Problematik Netralitas ASN Dalam Pilkada

Oleh :
Hananto Widodo
Dosen Hukum Tata Negara; Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya.

Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) selalu menjadi sorotan utama ketika akan dihelat pesta demokrasi baik itu Pemilu maupun Pilkada. Paling tidak ada dua alasan kenapa ASN selalu menjadi sorotan dalam perhelatan demokrasi khususnya Pilkada. Pertama, karena secara normatif ada tuntutan bagi ASN untuk selalu bersikap netral. Kedua, karena secara politik, ASN merupakan modal politik yang sangat menjanjikan bagi masing-masing calon Kepala Daerah.

Dalam Pasal 1 angka UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, ASN terdiri dari dua, yakni Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Dengan Perjanjian Kerja Yang Bekerja Pada Instansi Pemerintah. ASN secara umum dibagi menjadi ASN yang memiliki tugas pelayanan terhadap masyarakat yang bekerja di instansi-instansi pemerintah, khususnya pemerintahan daerah juga ASN yang berprofesi sebagai Dosen di Perguruan Tinggi. Dosen dan Guru ASN sebenarnya sama-sama tunduk pada UU N0. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tetapi secara hierakhis guru memiliki jalur yang berbeda dengan Dosen. Guru secara hierarkhi tunduk pada dinas pendidikan baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. Sedangkan Dosen secara hierakhis tunduk pada Kemendikbud.

Jika diamati selama ini, pengawasan terhadap netralitas ASN lebih diarahkan kepada ASN daerah ketimbang ASN Dosen. Mengapa demikian ? Karena ASN yang bekerja di pemerintah daerah memiliki potensi yang besar untuk dimobilisir, terutama oleh petahana. Secara struktural ASN memiliki ikatan dengan petahana maupun calon yang diusung oleh petahana. Sedangkan pada ASN Dosen tidak memiliki ikatan struktural dengan salah satu pasangan calon Kepala Daerah. Jika ada Dosen yang berprofesi sebagai konsultan dan tim sukses salah satu pasangan calon itu lebih didasarkan pada deal-deal yang bersifat konsesi dan jasa dibanding dengan ASN di lingkungan pemerintahan daerah. Dengan demikian, relasi antar calon Kepala Daerah dan Dosen ASN lebih pada relasi yang bersifat bebas dan equal. Tidak ada ancaman secara struktural yang dialami dosen sehingga dosen terpaksa harus memihak salah 1 pasangan calon.

Relasi antara Dosen dan pasangan calon Kepala Daerah dengan relasi antara ASN dan pasangan calon kepala daerah di lingkungan pemerintahan daerah sangat berbeda. ASN di lingkungan pemerintahan daerah memiliki kepentingan yang langsung dengan pasangan calon yang sedang bertarung dalam perhelatan Pilkada. Di samping akan ada keuntungan yang didapat dari ASN juga akan ada tekanan secara struktural yang dialami oleh ASN di lingkungan pemerintah daerah. Oleh karena itu, sangat tidak adil jika ASN dituntut bersikap netral tetapi di satu sisi ASN tidak mendapat perlindungan hukum jika ASN bersikap netral.

Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 telah cukup mengatur mengenai larangan bagi pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan Kepala Desa atau Lurah untuk membuat keputusan yang menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan calon. Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota juga dilarang untuk melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatannya kecuali mendapat persetujuan dari Menteri. Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dilarang menggunakan program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) dan (3) akan berujung pembatalan sebagai Calon oleh KPU.

Pengawasan yang dilakukan terhadap proses Pilkada ini dilakukan oleh dua pihak, yang pertama adalah Badan Pengawas Pemilu yang memang memiliki kewenangan untuk mengawasi jalannya proses pemilu dan Pilkada. Pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu penekananya lebih pada pengawasan represif. Artinya jika ada temuan atau laporan dari masyarakat maka Bawaslu akan menindaklanjuti. Kedua, adalah pengawasan yang dilakukan oleh atasannya, dalam hal ini jika Gubernur yang melakukan pelanggaran, maka yang berwenang adalah Mendagri. Jika Bupati atau Walikota yang melanggar maka yang berwenang adalah Gubernur.

Pengawasan yang dilakukan oleh Mendagri terhadap Gubernur dan Gubernur terhadap Bupati/Walikota lebih pada pengawasan preventif. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 bahwa Gubernur, Bupati, Walikota dilarang menggunakan program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Program atau kegiatan yang menguntungkan pasangan calon ini akan diatur dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah. Misalnya Bupati atau Walikota membentuk Peraturan Bupati/Walikota dan Peraturan Bupati/Walikota itu menguntungkan salah satu pasangan calon, maka Gubernur harus menggunakan kewenangan pengawasan preventifnya untuk tidak memberlakukan Peraturan Bupati/Walikota itu. Pengawasan preventif terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah merupakan kewenangan dari Mendagri terhadap Perda Provinsi atau Peraturan Gubernur dan Gubernur terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota untuk menilai substansinya sebelum Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diberlakukan. Karena Perda Provinsi, Kabupaten/Kota serta Pergub, Perbup dan Perwali diawasi secara preventif oleh Mendagri atau Gubernur maka Perda dan Pergub, Perbup dan Perwali tersebut masih berbentuk rancangan.

Pengawasan oleh atasan secara preventif, yakni Mendagri terhadap Gubernur dan Gubernur terhadap Bupati/Walikota akan menjadi masalah jika antara Mendagri dan Gubernur serta antara Gubernur terhadap Bupati/Walikota berasal dari parpol atau koalisi parpol yang sama. Oleh karena itu, terdapat problematik terhadap pengawasan preventif yang dilakukan secara hierakhis. Dengan demikian, pengawasan terhadap jaminan netralitas ASN bisa dilakukan secara represif oleh Bawaslu. Pelanggaran pemilu dan pilkada bisa dilakukan berdasarkan temuan dan laporan. Temuan merupakan temuan pelanggaran yang ditemukan oleh Bawaslu, sedangkan laporan merupakan laporan dari masyarakat. Sekarang ini Bawaslu sedang menggalakkan pengawasan pemilu berbasis partisipasi atau yang lebih dikenal dengan pengawasan partisipatif. Tujuan dari pengawasan partisipatif adalah agar masyarakat aktif untuk melaporkan dugaan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu.

Problematik dari Pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu adalah Bawaslu hanya bisa memberikan rekomendasi kepada Komisi ASN untuk memberikan sanksi kepada ASN yang melanggar. Sehingga kewenangan untuk memberikan sanksi bukan ada pada Bawaslu tetapi kepada Komisi ASN. Dan rekomendasi Bawaslu ini tidak mengikat. Rekomendasi Bawaslu mengikat hanya kepada KPU. Karena jika KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu, maka KPU bisa dilaporkan ke DKPP.

————— *** —————–

Tags: