Produsen Tempe Terancam Kehilangan Pelanggan

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Sejak melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika, membuat industri rumah tangga seperti pengrajin tempe yang terancam gulung tikar lantaran mahalnya biaya pembelian kedelai impor dari Amerika.
Menurut pengrajin tempe yang di temui Bhirawa pada daerah Tenggilis Lama, Surabaya merasakan beban yang harus di tanggungnya karena sudah tidak mampu membeli dalam jumlah yang banyak.
Jumiran, pria berusia 68 tahun yang telah menerjuni bisnis penjualan tempe selama 40 tahun ini mengungkapkan keluh kesahnya tentang harga kedelai impor yang setiap tahun selalu mengalami kenaikan harga.
“Tahun 2013, kenaikan harga kedelai membuat usaha saya hampir gulung tikar. Tapi konsumen, dan penjual sayur masih mau menerima dengan ukuran yang lebih diperkecil. Tapi untuk tahun ini, ukuran di perkecil maka konsumen akan meninggalkan tempe yang yang buat berapa puluh tahun. Saat ini sudah ada 3 konsumen saya yang tidak mengambil dari 12 konsumen yang selalu mengambil,” terang bapak tiga cucu ini, di Surbaya Minggu (21/12) kemarin.
Ia melanjutkan, sebelum Dolar Amerika mengalami kenaikan terhadap Rupiah harga kedelai impor yang di dapatnya berkisar Rp.6.000 per kilogramnya, namun sekarang telah menjadi Rp.8.500 per kilogramnya.
“Tempe yang saya buat murni menggunakan kedelai jadi tidak menggunakan kedelai campuran atau menambahkan kacang, karena untuk menjaga rasa yang telah saya buat puluhan tahun silam. Saya tetap mempertahankan ukuran tempe yang saya buat, meskipun keuntungan semakin jauh berkurang. Jika bentuknya di perkecil lagi dan harga naik, khawatir saya akan kehilangan pelanggan,” ujarnya penuh dengan pesimis.
Selain itu, usaha yang ditekuni oleh Jumiran bukanlah merupakan industri yang besar. Karena modal yang dimilikinya sangat minim. Sehingga keuntungan yang diperolehnya hanya cukup untuk hidup sehari-sehari.
” Tahun 2000, keuntungan yang saya peroleh bisa 30% per hari dari total tempe yang saya jual. Sekarang mendapatkan keuntungan 8% per sekali produksi sudah cukup lumayan. Setelah tahun 2010, jumlah keuntungan yang saya dapat akhirnya kecemplung menjadi modal. Akhirnya untung yang saya dapatkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” terangnya. [wil]

Tags: