Pro-Kontra Mudik dengan Mobdin

SusantoOleh:
Susanto
Penulis adalah Penulis Buku Perempuan, Sastra, Korupsi. Editor berbagai Buku. Alumnus Pascasarjana UNS Surakarta. Guru SMAN 3 Bojonegoro.

Lebaran dalam hitungan hari. Kalau tidak ada aral lebaran idul fitri jatuh tanggal 28 atau 29 Juli 2014. Momen  ini semua umat muslim akan merayakannya. Semuanya menyambutnya suka cita. Hal itu terlihat adanya denyut arus mudik yang mulai terasa. Arus lalu lintas mulai padat. Baik darat, laut, dan juga udara.
Adanya fenomena tersebut, sedikit banyak dan jujur harus kita akui membuat kesadaran ikut merasakan. Bagaimana tidak untuk bisa mudik ke kampung halaman rela mempertaruhkan jiwa dan raga. Rela berdesak-desakan yang terkadang nyawa menjadi taruhannya. Dan tak jarang pula, ngebut di jalan raya dengan motor agar cepat sampai di rumah untuk ketemu dengan keluarga di kampung halaman.
Terlepas fenomena mudik yang mulai terasa Minggu-Minggu H-7 ternyata permaslahan mudik juga menarik dicermati lebih lanjut. Masalah itu terkait  pro dan kontra keberadaan mobil dinas yang dipakai para pejabat saat mudik. Yang pro berpendapat bahwa dengan mobil dinas pejabat bisa langsung bisa cepat bergerak dan mengatasi manakala ada kondisi yang emergensi (baca: darurat) yang berkaitan dengan daerahnya kalau ada masalah. Sedangkan yang kontra berpendapat bahwa mudik dengan mobil dinas sama saja dengan memanfaatkan fasilitas negara dan sama dengan kategori korupsi meski bensin pakai uang pribadi. Dan itu sudah ketegori menyalahgunakan jabatan khususnya dalam korupsi fasilitas negara. Hal itu tercermin adanya larangan di Pemprov Sulsel bahwa mudik itu kan kunjungan atau kepentingan pribadi.Tentu kendaraan dinas, baik roda dua maupun empat tidak boleh digunakan. Begitu juga di Pemprov DKI Jakarta akan memberikan sanksi pejabat yang melanggar apabila mudik menggunakan mobdin atau kendaraan dinas saat lebaran (Jawa Pos, 12/7/2014).
Terkait permasalahan tersebut memunculkan pertanyaan yang harus kita sikapi jenih. Haruskah mudik sebagai sebuah  keharusan? Benarkah mudik harus kita paksakan? Ataukah karena keterpaksaan? Atau juga mudik, bukan sekedar rindu kampung halaman? Adakah relevansinya dengan hari raya idul fitri? Apa sih sebenarnya dibalik mudik? Adakah nilai-nilai spritualitas mudik? Dan haruskah memakai kendaran/mobdin bagi para pejabat? Mudik memakai mobdin sama dengan korupsi?
Esensi Mudik
Mudik kekampung halaman adalah bagain terpenting dalam kehidupan. Yang perlu dicatat dipahami dari tradisi mudik adalah mentradisikan nilai-nilai secara kultural. Artinya apa yang dilakukan oleh orang kota (baca: orang perantauan)  kepada orang desa (baca: kampung halaman) bahwa sesuangguhnya bahwa orang desa masih memegang teguh prinsip dan juga lebih menghargai hakiki kehidupan. Meski mereka merantau ke kota masih tetap ngugemi. Tak lapuk oleh globalisasi kehidupan. Mereka masih tidak pudar atau kehilangan apa yang menjadi “darah’ dalam kehidupan yang telah diwariskan oleh nenek moyang meraka. Dalam konteks yang demikian, mudik sesungguhnya adalah kuatnya ikatan batin  yang terpatri dalam kehidupan yang sarat nilai-nilai. Mudik adalah sikap  untuk tetap mentradisikan dan selalu menjunjung harkat dan sisi humanisme kepada orang tua, kerabat, dan juga kampung halaman.
Memang dengan mudik terjadi semacam polarisai nilai-nilai kehidupan. Adanya perbedaan nilai yang menonjol antara desa sebagai simbol (kampung halaman) dan kota sebagai simbol (modernisasi) terletak pada intensitas respon daya-daya manusiawi atas daya-daya alami. Dengan kata lain, kota lebih kultur, sebab di sini daya-daya manusia selalu tampak kuat untuk mengatasi determinasi alam. Sedangkan desa lebih “nature”, di sini manusia lebih ditaklukan oleh daya-daya alam, dengan atas nama keseimbangan dengan alam. Sehingga para sosiolog memperlihatkannya dengan menunjuk fakta bahwa kota merupakan tempat-tempat pusat industri, kantong mobilitas ekonomi, dan pusat kekuasaan yang membuat keputusan-keputusan khalayak. Dalam kondisi yang demikian, tentunya kota yang lebih metropolis secara jelas dapat dikatakan simbol pertumbuhan budaya. Sedangkan desa yang pada tataran ini lebih diposisikan sebagai budaya alami yang belum terkontaminasi berbagai ‘kepentingan’ budaya  modernisasi. Al hasil dengan adanya mudik tentunya orang perantauan akan meresa terefresh atau sehat kembali karena selama di kota nilai-nilai yang didapatkan kadang tidak sesuai dengan kondisi riil masa lalu atau  dengan nilai-nilai kehidupan yang mereka anut atau dapatkan saat di kampung halaman mereka dahulu.
Pakai Mobdin=Korupsi?
Mudik sebagai sebuah realitas sosial budaya dalam masyarakat tentunya bukanlah sesuatu yang tanda dasar. Artinya, fenomena mudik adalah sebuah potret budaya yang perlu disikapi secara jernih. Paling tidak ada beberapa hal yang patut kita renungkan kembali tentang mudik. Ada motivasi yang melatarbelakanginya. Pertama, mudik bukan semata-mata karena momentum perayaan Idul Fitri atau hari lebaran semata. Hari Raya Idul Fitri adalah medium untuk mempertemukan kembali “kefitrahan’ atau kesucian diantara manusia. Sebagai sebuah medium yang memungkinkan proses mudik terjadi. Karena pulang ke kampung halaman di luar Idul Fitri, meski banyak ditempuh oleh komunitas perantauan. Inilah letak keunikan kultur atau budaya mudik. Dengan demikian, mudik yang terjadi pada saat menjelang lebaran idul fitri memberikan relevansi bahwa ada dorongan kuat untuk merefleksi dan “memuqasabah” diri dengan sungkem bersama keluarga dan handai tolan.
Kedua, tradisi mudik menggambarkan masih kuatnya ikatan primordial masyarakat. Mengingat kondisi yang demikian, tentunya kemudian seorang individu dari rantauan tidaklah salah. Pada dasarnya, mereka begitu karena ada identitas diri yang melekat pada harkat kemanusiaannya.Mereka bangga bila keakuan merasa terhargai. Adalah sah-sah saja bila moment mudik dijadikan mengingat daerah kelahiran. Sebab bagaimanapun para perantauan yang mudik pada umumnya justru menjadi “sinterklas” atau memberikan manfaat bagi keluarga, tetangga, dan juga kampung halamannya. Jarang sekali para perantau yang mudik menjadi “virus”, akan tetapi justru mereka memberikan warna baru baik yang yang menyangkut modernisasi kota dan kesuksesan selama dirantau. Selama mudik bukanlah seberapa banyak uang yang mereka dapatkan atau seberapa mewah mobil yang dinaiki. Akan tetapi spirit mereka untuk sukses itu bagaimana. Dengan bahasa yang sederhana, perantau atau pemudik yang baik bukan bercerita tentang harta mereka yang dibawa pulang dan yang telah mereka miliki akan tetapi lebih bercerita bagaimana bekerja keras, ulet, dan jujur dalam menjalani kehidupan selama dirantau adalah yang esensi kehidupan bagi mudik.
Ketiga, mudik lebih asyik tanpa rasa sombong, tanpa rasa jumawa, atau memamerkan diri barang yang bukan miliknya. Atau dengan kata lain, lebih baik mudik dengan kesederhanaan tanpa adanya kemewahan apalagi sampai memanfaatkan fasilitas negara semacam mobil dinas atau motor dinas. Mengapa demikian? Karena dengan memanfaatkan fasilitas negara (baca: mobdin) itu sama dengan tidak memberikan pendidikan kepada masyarakat bagaimana keteladanan justru akan merendahkan martabat diri pejabat tersebut. Sebab bagaimanapun mobil itu dibeli memakai uang negara meskipun bahan bakar memakai uang pribadi. Dalam konteks ini saya sependapat dengan wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas bahwa mudik dengan menggunakan kendaraan atau mobdin adalah Korupsi meski premium memakai orang pribadi (Jawa Pos, 1/3/13).
Nah, siapapun yang mudik (baik itu pejabat atau tidak) harus dapat memberikan implikasi yang positif terhadap peradaban masyarakat desa. Terlebih pola pikir, perilaku, dan juga kepribadian meraka. Kehidupan kota yang dibawa oleh para pemudik dapat memberikan inspirasi untuk membangun desa yang lebih bermartabat, memberikan manfaat bagi orang lain. Sebab bagaimanapun juga sebaik-baik umat adalah orang yang memberikan kebermanfaatan bagi orang lain dan sekelilingnya. Bukankah begitu pemudik dan juga para pejabat? Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H.

————- *** ————-

Rate this article!
Tags: