Prihatin Bahasa Ibu Mulai Ditinggalkan

Sujiwo Tedjo

Sujiwo Tedjo
Kekayaan budaya dan bahasa negeri ini sering mendapat pujian dunia. Sayangnya, justru mulai banyak generasi muda yang “malu” menggunakan bahasa ibu untuk berkomunikasi. Keprihatinan ini juga dirasakan budayawan Indonesia, Sujiwo Tedjo.
“Saya berbicara dengan salah satu teman saya yang seorang pengamat bahasa di UI. Dia bilang setiap tahun, kita kehilangan bahasa ibu dalam satu suku. Satu bahasa musnah di Indonesia Timur. Itu wajar bagi masyarakat sana, tapi bagi kita itu prihatin” Ungkap dia.
Melihat keadaan seperti itu, pria kelahiran Jember 56 tahun yang lalu ini menilai, jika sumpah pemuda tidak terlalu berarti untuk wilayah Jawa, Madura, Bali dan Sunda. Itu karena kosakata dari daerah tersebut memiliki pengucapan atau arti yang hampir sama.
“Namun jika kita berpergian di perbatasan Indonesia, tapatnya di daerah Indonesia Timur. Sebrang sungai sudah berbeda pengucapan dan makna,” sambung dia. Selain itu, ia menambahkan, musnahnya bahasa ibu di timur Indonesia atau berkurangnya penggunaan bahasa ibu dipengaruhi karena perkembangan gaya hidup dari tayangan sinetron.
“Kita lihat penggunaan dialog dalam sinetron saat ini tidak menggunakan bahasa dialog. Sinetron menggunakan bahasa loe gue, loe gue dan mengarah pada bahasa “ke-Jakarta-an”. Sedangkan anak-anak Indonesia mudah sekali terpengaruh. Itu yang membuat bahasa ibu makin berkurang penggunaannya, di samping rasa malu,” tutur pemilik nama lengkap Agus Hadi Sudjiwo ini. Menurutnya penggunaan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari dikatakan dapat membentuk kepribadian anak bangsa. Diakuinya, pemilikan kosakatan dari masing-masing daerah yang berbeda makna menyebabkan bahasa ibu melekat dengan ke hidupan sosial anak-anak. “Kalau kita pernah dengar, bahasa Jawa ada peribahasa Becik ketitik olo ketoro yang mengisyarakatkan perbuatan tercela dan kebaikan. Itu kan bisa menjadi pembelajaran bagi anak-anak kita” jelas dia.
Bagi budayawan yang pernah bermain dalam film Guru Bangsa : Tjokroaminoto, bahasa ibu adalah bahasa yang sangat diagungkan dalam kehidupan. Ia menganalogikan bahasa ibu sebagai sebuah ekosistem dalam persawahan pada era Sultan Agung. Di mana pada waktu itu, ekosistem menjadi stabil ketika lahan padi tercampur dengan berbagai tumbuhan. Namun, hal itu berbanding terbalik ketika masa pendudukan Belanda menyelaraskan tanaman padi untuk mendirikan persamaan monoculture pada tanaman padi.
“Jaman Sultan Agung, sawah multikulture, atau bisa dibilang lahan tanaman padi di campur berbagai tanaman lain. tapi jaman Belanda sawah menjadi monokulture atau lahan khusus padi. Mangkanya hingga saat ini, ekosistem sawah tidak stabil. Itu analogi saya untuk menjawab bahasa sebagai identitas bangsa” Jelas Sudjiwo Tedjo. Sehingga, untuk mempertahankan bahasa ibu demi menjaga identitas bangsa, Sudjiwo berpesan agar masyarakat Indonesia mulai mengajarkan bahasa ibu sejak masa pertumbuhan anak-anak. “Ayo kita pertahankan bahasa ibu. Ajari anak-anak kita sedari kecil menggunakan bahasa ibu. Ceritakan menggunakan bahasa ibu. Karena anak akan merekam apa yang kita ajarkan,” pungkas dia. [ina]

Tags: