Produk Palsu di Indonesia, Kita Harus Bagaimana ?

Demeiati N. KusumaningrumOleh
Demeiati N. Kusumaningrum, MA.
Dosen Prodi Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang

Kondisi Indonesia dikiaskan sebagai kapal yang tengah terseret arus deras dan tidak punya tuas kendali. Boleh jadi bangsa ini terlena oleh globalisasi atau kita kini makin tidak punya jati diri sehingga menjadi manusia yang miskin empati. Di berbagai media ‘booming’ isu yang meresahkan masyarakat, seperti dijualnya beras plastik, sabun rekondisi, merica imitasi, dan kosmetik palsu. Hingga terbesit dalam hati, apa masih ada produk di pasaran yang aman dikonsumsi? Masih adakah penjual yang jujur? Bagaimana upaya pemerintah melindungi kesehatan masyarakat?
Jika kita menjadi bagian dari masyarakat yang pesimis dan curiga, itu adalah perasaan yang wajar. Di sisi lain, apresiasi ditujukan bagi pemerintah yang gencar melakukan inspeksi pasar menjelang bulan Ramadhan ini. Semoga pengawasan dan kualitas produk yang beredar di Indonesia menjadi lebih baik. Adapun dalam menganalisa permasalahan ini, penulis melihat ada dua poin yang menarik. Pertama, bagaimana latarbelakang kemunculan oknum pedagang yang memperjualbelikan produk ‘tidak ramah’ konsumen. Kedua, bagaimana kondisi pasar Indonesia di mana masyarakat menjadi sasaran ‘profit oriented’. Sebagai penutup, penulis akan membandingkan standar keamanan produk (pangan) Eropa sebagai pembelajaran bersama.
Implikasi Pasar Persaingan
Sejak sekolah, kita mengenal berlakunya prinsip ekonomi, dimana “Dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, manusia mendapat keuntungan sebesar-besarnya”. Hal ini kemudian diyakini sebagai logika pasar dalam dinamika perdagangan. Menurut beberapa oknum pedagang yang telah diamankan oleh Kepolisian, mereka menyampaikan bahwa usaha yang mereka lakukan karena adanya ‘peluang’. Bahkan kegiatan memproduksi barang palsu tersebut sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Dari sini kita bisa memahami; pertama, ada kerja sama dari pihak ketiga yang secara keahlian (teknologi) mampu menciptakan komoditas palsu. Kedua, ada kesempatan melakukan kecurangan salah satunya, pihak ‘storage’ yang membiarkan beberapa oknum membeli produk kadaluarsa untuk direkondisi. Sikap ini dipilih demi mengembalikan modal atau meraup keuntungan dari produk yang dianggap sampah. Ketiga, minimnya ketelitian atau pengetahuan dari pihak pembeli maupun pedagang retail yang menjadi mitra dari oknum-oknum yang mensuplai produk tersebut.
Secara antropologis, manusia diciptakan dengan kemampuan beradaptasi pada situasi sulit. Dalam konteks ekonomi, pasar perdagangan menjadi sebuah arena kompetisi kesejahteraan. Jika melihat kondisi secara makro, kebijakan pasar bebas yang melanda negeri ini telah membuat masyarakat gelap mata. Segala cara dilakukan supaya dapat bertahan hidup. Hantaman produk impor mendorong masyarakat menjual barang-barang yang lebih murah untuk menarik minat konsumen. Dengan logika yang sama, prinsip ekonomi, pembeli dengan penghasilan yang besar sekalipun akan menyukai produk yang lebih terjangkau dengan manfaat yang sama. Sementara, kehadiran barang-barang murah menjadi sebuah kebutuhan ‘survival’ bagi masyarakat kecil. Jumlah hampir 250 juta penduduk Indonesia merupakan aset berharga dalam perdagangan internasional. Asumsinya, tidak ada produk yang tidak laku dijual di negeri ini.
Pada umumnya masyarakat Indonesia sangat dinamis, mudah bosan, dan senang mencoba sesuatu yang baru. Ditambah lagi potensi keragaman budaya yang menjadi latarbelakang perbedaan minat dan pilihan konsumen. Sebagai pembeli, masyarakat tidak semata-mata mencukupi kebutuhannya sehari-hari tetapi upaya legitimasi status sosial dengan mengikuti ‘trend’ yang sedang berkembang. Belum lagi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah memaksimalkan peran bidang periklanan sehingga mampu mengekspansi media-media   sosial. Strategi pemasaran dan penjualan turut berkembang menyesuaikan keinginan pembeli yang ingin cepat, mudah, dan praktis dalam hal pembayaran, pengiriman, dan purna jual. Dengan demikian, hadirnya oknum pedagang yang menjual produk murah (tidak aman) merupakan fenomena ‘gayung bersambut’ dalam merespon kondisi pasar persaingan sempurna di Indonesia.
Sistem Keamanan Pangan
Negara-negara Uni Eropa menerapkan sistem keamanan pangan untuk melindungi kesehatan warga negaranya dan menjamin kualitas produk pangan secara berkelanjutan. Uni Eropa mensyaratkan semua produk yang dikonsumsi oleh masyarakat berasal dari produsen yang legal, dikembangkan/ diolah sesuai standar kesehatan, dan produksinya tidak merusak lingkungan. Menurut kajian Food Review Indonesia, sistem keamanan pangan ini disebut Non Tariff Measures yang berupa perijinan dan kuota, persyaratan teknis (CE Mark) standar organisasi Eropa, REACH, SPS (Undang-Undang Pangan), standar phytosanitary (residu pestisida dan kesehatan tumbuhan), dan ketentuan khusus untuk GMO. Adapun produk-produk seperti kendaraan bermotor, kimia, bahan makanan, kosmetika, kristal, kayu, tekstil dan alas kaki turut dikenai Peraturan Uni Eropa yang memiliki spesifikasi teknis detil berikut persyaratan pengujiannya.
Ketentuan sistem keamanan pangan ini harus diikuti oleh seluruh produsen yang berasal dari Uni Eropa maupun para eksportir yang masuk ke pasar Eropa. Regulasi ini merupakan pendekatan terintegrasi untuk keamanan pangan yang ditujukan pada industri, produsen, dan pemasok, serta sektor transportasi sebagai keseluruhan operasional penyediaan pangan dalam negeri. Uni Eropa telah menerapkan sistem harmonisasi untuk produk impor makanan asal hewan dan hewan hidup, tumbuhan dan produk tumbuhan dari negara di luar kawasan Uni Eropa dan ketentuan yang ada sesuai dengan aturan WTO.
Negara maju memang sering diposisikan antagonis dalam sektor perdagangan internasional. Hal ini merupakan respon sulitnya produk negara berkembang memasuki pasar Uni Eropa akibat implementasi standar keamanan pangan yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, ada kecenderungan ketimpangan nilai ekspor Indonesia yang menggambarkan kompleksitas regulasi yang belum bisa kita penuhi. Namun ada pembelajaran positif yang bisa kita ambil, bahwa negara-negara Uni Eropa sangat mengutamakan hak warga negara untuk mendapatkan produk pangan yang berkualitas dan berupaya maksimal melindungi kesehatan masyarakatnya dengan menerapkan sistem keamanan pangan yang komprehensif. Terlepas dari itu semua, mudah-mudahan dengan berbagai permasalahan pangan di dalam negeri, kita berubah menjadi konsumen yang lebih cerdas dan teliti.

                                                                                                        ————- *** ————–

Tags: