Produksi Minyak Beban APBN

bbm-naikMenjelang penyelenggaraan Pemilu (dan pilpres) 2014 ini produksi minyak menurun lagi, jauh dari harapan. Target lifting dalam APBN 2014 sebesar 870 ribu barel diperkirakan tidak akan terealisasi. Hampir pasti, impor BBM akan lebih besar. Sehingga hampir pasti pula neraca perdagangan (2014) masih akan mengalami defisit, disebabkan impor minyak mentah dan BBM yang makin “berapi-api.”
Namun yang pasti, pemerintah dan DPR mesti meningkatkan kewaspadaan khusus terhadap kinerja SKK Migas. Komisi VII DPR (yang membidangi ke-energi-an) kini sedang dalam “ancaman” proses masuk penjara berjamaah. Begitu juga banyak pejabat SKK Migas akan menyusul masuk bui, setelah pucuk pimpinannya menjadi tersangka kasus tipikor (tindak pidana korupsi dan atau suap). Memang sejak lama sektor minyak dan gas menjadi ladang korupsi rezim, bagai dipenuhi hama tikus.
Sektor minyak dan gas (migas), seharusnya bisa mensejahterakan rakyat. Itulah yang dicoba oleh tokoh-tokoh agama dalam pengajuan gugatan uji materi (judicial review) terhadap UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas. Syukur, upaya itu berhasil. Melalui amar ketetapan Mahkamah Konstitusi (nomor 36/PUU-X/2012), Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) wajib dibubarkan. Sejak hari Selasa 13 November 2013, BPH Migas dinyatakan ilegal.
Amar keputusan MK itu sangat ditunggu oleh banyak kalangan pro-keadilan. Pihak penggugat menganggap BP Migas sebagai “titik lemah” pemanfaatan kekayaan alam Indonesia yang sangat berlimpah namun nyaris tidak mendatangkan manfaat penyejahteraan rakyat. Berbagai kontrak bidang penambangan minyak dan gas, juga dinilai sangat merugikan negara. Lebih lagi, BP Migas sebenarnya tidak dapat bertindak atasnama atau mewakili negara.
Sepuluh tahun menjadi “super-makelar” bidang minyak dan gas bumi, BP Migas dinilai menjadi agen liberalisme. Yakni, hanya menuruti resep IMF dalam rangka liberalisasi sektor-sektor ekonomi. Kenyataannya dengan liberalisasi, kebutuhan migas dalam negeri malah sulit dipenuhi. Padahal UUD pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) secara tekstual mengamanatkan pemanfaatan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Bahkan pihak penggugat menilai UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas berkecenderungan melayani (kepentingan) asing dan meruntuhkan kedaulatan bangsa. Selain itu, kinerjanya dianggap tidak transparan serta in-efisien, walau BPK memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Namun opisi WTP bukan berarti steril tanpa permasalahan.
Pemerintah mau tak mau harus menyesuaikan dengan amar putusan MK. BP Migas dibubarkan, lalu dibentuk SKK Migas, dengan tupoksi BP Migas (yang lama). Ternyata hampir setali tiga uang, sama saja. Bahkan tokoh dedikatif sekaliber Rudi Rubiandini terseret arus menjadi “hama” pula. Juga Pertamina kembali menjadi penghisapan oleh elit politik busuk di jajaran DPR maupun pemerintah.
Tetapi problem yang dihadapi sektor migas, sebenarnya telah berlangsung puluhan tahun. Yakni, berapa sebenarnya volume lifting minyak? Tidak ada yang bisa memastikan. Namun setiap penyusunan APBN, lifting minyak wajib diberi ancar-ancar. Untuk tahun 2014 ditarget lifting sebanyak 870 ribu barel per-hari. Padahal kebutuhannya mencapai 1,3 juta barel.
Tetapi berdasarkan perkiraan SKK Migas, hanya akan terealisasi 813 ribu barel (sekitar 93,44%). Turun 12 ribu barel dibanding tahun 2013. Boleh jadi, ini sebagai “unjukrasa” kalangan minyak, karena pimpinan dan “pembinanya” (Komisi VII DPR) dibidik KPK. Yang pasti pengurangan target lifting otomatis akan memperbesar impor minyak. Di ujungnya bisa berdampak defisit perdagangan (per-akhir tahun 2013 senilai US$ 4,06 milyar).
Pada dekade 1980-an lifting minyak Indonesia bisa mencapai 1,6 juta barel, kurang dari separuhnya dikonsumsi di dalam negeri. Sehingga menjadi negara peng-ekspor minyak. Minyak menjadi penyokong surplusnya neraca perdagangan. Kini, semuanya tinggal kenangan.

———   000   ———

Rate this article!
Tags: