Presiden Akhiri Kriminalisasi

Save KPKDENGAN hak konstitusi, presiden minta kriminalisasi terhadap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dihentikan. Juga kriminalisasi terhadap pendukung KPK. Sehingga bukan hanya penghentian status tersangka komisioner KPK (Abraham Samad dan Bambang Widjojanto). Melainkan juga terhadap penyidik, dan seluruh pegawai, serta pihak yang mendukung KPK. Pengamat dan paparan jurnalistik yang mendukung KPK juga tidak boleh dikriminalisasi.
Sejak awal, Presiden Jokowi sudah wanti-wanti, tidak boleh ada kriminalisasi. Tidak boleh terjadi sangkaan tindak kriminal hasil rekayasa, atau dicari-cari. Semua (tuduhan dan sangkaan) harus berdasar alat bukti yang kuat, urgen, dan tidak menabrak kepatutan. Serta tidak menciderai asas keadilan. Penghentian kriminalisasi terhadap KPK dan pendukungnya, ditegaskan presiden ketika berkunjung ke Ponorogo Jawa Timur (Kamis, 5 Maret 2015). Perintah presiden ini wajib dipatuhi.
Siapa bilang presiden tidak boleh mengendalikan kinerja Kepolisian dan Kejaksaan? Hak mandatory presiden memiliki kewenangan “campur tangan” pada proses hukum, yakni sebelum dan sesudah Pengadilan. Hal itu merupakan konsekuensi kedudukan presiden sebagai Kepala Negara. Karena itu UUD pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) memberi hak “campur tangan” sesudah Pengadilan.
Hak “campur tangan” terhadap Kepolisian dan Kejaksaan diatur dalam UU (undang-undang) tentang Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, pasal 8 ayat (1) dinyatakan, secara tekstual, “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.” Pada ayat (2) semakin dipertegas, bahwa Kapolri (sebagai pimpinan tertinggi Polisi RI) bertanggungjawab kepada Presiden.
Maka dalam perspektif ketatanegaraan, pola hubungan presiden dengan Kapolri dan seluruh personel kepolisian adalah hubungan antara atasan dengan bawahan. Mestilah dibedakan, antara kekuasaan kehakiman (Pengadilan) dengan pelaksana proses hukum sebelum dan sesudah pengadilan. Ranah Pengadilan, diamanatkan UUD pasal 24 ayat (1), yakni “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Kepolisian dan kejaksaan, nyata-nyata bukan bagian dari institusi Kehakiman (Pengadilan). Pada bagan trias politika (eksekutif, legislatif dan yudikatif), Kepolisian dan Kejaksaan terliput dalam kelompok eksekutif. Sebagai bagian dari pelaksana pemerintahan. Sehingga “campur tangan” presiden terhadap kinerja Kepolisian dan Kejaksaan, dijamin dalam UUD pasal 4 ayat (1). Dinyatakan, bahwa “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan…”
Sudah banyak desakan rakyat (kepada presiden) untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK. Ini penguatan moral secara sukarela, bukan dimobilisasi seperti lazimnya dukungan politik praktis. Bahkan jika presiden abai terhadap kriminalisasi KPK, maka rakyat akan menganggap presiden tidak memegang kekuasaan pemerintahan.
Jika tidak merespons suara rakyat, presiden akan kehilangan popularitas yang dibangun keras selama ini. Sebab (pembentukan) KPK merupakan amanat rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Lalu, lebih dikuatkan dengan Tap MPR Nomor VI tahun 2001. Di dalamnya berisi amanat memberhentikan atau pengunduran diri pejabat tinggi yang disangka tidak bersih.
Dua Ketetapan MPR berujung pada penerbitan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Tetapi pemberantasan korupsi di Indonesia masih dinilai rendah, karena kerapnya remisi. Lembaga superbody juga beberapa kali coba di-kriminalisasi. Ironisnya, kriminalisasi dilakukan oleh sesama lembaga penegak hukum. Polri satu-satunya lembaga pemerintahan yang sitemik melawan KPK.
Benarkah (pesimisme) bahwa penegak hukum tidak bisa dipercaya? Padahal lembaga inilah yang menjadi sumber daya manusia dalam rekrutmen komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sebenarnya masih banyak penegak hukum yang bersih dan profesional. Rekrutmen KPK, seyogianya bukan melalui pendaftaran, melainkan pilihan dari sederet tokoh masyarakat yang dedikatif, termasuk penegak hukum senior.

                                                                                                                    –——–   000   ———

Rate this article!
Tags: