 1998 merupakan titik awal dimana tatanan kehidupan bernegara akan dibentuk secara demokratis, dan bersih dari sistem yang koruptif. Ketika bergantinya rezim serta sistem politik, kita semua berharap agar muncul harapan dan semangat baru untuk membebaskan negeri ini dari belenggu korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Pasca orde baru yang sudah lebih dari 20 tahun ini, ikhtiar membangun infrastruktur untuk memberantas korupsi dibilang cukup lengkap. Institusi besar yang dinaungi payung hukum kuat seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibikin agar orang-orang yang diyakini ahli dan berintegritas mampu bekerja tanpa tebang pilih. Pendidikan dan kampanye anti-korupsi digelar dimana-mana. Undang-undang digarap agar tindak pidana korupsi dapat ditegakkan tanpa pandang bulu. Bahkan organisasi sipil seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) yang fokus memberantas korupsi diluar sistem pun telah ada.

Tetapi korupsi tetap masih ada, merebak di mana-mana. Praktik korupsi seakan menjadi perkara lumrah mulai dari pusat, daerah, hingga unit terkecil pemerintahan baik kelurahan dan desa. Padahal kita telah bersepakat bahwa korupsi adalah tindakan yang merugikan masyarakat banyak. Berulang kali para pakar hukum dan kelompok anti-korupsi (civil society) telah mengingatkan bahwa korupsi akan membawa bangsa ini pada jurang kejumudan. Sehingga siapapun yang melakukan korupsi, negara harusnya bersikap no tolerant.

Bahkan Indonesia dulunya telah dikenal sebagai The Sick Man of Asia karena menguatnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) ketika rezim otoritarianisme Orba berkuasa. Lantas, apakah bangsa ini sedang berencana kembali pada sejarah kelam itu?

Ancaman Plutokrasi.

Korupsi yang menyandera pejabat publik akan berakibat pada menguatnya sistem politik yang dikuasai oleh pemilik modal atau plutokrasi. Nurul Akhmad dalam “Ensiklopedia Penyelenggaraan Pemerintahan (2010)”, mengungkapkan plutokrasi sebagai sebuah sistem yang meyakini bahwa untuk mencapai tujuan tertentu membutuhkan modal atau biaya yang mahal. Dibalik itu semua juga terselip kepentingan untuk mempertahankan kekayaan negara. Brutalnya, pemilik modal memiliki mekanisme tertentu demi meraih keuntungan. Dan pemerintah justru memfasilitasinya dalam bentuk kebijakan.

Ironisnya, kawin silang antara pemilik modal dan pemerintah berujung pada praktik korupsi yang justru sangat masif. Aktornya tidak tunggal. Ia berjejaring, dan saling menyelamatkan. Mereka bukan orang asing yang jauh dari kita. Lebih jelasnya, mereka adalah pebisnis kelas kakap, petinggi partai politik, para pemangku kebijakan ditataran legislatif, eksekutif hingga penegak hukum.

Sebuah sistem yang sepertinya sengaja didesain dan dipertontonkan tanpa malu-malu. Sindikalisme korupsi atau persekongkolan antara pemodal dan politisi yang sangat rapih dibalik regulasi dan deregulasi yang cocok dengan model neoliberalisme atau pro-pasar saat ini.

Lantas, salahkan jika menyebutkan negara (baca: pemerintah) ini dikelola oleh para koruptor! Sebagian dari kita akan bersepakat. Fakta bahwa korupsi hari-hari ini mulai dari pusat hingga daerah hampir semuanya adalah para pejabat pemerintahan. Masih lekat diingatan, kasus korupsi masal oleh 41 dari total 45 anggota DPRD kota Malang ditangkap. Korupsi benih lobster dan dana bantua sosial dilakukan oleh pejabat publik setingkat menteri. Dan masih banyak lagi kasus yang masih belum terselesaikan; BLBI, Bank Century, Jiwasraya, serta tersangka yang masih berstatus buronan.

Selama ini upaya pencegahan korupsi yang dilakukan oleh KPK sudah cukup baik. Seperti kewajiban Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), pembentukan unit Pengendalian Gratifikasi, membangun zona integrasi dan memanfaatkan sistem informasi dan layanan ketenagakerjaan secara digital untuk memangkas potensi korupsi. Pimpinan KPK juga telah berganti berulang kali. Namun demikian, KPK sendiri juga menjadi bagian dari persoalan korupsi itu sendiri. Aparat penegak hukum lainnya, seperti polri juga tidak mampu memposisikan dirinya sebagai penjaga keadilan.

Artinya komitmen kelembagaan saja tidak cukup. Sebab keberhasilan pemberantasan korupsi bukan diukur dari seberapa banyak koruptor yang ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Bukan pula seberapa banyak uang negara yang diselamatkan. Tetapi, tantangan terbesar bagi pemberantasan korupsi saat ini adalah kelompok kepentingan (oligarki) ekonomi dan politik dibalik regulasi yang mereka canangkan itu.

Bahkan tidak jarang, konflik terbuka antar penegak hukum sering terjadi. Fenomena cicak vs buaya pada 2009 yang mengkategorikan posisi KPK sebagai cicak dan polisi sebagai buaya, menunjukkan ketidak beresan ditubuh penegak hukum di negara ini. Potret ini menunjukkan KPK dan kepolisian sebagai penegak hukum semakin tidak diharapkan.

Kolaborasi yang mantap antara pemilik modal dan politisi dengan fasilitas kekuasaan ini menyuburkan praktik korupsi yang semakin mantap pula. Sebagaimana yang dijelaskan R. Robinson dan Vedi R Hadiz dalam Reorganising Power in Indonesia (2004), kuasa para oligark ini tidak ikut runtuh pasca reformasi. Sebaliknya, mereka justru menyesuaikan diri dengan desentralisasi yang juga cocok dengan model ekonomi-politik yang pro-pasar. Artinya, rezim saat ini tidak beda jauh dari rezim orde baru kala itu. Budaya korupsi dipupuk subur dan mendapat tempat yang nyaman.

Model pemerintahan oligark ini sejatinya ancaman bagi bangsa ini. Karena konsekuensi logisnya adalah kekayaan akan terkonsentrasi pada segelintir orang. Yaitu para pebisnis. Atau bisa saja pebisnis yang sekaligus merangkap sebagai politisi. Mereka dengan mudah melakukan korupsi, sebab akses dan kekuasaan yang mereka miliki. Akibatnya, distribusi atas kekayaan negara yang dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat menjadi mandek.

Lantas kepada siapa kita akan berharap, Presiden serta jajaran kabinetnya? Rasa-rasanya tidak. Mulai dari presiden Joko Widodo, para menko dan sejumlah mentri lainnya berlatar belakang pengusaha. Kepada wakil rakyat, kah? Sayangnya, dapat dipastikan suara pertolongan kita sulit terdengar hingga ke Senayan, Jakarta.

Belum lagi, jika melihat komposisi anggota DPR RI kita saat ini yang agaknya miris. Sebanyak 262 atau 45,5 persen dari total 575 kursi DPR-RI diduduki oleh mereka yang terafiliasi dengan perusahaan. Tercatat 262 orang itu menduduki posisi komisaris, pemilik saham, hingga duduk di kursi direksi di 1.016 perusahaan yang bergerak di sektor penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif.

——— *** ———.

Tags: