Praktik Kekerasan Anak Cemari Dunia Pendidikan

Secara tertutup, Kepala Dindik Surabaya Ikhsan saat memintai keterangan Singgih Prio Hardianto, guru olahraga SDN Dr Soetomo atas tindakannya melakukan pemukulan terhadap Gladys dan teman-temannya. [adit hananta utama]

Wali Murid SDN Dr Soetomo Laporkan Oknum Guru Hobi Main Pukul
Dindik Surabaya, Bhirawa
Dunia pendidikan kembali dicemari dengan praktik kekerasan terhadap anak. Ironisnya, peristiwa memilukan itu justru melibatkan tenaga pendidik yang seharusnya mendidik dengan kasih sayang dan menyenangkan.
Fakta memprihatinkan itu dialami sejumlah siswa di SDN Dr Soetomo Surabaya. Hingga akhirnya salah seorang wali murid memberanikan diri melaporkan tindakan guru yang hobi main pukul kepada sekolah, Rabu (8/2). Peristiwa ini tidak hanya menarik perhatian pihak sekolah, melainkan juga aparat penegak hukum, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan Bapemas Kota Surabaya.
“Kita dikejutkan dengan berita hari ini (kemarin). Karena itu, bersama-sama Dinas Kesehatan dan psikolog akan memantau pembelajaran adek Gladys selama beberapa hari ke depan,” terang Kepala Dindik Surabaya Ikhsan saat mendatangi sekolah yang berlokasi di Kupang Segunting 3 Surabaya itu.
Ikhsan membenarkan bahwa Gladys Ramadhani (10) telah menjadi korban kekerasan oleh guru olahraga SDN Dr Soetomo Singgih Priyo Hardianto. Karena itu, pihaknya berjanji akan melakukan evaluasi bersama seluruh komponen sekolah terkait perlindungan terhadap hak-hak anak.
“Pihak polisi juga sudah memfasilitasi jika orangtua mau melanjutkan ke ranah hukum. Namun,pihak keluarga hanya meminta mediasi untuk keberlangsungan sekolah Gladys,” tutur Ikhsan.
Kendati demikian, sanksi terhadap guru berstatus tidak tetap itu bukan berarti hangus. Ikhsan mengaku akan melakukan investigasi untuk menentukan sanksi yang tepat untuk oknum guru tersebut. Terkait temuan lain yang juga dilakukan oleh oknum yang sama, Ikhsan belum bisa memberi keterangan. Hanya saja, peristiwa ini akan segera disikapi dengan memberikan pemahaman kepada guru terkait aturan perlindungan anak. “Sementara hanya Gladys yang akan ditangani. Tapi kita tetap akan sosialisasi tentang perlindungan anak. Sebab bukan hanya Gladys yang menjadi korban,” tutur dia.
Maria Goretti Yeti Rusdiana (42), orangtua Gladys berharap tindakan kekerasan di sekolah puterinya segera dihapuskan. Ini karena puteri bungsunya telah menjadi korban dan harus mengalami luka di bagian kepala usai mengikuti pelajaran olahraga. Menurut keterangan Maria, puterinya mengaku dipukul saat mengikuti pelajaran olahraga oleh gurunya.
“Jadwal olahraga 06.30, anaknya nggak telat juga karena dekat rumah dia jalan kaki. Rumahnya di depan sekolah. Tapi pulangnya mengeluh kepalanya sakit, saya lihat ada luka dengan darah kering,” ungkapnya.
Dikatakan Maria, usai diberi obat antiseptik, Gladys mengeluh pusing dan dan beristirahat. Sore harinya Gladys dibawa ke klinik memakai BPJS, saat Maria meminta surat keterangan luka di kepala Gladys, dokter memintanya untuk langsung ke UGB RSUD Dr Soetomo. “Nggak ada niatan melaporkan polisi, cuma ingin nggak ada tindak kekerasan, sekaligus jangan ngecing (mengincar) anak saya,”jelasnya.
Selain Gladys, sejumlah siswa juga mengaku pernah mengalami tindakan kekerasan yang sama. Salah satunya ialah Rachel Jessica Rivera (10) teman sekelas Gladys. Dia juga mengalami hal yang sama pada jam kegiatan olahraga pekan lalu. Rachel juga menerima pukulan dengan menggunakan pipa plastik.
“Waktu itu pelajaran loncat-loncat, saya nggak menghitung. Jadi dipukul biar dihitung, dijewer juga. Dipukulnya di sini, “ucapnya sambil menunjukkan bagian pinggang sebelah kanan yang pernah terkena pukulan guru olahraganya.
Rachel mengungkapkan tidak ingat pasti luka memar akibat pemukulan tersebut. Ia juga tidak berani mengadu ataupun menangis mendapat perlakuan tersebut dari gurunya. Apalagi saat melihat temannya, Gladys dipukul dengan batang sapu yang sudah patah. “Ada 4 teman saya yang sudah dipukul. Kalau Gladys dipukul 2 kali, pas berhenti loncat kepalanya dipukul, terus Gladys misuh (mengumpat). Kemudian dipukul lagi sama pak guru,” ujarnya.
Anggota Dewan Pendidikan Surabaya Didik YRP mengungkapkan, kekerasan pada anak kerap terjadi karena dua hal. Pertama emosi guru yang tidak stabil. Kedua pemahaman guru terhadap upaya pencegahan tindak kekerasan di satuan pendidikan kurang. “Apapun alasannya, berat atau kekerasan ringan. Itu tidak bisa dibenarkan,” kata Didik.
Menurut dia, ada cara yang lebih tepat untuk mendidik anak jika memang ditemukan melakukan penyimpangan. Karena pada dasarnya memberi sanksi juga merupakan hak seorang guru. “Tetapi positif disiplin itu bisa dilakukan tanpa harus dengan kekerasan. Misal memberi sanksi dengan menghafal Pancasila atau membaca alquran. Itu pun harus secara wajar,” kata dia.
Sementara itu, Kepala SDN Dr Soetomo Rusdjati Kusuma W menuturkan, pihaknya hanya akan memberikan sanksi berupa peringatan ke guru olahraganya.  Sebab, dari pihak keluarga sendiri tidak ingin melanjutkan ke meja hukum. “Sudah tuntas masalahnya dan nanti akan saya panggil secara pribadi untuk mendapat pringatan,” kata Rusdjati.
Di sekolah tersebut, Singgih telah mengajar selama lima tahun. Selama itu, pihak sekolah selama ini tidak pernah melihat dan mendengar keluhan adanya kekerasan di sekolah. “Bilangnya Pak Singgih itu spontan saja, soalnya anaknya misuh, makanya dipukul, dijewer dan diperingatkan,” pungkasnya. [tam]

Tags: