Pro Kontra Mudik dan Pulkam

Oleh :
Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Univ. Muhammadiyah Malang (UMM)

Istilah mudik dan Pulang Kampung (Pulkam) mendadak aktual setelah wawancara Najwa Shibah dengan presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi viral. Yang menjadi viral bukan lagi isi wawancaranya tetapi istilah mudik dan pulkam yang juga dibahas.
Bagi Jokowi mudik dan Pulkam berbeda. Sebagaimana dikatakan dalam wawancara itu mudik menunjuk pada perpindahan orang dalam kurun waktu tertentu. Suatu saat seseorang yang mudik akan kembali ke tempat awalnya. Istilah mudik akrab dengan tradisi Lebaran. Banyak warga kota pulang ke kampung halaman untuk merayakan lebaran dan silaturahmi dengan keluarga dan sanak saudara. Setelah selesai, ia akan kembali ke kota.
Sementara itu Pulkam dimaknai sebagai kegiatan dimana seseorang tidak punya lagi gantungan hidup di perkotaan karena kondisi tertentu. Sebut saja sebagaimana yang terjadi saat ini akibat virus covid-19. Kenyataan itu memaksa orang Pulkam. Setelah Pulkam ia tidak lagi kembali ke kota.
Mudik dan Pulkam menjadi ramai lantaran kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dikeluarkan pemerintah. Pemerintah melarang mudik, tetapi tidak melarang Pulkam. Jadi sebelum pelarangan mudik, masyarakat bisa Pulkam. Soal ia akan kenbali lagi ke kota urusan nanti setelah wabah covid-19 berakhir.
Pertanyaannya adalah mengapa dua istilah itu mendadak ramai saat ini ? Kedua istilah itu pun sudah dipolitisasi sedemikian rupa. Berbagai sindiran, ejekan, lawakan dan gurauan penuh di media sosial kita. Ada yang mengatakan bahwa presiden berkelit dari kebijakan yang tidak cepat dan susbtansial dalam menangani Pandemi. PSBB seharusnya sudah dilaksakana sebulan lalu sehingga keluar masuk warga dan kendaraan bisa diantisipasi sejak awal.
Sementara ada yang mengatakan bahwa jawaban presiden sudah benar dan memang begitu perbedaannya. Jadi Pulkam boleh karena tidak akan balik lagi. Sementara mudik dilarang karena akan ada “rombongan” manusia memenuhi jalanan ke daerah sementara saat ini sudah diberlakukan PSBB. Daerah juga akan kewalahan menghadapi arus mudik.
Tentu dua pihak yang berbeda pendapat ini hal yang biasa. Tak ada kebijakan pemerintah yang dituruti atau ditolak seluruhnya. Namun, kedua belah pihak punya sejarah masing-masing kaitannya dengan kecenderungan aspirasi politiknya. Tetapi ada yang netral. Bagi kelompok terakhir, mudik dan Pulkam punya kesamaan yakni membuat orang berpindah tempat.
Masalah Kulit dan Isi
Pertanyaan sekali lagi, mengapa soal mudik dan Pulkam menjadi ramai? Masyarakat kita adalah masyarakat yang banyak mementingkan kulit daripada isi. Kebanyakan dari kita lebih fokus pada sesuatu yang tampak. Cara pandang yang kebanyakan ini membuat apa yang tampak dan hal sepele justru menjadi masalah yang diperhatikan dan diramaikan.
Karena itu tidak heran jika masyarakat kita cenderung akan percaya sepenuhnya jika sebuah makanan yang dibungkus atau restoran akan dianggap aman jika sudah ada label halal. Seolah dengan tempelan “100 persen halal” sudah benar-benar halal. Padahal halal yang dimaksud sebagai makanan yang benar-benar halal tidak semudah itu. Seolah jika tidak mengandung daging babi sudah bisa dikatakan halal.
Penyaji makanan pun juga tidak seratus persen salah. Sebab mereka hanya memanfaatkan psikologis masyarakat Islam di Indonesia. Seolah stempel halal itu sudah satu-satunya jaminan. Memang hal demikian juga ada benarnya, tetapi hal itu jangan membuat kita tak hati-hati. Kita terbiasa dengan label daripada isi.
Terhadap kebijakan pemerintah juga apa yang muncul di masyarakatpun masyarakat lebih mendiskusikannya pada sesuatu yang permukaan. Mudik dan pulkam memang ada bedanya secara bahasa dan arti. Namun keduanya bisa jadi punya tafsir beda karena tergantung siapa yang menangkap maknanya.
Dalam bahasa kebijakan publik kita di sekitar kita banyak kebijakan yang sekadar lips service. Ada berbagai polesan kebijakan yang hanya di permukaan. Misalnya, tak banyak kita mendesak diberlakukannya pendidikan karakter yang lebih mendasar. Kita hanya berorientasi pada sesuatu yang tampak dan bisa dilaksanakan segera sesuai tuntutan zaman. Bukan tidak baik hanya itu tak banyak manfaat dalam jangka panjang. Padahal pendidikan itu investasi jangka panjang.
Tak heran jika pemerintah sejak dahulu selalu ada usaha membangun fasilitas fisik. Pembangunan mental spiritual sebagaimana diamanatkan undang-undang tidak mendapat perhatian serius. Apakah pemerintah salah? Tidak seratus persen salah. Masalahnya masyarakat kita juga senang dengan hal-hal yang serba fisik; jalan tol, gedung-gedung pencakar langit dan pembangunan fisik lainnya. Meskipun masyarakat senang, tetapi pemerintah harus punya visi mendasar terkait pendidikan tersebut. Karena mereka pengambil kebijakan dan amanat undang-undang.
Akibatnya, kita sering mengeluarkan banyak kebijakan tetapi tak banyak yang menyentuh substansi isi. Ibaratnya, perubahan begitu banyaknya seperti sesuatu mengawang-awang di langit tetapi jarang bisa menyentuh tanah. Dalam bahasa Clifford Geerz itu sama dengan involusi pertanian. Masyarakat agraris di Indonesia banyak yang melakukan perubahan tentang cara mengelola pertanian, tetapi perubahannya hanya permukaan. Habis itu tidak membekas.
Bahu Membahu
Itulah beberapa fenomena dan dampak jika sesuatu hanya mementingkan permukaan dan bukan pada persoalan substansial. Cara pandang yang tidak tepat dari pemerintah akan membuat masyarakat ikut-ikutan melihatnya secara fisik dan permukaan. Bisa jadi PSBB itu hanya salah satu cara untuk mengindari kebijakan yang keras dan kuat seperti karantina wilayah.
Sementara itu karantina wilayah mensyaratkan pemerintah melaksanakan undang-undang yang memberikan santunan pada masyarakat yang terdampak covid-19. Kita paham bahwa tak mudah memutuskan kebijakan yang memuaskan semua pihak. Kita juga paham bahwa cadangan keuangan kita tidak mencukupi untuk melakukan karantina wilayah. Sementara banyak dana dikorupsi dan utang kita masih menumpuk. Pemerintah juga tak akan bisa lepas dari bayang-bayang sekelompok kecil orang yang secara ekonomi menguasasi kebijakan politik.
Kita saat ini hanya bisa berusaha dan saling bahu membahu agar wabah ini bisa selesai secepatnya. Kerugian juga tak hanya dirasakan masyarakat kebanyakan, mereka yang menjadi “penyokong” dan berpengaruh secara politik dalam pemerintahan juga tak kalah bingungnya. Hanya jika masyarakat mementingkan kebutuhan sehari-harinya, mereka mengamankan aset kekayaannya.
—————– *** —————–

Rate this article!
Tags: