Program Sertifikasi Tanah Massal Bukan Jaminan Bebas Maladminstrasi Pertanahan

Ketua Ombudsman Perwakilan Jawa Timur Agus Widyarta saat melaporkan kinerja akhir tahun di kantornya Jalan Gayungsari Barat, Rabu (4/1) kemarin. Gegeh Bagus Setiadi

Ketua Ombudsman Perwakilan Jawa Timur Agus Widyarta saat melaporkan kinerja akhir tahun di kantornya Jalan Gayungsari Barat, Rabu (4/1) kemarin. Gegeh Bagus Setiadi

Surabaya, Bhirawa
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Timur mendapati administrasi pertanahan masih mendominiasi dugaan maladministrasi selama 2016.Ketua Ombudsman Perwakilan Jawa Timur Agus Widyarta menyampaikan kecenderungan ini sebagai bagian laporan kinerja akhir tahun di kantornya Jalan Gayungsari Barat, Rabu (4/1) kemarin.
Berdasarkan jumlah data laporan yang masuk ke Ombudsman selama 2016, jumlah pengaduan dengan substansi pertanahan masih menduduki peringkat teratas, sebanyak 80 laporan atau 23 persen dari total 345 laporan yang masuk.
Agus Widyarta memaparkan, data ini menunjukkan pelayanan administrasi oleh kantor pertanahan dan pemerintah kabupaten/kota masih kurang bagus. Tren paling banyak melakukan pungli (pungutan liar) dilakukan kelurahan dan desa.
“Kalau dulu tren pungli ada pada pendidikan. Nah sekarang paling banyak terkait pertanahan. Sampai sekarang pun pelayanan administrasi di kantor pertanahan dan kelurahan masih buruk karena ini berhubugan dengan uang. contohnya dengan cara memperlambat dengan meminta uang,” katanya kepada Harian Bhirawa, kemarin.
Ia menilai program Sertifikasi Massal Swadaya (SMS) belum terlaksana dengan baik dan cenderung kacau. Di Surabaya, ada program “Sertifikatkan Surabaya!” Program Sertifikasi Tanah Massal sebagai pilot project program nasional. Menurutnya, program itu bisa saja mengubah kecenderungan pelayanan administrasi. Tapi belum bisa menjadi jaminan bebas maladministrasi.
“Karena dengan adanya program itu, ternyata biaya pengurusan sertifikat ini tidak ringan. Ringan di kantor pertanahan, tapi biaya administrasi lain seperti BPHTB dan administrasi lainnya masih ada,” katanya.
Seharusnya, kata Agus, program ini lebih mempermudah warga pengurus sertifikat di Surabaya. Selain itu, sosialisasi program ini harus benar-benar sampai ke masyarakat.
Dugaan maladministrasi penundaan berlarut menduduki peringkat pertama kasus yang ditangani oleh Ombudsman. Tidak hanya dalam substansi administrasi pertanahan.
Selain substansi pertanahan, laporan dugaan maladministrasi lain di Surabaya yang ditangani oleh Ombudsman antara lain substansi kepolisian dengan jumlah 58 laporan, administrasi kependudukan dengan jumlah 33 laporan, dan substansi pendidikan berjumlah 27 laporan.
Secara angka, selama 2016, dugaan maladministrasi penundaan berlarut yang masuk sejumlah 84 laporan atau 24 persen dari jumlah total laporan.
Penundaan berlarut adalah dugaan maladministrasi teratas yang diterima Ombudsman Perwakilan Jatim, disusul dugaan maladministrasi tidak memberikan pelayanan, serta maladministrasi penyimpangan prosedur.
Perlu diketahui, data Ombudsman Jatim pada 2016 menunjukkan, pelapor dugaan maladministrasi pelayanan publik dominan dari warga Kota Surabaya dengan jumlah 168 laporan.
Sedangkan Instansi terlapor terbanyak tetap diduki Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur dengan jumlah 75 laporan, disusul kelurahan 29 laporan, desa 30 laporan, dan kepolisian resor 25 laporan.
berdasarkan kuota terlapor, menurut Agus, Surabaya menduduki yang peringkat pertama disusul Sidoarjo dan Malang. Sebab, masyarakat Surabaya lebih berani melaporkan dibandingkan Kabupaten Kota yang lainnya.
“Mungkin Surabaya secara letak geografisnya dekat ketimbang Kabupaten Kota Lainnya. Kami berharap daerah lainnya juga melakukan hal yang sama,” harapnya. (geh)

Tags: