Produktifitas Ekonomi di Bulan Ramadan

Novi Puji Lestari

Oleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Rangkaian perhetalan ritual tahunan masyarakat muslim kini tengah terjalani. Ritual tersebut berupa Ramadan, mudik, dan Lebaran. Kendati Ramadan diidentikkan dengan proses pengendalian hawa nafsu duniawi, fenomena menariknya tingkat konsumsi masyarakat justru sering kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan-bulan lain.
Melihat dari sisi ekonomi kita juga memiliki beberapa tradisi unik yang berkenaan dengan momentum Ramadan. Kehebohan konsumen mulai terasa entah di pasar tradisional maupun pasar modern. Seolah tradisi rutin, konsumen dan produsen memanfaatkan periode ini untuk saling mengejar motif. Konsumen tentu memiliki motif pemenuhan kebutuhan meski kadang tidak rasional. Saat yang sama, produsen pun berlomba mengeruk profit semaksimal mungkin.
Momentum tahunan seperti ini mendorong meningkatnya pola konsumsi masyarakat. Pangan dan sandang menjadi komoditas terpopuler pada saat Ramadan dan hari raya Idul Fitri. Inflasi terdongkrak akibat konsumsi kebutuhan pokok meningkat tajam.
Kesederhanaan sebagai hikmah Ramadan tidak berbanding lurus dengan perilaku belanja, khususnya di masyarakat perkotaan. Di sinilah hukum ekonomi berlaku. Manakala permintaan pangan tinggi, tentu harga akan terkerek naik, bahkan cenderung tak terkendali.
Dalam kamus ilmu ekonomi, inflasi musiman seperti Ramadan dan Lebaran disebut demand pull inflation, yaitu jenis inflasi yang disebabkan oleh peningkatan permintaan dalam waktu tertentu tanpa disertai peningkatan penawaran yang memadai. Ini dimaklumi karena permintaan barang dan jasa meningkat sejak menjelang Ramadan hingga Lebaran. Peningkatan permintaan didorong oleh kecenderungan budaya konsumtif sesaat sebagai bagian dari semangat perayaan.
Melalui peristiwa Ramadan dan Lebaran yang terjadi sekali waktu dalam setahun, kita bisa melihat betapa hebatnya kekuatan konsumsi dan ekspektasi ekonomi di dalam negeri. Bahkan, setiap menjelang akhir Ramadan tren konsumsi biasanya akan terus bergerak mencapai klimaksnya seiring adanya tunjangan hari raya (THR) yang diterima hampir seluruh tenaga kerja.
Belum lagi dengan aliran zakat/donasi sosial lainnya yang dalam durasi singkat akan mengerek daya beli masyarakat kita. Jadi selain berkaitan dengan hal-hal mikro seperti perubahan tingkat konsumsi, daya beli, dan berbagai ekspektasi lainnya, Ramadan biasanya juga diasumsikan berkorelasi positif terhadap perkembangan di tingkat makro ekonomi daerah/nasional. Hanya saja peristiwa ini sulit berjalan panjang karena memang katergori musiman.
Andaikata momentum ini bisa dipertahankan sepanjang tahun, mungkin tidak sulit bagi kita untuk berkhayal pertumbuhan ekonomi nasional akan selalu di atas 5-7 persen per tahun. Oleh karena itu pemerintah senantiasa optimistis pertumbuhan ekonomi kita akan meningkat tatkala faktor musiman seperti Ramadan dan Lebaran tengah berjalan. Faktor pendorongnya adalah belanja dari kelompok rumah tangga yang diprediksi meningkat signifikan.
Keputusan untuk mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai tumpuan pertumbuhan bukanlah hal yang sepenuhnya keliru. Merujuk dari lima tahun terakhir kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) Indonesia hampir selalu di atas 55 persen. Terakhir pada kuartal I-2018 kontribusinya mencapai 56,80 persen. Kendati demikian dalam prosesnya tetap perlu diwaspadai mengingat konsumsi merupakan variabel yang lebih banyak dipengaruhi (dependen) ketimbang memengaruhi (independen). ***

Tags: