Presiden Pilihan Rakyat

1398749354408212796Oleh :
Anhar Putra Iswanto
Mahasiswa Pascasarjana Univeritas Muhammadiyah Malang

Menjelang pemilu presiden (pilpres) 9 Juli mendatang, tidak ada hal yang lebih riuh di jagad Nusantara ini selain berita rivalitas Jokowi-Jusuf Kalla versus Prabowo-Hatta. Beberapa berita sebelumnya, seperti carut-marut pelaksanaan pemilu legislatif (pileg), pendidikan predator seksual diberbagai sekolah, dan kasus-kasus korupai nyaris tenggelam kabarnya. Semua pikiran, perasaan, dan diskursus ruang publik politik tertuju pada mereka.
Panggung politik dalam beberapa bulan ini menampilkan akrobat politik yang menguras energi, dan “mengaduk-aduk” emosi publik. Panasnya kontestasi partai politik menjelang pemilu dimulai ketika Abu Rizal Bakrie (ARB), meminjam istilah Amien Rais, mengorbankan dirinya untuk berkoalisi dengan Gerindra, PAN, PKS, PPP, untuk mengusung Prabowo-Hatta. Keputusan ARB ini oleh pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris disebut dengan “Koalisi di Tikungan Terakhir” (Kompas, 20/5/14). Bahkan, beberapa pengamat menyebutkan, koalisi Golkar menjadi faktor penentu dalam rivalitas kedua pasangan, meskipun Golkar mengalami konflik internal terutama di tingkat daerah. Sebagian kader Golkar justru membelot mendukung Jokowi-Jusuf Kalla.
Disaat hiruk pikuk kompetisi partai politik mengusung jagoannya, Partai Demokrat justru mengalami simalakama politik. Perolehan suaranya yang terjun bebas pada pileg lalu membuat Demokrat tidak dapat meloloskan capres hasil konvensinya. Membuat poros koalisi ketiga adalah mustahil bagi partai pemenang 2009 ini. Komunikasi politik Demokrat dengan PDIP juga tidak berbuah manis. Ini dapat dipahami dari hubungan SBY-Mega yang tidak akur selama 10 tahun terakhir.
Sementara itu, berkoalisi dengan Gerindra juga tidak dapat menaikkan posisi tawar (bargaining) politik Demokrat, karena koalisi Gerindra dikunci oleh Golkar. Maka, pilihan paling rasional bagi Demokrat adalah menempatkan diri di centra-koalisi-tanpa mendukung salah satu pasangan. Namun,  Demokrat tetap mempertimbangkan pososisinya di pemerintahan nanti.  Sebab, Demokrat tidak mau kehilangan posisinya dipemerintahan setelah 10 tahun memimpin pemerintahan. Posisi netral Demokrat sebenarnya adalah politik dua kaki untuk mengamankan posisinya dalam pemerintahan nanti.
Di atas kertas, koalisi Prabowo-Hatta unggul suara di parlemen dengan enam partai pendukung. Gerindra 73 kursi, PPP 39 kursi, PKS 40 kursi, dan PAN, 49, Golkar 91 kursi. Sedangkan PBB merupakan partai non parlemen. Dengan demikian, koalisi ini didukung oleh 292 kursi parlemen atau sekitar 52 persen perolehan kursi partai. Sementara kubu Jokowi-Jusuf Kalla didukung oleh empat partai pengusung. PDIP 109 kursi, Nasdem 35 kursi, PKB 47 kursi, dan Hanura 16 kursi. Maka koalisi ini didukung oleh 207 kursi parlemen atau 37 persen perolehan kursi partai.
Namun demikian, psikologi politik saat pilpres tidak berjalan linear dengan hasil pemilu legislatif. Pada pileg, pemilih sangat ditentukan afiliasi dengan partai politik tertentu, mapun dengan tokoh-tokoh dalam partai politik tersebut. Sementara pilpres sangat ditentukan oleh fugur kandidat dan sangat personal. Perolehan suara besar partai politik tidak dapat menjanjikan kemenangan dalam pilpres. Meskipun demikian, kemenangan juga ditentukan oleh kerja partai politik dan strategi yang masif dalam mengusung kandidat dan membingkai isu dalam kampanye.
Atas Nama Rakyat
Dalam rangka setting kampanye pemilu, “rakyat” adalah kata yang paling sering dinarasikan, diwacanakan, dan disebut dalam berbagai ruang publik. Masing-masing kandidat akan mempromosikan dirinya sebagai pasangan yang paling mampu mengatasi segala persolan rakyat. “Demi rakyat”, “untuk rakyat”, “atas nama rakyat”, akan menjadi idiom politik yang muncul setiap hari. Maka tidak berlebihan untuk menyebut pemilu sebagai arena partarungan memperebutkan rakyat, atau dalam istilah KH. Hazyim Muzadi, pemilu disebut sebagai “pembelian umum”, bukan pemilihan umum.
Sering kita mendengar “demi kepentingan rakyat”, dan kata lain yang diasosiasikan lansung kepada rakyat. Rakyat digunakan sebagai narasi politik yang terus menerus diwacanakan dalam momentum pemilu. Bahkan Calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Joko Widodo menggunakan kata “koalisi rakyat” dalam mendulang dukungan partai lain.
Rakyat adalah ruang kosong dan ganjil yang tidak memiliki representasi atas dirinya sendiri. Dalam rezim politik yang kapitalistik, sedari awal rakyat telah menyadari bahwa kekuasaannya sebagai demos telah dilucuti oleh kekuatan opini politik yang dibentuk oleh kekuatan ekonomi-politik-media. “Demi kepentingan rakyat” sejatinya hanyalah hegemoni opini yang bangun oleh kelompok kepentingan tertentu untuk memenangkan gagasannya (Donny Gahral Adian, Kompas, 4/12/12).
Dalam politik yang kapitalistik dimana uang, materi, dan ketenaran menjadi kekuatan utama, “rakyat” tidaklain adalah komoditi politik yang dipasarkan oleh kelompok pemodal. Rakyat tidak lagi menjadi subyek politik yang utuh, yang dalam pemaknaannya sebagi demos   dan kratos-the rule by the people, melainkan kekuasaan yang dikuasai oleh segelintir orang (the rule by anyone).
“Rakyat” yang selalu dikampanyekan dalam pemilu hanya kosakata politik yang tercerabut dari eksistensi substansialnya. Rakyat berubah menjadi obyek yang kerdil, miskin, dan harus dikasihani melalui berbagai bantuan dan subsisdi pemerintah. “Rakyat” secara terus menerus dinarasikan, diwacanakan, dan dilipat dalam wacana dan opini media sebagai obyek yang kerdil, miskin, dan tertinggal yang harus mendapatkan bantuan dan rasa belaskasih.
Dalam era kapitalisasi politik sekarang ini (terutama menjelang pemilu), rakyat adalah ruang kosong yang tidak memiliki representasi atas dirinya sendiri. “Atas nama rakyat”, “demi kepentingan rakyat” adalah hegemoni opini yang diciptakan kelompok terdidik untuk mencapai kekuasaan. Maka sebenarnya, narasi dan wanacana “demi rakyat” dalam kampanye politik sekedar opini yang dikemas rapi oleh kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan ekonomi-politik. Politik menurut Hans J. Morgenthau (1990) adalah upaya untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan semata.
Dalam ruang politik yang dikendalikan kuasa kapitalisme (uang dan pencitraan), rakyat tidak lagi menjadi subyek politik. Melainkan rakyat adalah obyek politik yang dikendalikan kekuatan uang dan pasar. Maka “rakyat” tidak lebih dari barang jualan dengan berbagai bentuk kemasaannya. Siapa yang memenangkan pertarungan adalah yang memiliki marketing paling menarik dalam memodifikasi rakyat sebagai produk politik.
Karena itu, demokrasi tidak akan pernah menemukan pembenarannya sebagai demos dan kratos dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi tereduksi menjadi tubuh yang dibingkai dalam artifisial politik. Rakyat sebagai kedaulatan demokrasi dibungkus ke dalam bahasa yang disimbolkan dengan berbagai tanda. Pada saat bersamaan, rakyat kehilangan transendentalitas sebagai subyek politik.
Menyambut pilpres 2014, sudah seharusnya kita disadarkan oleh berbagai bentuk simbol-simbol politik yang membosankan. Dari layar kaca kita melihat bagimana pesan yang ditampilkan para capres-cawapres tampak menggoda. Gaya berbicara yang terukur, sistematis, pakain yang tersimbol melalui warna yang dimaknai bersih, atau suci. Ini hanyalah klise untuk menutupi yang “sebenarnya”. Yang kita tuggu adalah presiden yang berani memikul semua persoalan rakyat dan dapat menyelesaikannya dengan baik.

————- *** ————–

Rate this article!
Presiden Pilihan Rakyat,5 / 5 ( 1votes )
Tags: