Prof Dr Bagir Manan: Tak Ada Pers Netral

Prof. Dr. Bagir Manan  bersama dengan ketua Dewan Pers Yosep Stanly saat menjadi pemateri diskusi publik UU ITE dan netralitas Pers menuju pemilu berkualitas di Universitas Widyagama Malang, Sabtu 16/03 kemarin.

Kota Malang, Bhirawa
Ketua Dewan Pers periode 2013-2016, Prof. Dr. Bagir Manan  saat menjadi pemateri diskusi publik UU ITE dan netralitas Pers menuju pemilu berkualitas di Universitas Widyagama Malang, Sabtu 16/03. kemarin menyatakan  pers netral tidak ada yang ada independen.
Mantan Ketua Mahkamah Agung itu, menegaskan, kalimat pers netral dalam pemilu kurang tepat untuk digunakan. Secara subyektif ia menjelaskan, netral memiliki arti tidak memihak pada pihak manapun.
“Itu ukurannya adalah kepentingan publik,” tambahnya
Kalimat yang tepat kata Bagir, adalah pers independen. Pers independen adalah pers yang memiliki kebebasan untuk menyampaikan kebenaran.
Sepanjang pers dalam upaya menekankan kebenaran, boleh berpihak. Yang salah itu jika pers  jadi partisipan. Kalau jadi partisan tidak cocok dengan konsep pers independen itu.
Bagir juga menyinggung terkait kebebasan pers dalam memberikan informasi. Kendati bebas dalam menyampaikan informasi, pers harus bisa memilah dan memilih mana informasi yang benar dan hoax.
“Tidak dibolehkan memfitnah, memberitakan informasi yang kasar, dan hoax,” tukasnya.
Semntara itu, Ketua Dewan Pers Yosep Stanley mengutarakan, UU ITE tidak berlaku untuk wartawan. Karena wartawan lanjutnya menjalankan tugasnya sebagai pewarta dan hal tersebut dilindungi undang-undang.
“Wartawan itu tidak bisa dijerat oleh UU ITE, selama produk yang dihasilkannya adalah produk jurnalistik,” kata Yosep Stanley..
Tidak dijeratnya wartawan katanya, sejalan dengan undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 8 disebut, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Dalam pasal 18 ayat 1 juga dijelaskan, setiap orang yang menghalang-halangi kegiatan jurnalistik wartawan dijerat hukuman penjara paling lama 2 tahun ataupun denda Rp. 500 juta.
Kendati dilindungi, wartawan dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan kaidah-kaidah jurnalistik yang telah dijabarkan dalam kode etik jurnalistik.
“Jadi jangan asal tulis berita, harus konfirmasi dan jangan menyebarkan hoax,”tambahnya.
Pihaknya menyebut, saat  ini ada 44.500 media baik online maupun cetak belum terdaftar maupun terverifikasi oleh Dewan Pers.
“Jumlah media di Indonesia ada sekitar 47.000. Dari jumlah itu, baru sekitar 2.400 media yang terdaftar di Dewan Pers, atau lima persen saja, yang lainnya belum,” kata dia.
Kendati masih banyak yang belum terdaftar, Stanley menghimbau agar para pencari berita atau wartawan yang ada dalam media tersebut menghasilkan produk jurnalistik yang sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Stanley pun mencontohkan, di masanya ketika media sosial belum ada, wartawan bekerja dengan menerapkan model konfirmasi dan verifikasi informasi yang didapat.
Celakanya, saat ini banyak media mainstream yang menulis berita berdasarkan data dari media sosial, baik artis, tokoh agama maupun tokoh politik.
Sejak dikeluarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 21 April 2008 lalu, UU ini seakan menjadi jebakan untuk menjerat seseorang ke ranah hukum.
Setiap informasi ataupun berita yang disebarkan secara daring dan dianggap merugikan pihak-pihak tertentu, selanjutnya dilaporkan ke kepolisian menggunakan UU ITE. [mut]

Tags: