Prospek Buram Pemberatasan Korupsi

Atok Miftachul HudhaOleh :
Atok Miftachul Hudha
Pengajar FKIP dan Trainer P2KK Universitas Muhammadiyah Malang

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hampir semua lini kehidupan di Indonesia dewasa ini, harus diselesaikan dengan ‘sogokan’ dan berbagai ‘uang pelicin’ lainnya. Mulai dari mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk) di Kelurahan, mengurus SIM (Surat Izin Mengemudi), KK (Kartu Keluarga), masuk sekolah, sampai urusan yang besar, seperti memenangkan tender suatu proyek, ataupun untuk promosi dan lain sebagainya. Semuanya membutuhkan sogokan dan uang pelicin. Sehingga tidak salah kalau para investor yang mau menanamkan modalnya di Tanah Air harus melalui semua proses tadi. Akibatnya biaya investasi yang tertulis tidak sebanding dengan real cost (biaya nyata) yang harus dibayar, karena panjangnnya birokrasi dan semua tahap harus mengeluarkan uang.
Belajar dari negara maju
Upaya untuk membasmi korupsi dan pungutan liar tersebut, sangat tidak mudah bahkan mustahil, karena kondisi ini telah berurat berakar dan telah menjadi budaya. Padahal untuk kemajuan suatu bangsa di zaman modern, budaya korupsi dan pungutan liar menjadi penghambat yang sangat besar untuk kemajuan. Hampir semua negara maju di dunia dewasa ini, sangat rendah tingkat korupsi dan pungutan liarnya. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu: 1) Sistem yang transparan, 2) Pemimpin yang kuat dan disiplin serta antikorupsi.
Sebetulnya Indonesia, mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, aman, dan sentosa. Olehnya bangsa ini membutuhkan pemimpin yang kuat dan anti korupsi, artinya; pemimpin yang benar-benar berjuang untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Yang bertekad membumihanguskan korupsi dan pungli (pungutan liar) dengan cara memperbaiki sistem pemerintahan menjadi transparan, dan terkontrol, sehingga orang akan sulit melakukan korupsi, karena dengan sistem yang transparan dan terkontrol maka orang yang korupsi akan langsung ketahuan.
Transparansi sistem keuangan negara, bisa dilihat pada negara maju, seperti contohnya Amerika Serikat, pengelolaan keuangan dan sistem perpajakan, sangat transparan. Sehingga dalam mengawasi bukan saja tugas pemerintah, tetapi masyarakat secara keseluruhan. Semua pejabat publik, mulai tingkat terendah hingga presiden diawasi secara langsung oleh masyakat.
Hal ini karena sistem transparansi keuangan dan perpajakan begitu modern. Semua transaksi keuangan, pembayaran pajak, sampai pemenangan tender serta distribusi pembangunan dan penggajian dilakukan secara online dan transparan. Sehingga terjadi kebocoran sekecil apapun, cepat terdeteksi, sehingga bisa dilakukan pencegahan.
Demikian pula hukum ditegakkan secara maksimal tanpa pandang bulu dan strata sosial. Dengan kondisi tersebut, keuangan negara bisa diberdayakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan nasional, sehingga Amerika Serikat, menjadi negara maju dan superpower seperti sekarang ini. Belajar dari kondisi tersebut, sudah saatnya Indonesia menerapkan sistem keuanganyang transparan.
Ironi pemberantasan korupsi
Agenda pemberantasan korupsi hanya berpeluang bertahan selama pemimpin politik masih memiliki imaji anti korupsi. Ketika bayangan dalam pikiran (imaji) tersebut meleleh, agenda pemberantasan korupsi segera berubah menjadi bangkai dan semua akan bermuara pada monumen kegagalan.
Ilustrasi demikian dikemukakan ketika menjelaskan bentangan fakta yang tengah dihadapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagian personel pendukungnya dalam menghadapi ancaman kriminalisasi. Ibarat kapal besar yang sedang dalam empasan gelombang badai mahadahsyat, KPK hanya mungkin diselamatkan apabila imaji anti korupsi masih dominan dan menggelora dalam pikiran sekaligus keinginan para pemimpin politik.
Sebagaimana diketahui, pusaran ketegangan di antara KPK dan kepolisian tidak hanya menghadirkan keraguan sekitar masa depan komisi anti rasuah ini, tetapi lebih jauh dari itu memunculkan pertanyaan lain: bagaimanakah nasib dan masa depan agenda pemberantasan korupsi? Dalam batas penalaran yang wajar, pertanyaan tersebut memiliki alasan mendasar karena agenda anti korupsi merupakan salah satu amanah sekaligus imaji utama gerakan reformasi.
Tidak hanya ancaman terhadap KPK, melelehnya imaji anti korupsi bisa pula dilacak dari berbagai fakta lain yang terjadi belakangan. Misalnya, keinginan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menghidupkan lagi remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. Padahal, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, kedua fasilitas bagi koruptor tersebut sempat dimoratorium pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Imaji reformasi
Berangklat dari enam tuntutan reformasi 1998, salah satunya keharusan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Langkah konkret merealisasikan tuntutan tersebut disahkan lewat Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Selanjutnya, gagasan di balik ide produk hukum MPR ini dielaborasi lebih jauh dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Imaji dasar dari kedua produk hukum ini amat jelas: memberantas KKN harus dimulai dengan pembenahan lingkungan penyelenggara negara.
Selain membidik penyelenggara negara, perubahan mendasar juga dilakukan ihwal tindak pidana korupsi dan dilanjutkan dengan membentuk undang-undang baru, yaitu UU No 31/1999 (kemudian diubah dengan UU No 20/2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai pengganti UU No 3/1971, UU No 31/1999 merumuskan tindak pidana korupsi jauh lebih komprehensif, termasuk pengaturan soal gratifikasi yang amat mungkin dilakukan penyelenggara negara. Bahkan, perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara pun menjadi unsur tindak pidana korupsi.
Melanjutkan perluasan cakupan tindak pidana korupsi tersebut, imaji anti korupsi bergerak pada keniscayaan melakukan pemberantasan secara extraordinary. Untuk itu, UU No 31/1999 mengamanatkan pembentukan lembaga extraordinary body bernama KPK dalam memberantas korupsi. Dalam aturan itu, dibuat limitasi waktu pembentukan KPK dengan tugas dan wewenang menyelidik, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi, termasuk tugas lintas institusi guna melakukan koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lain.
Padahal, jika ditelusuri sedikit ke belakang, kekhawatiran yang teramat sangat atas pemudaran imaji anti korupsi tak pernah dibayangkan. Alasannya, dalam Nawacita Jokowi-Kalla secara tegas pasangan ini menyatakan mendukung penguatan KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Menguatkan itu, mereka berkomitmen menolak segala bentuk pelemahan KPK. Setelah melihat kondisi KPK, pertanyaan elementer yang lebih dari patut untuk diajukan: adakah pohon janji dalam Nawacita tersebut merupakan imaji yang genuine?
Memanjakan koruptor
Indikasi memudarnya imaji agenda pemberantasan korupsi tidak hanya dapat dilacak dari kondisi di atas, tetapi juga bisa ditelusuri dari rencana pemerintah untuk meninjau kembali aturan ihwal pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat. Rencana ini tentu saja mengulang lagi perdebatan 3-4 tahun lalu ketika terjadi obral remisi kepada narapidana korupsi. Untuk ini perlu dicatat, pengesahan PP No 99/2012 yang merupakan revisi PP No 32/1999 adalah jawaban terhadap penolakan berbagai kalangan yang concern terhadap pemberantasan korupsi ketika para koruptor berupaya mempersingkat masa pemidanaan melalui fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat.
Pemerintah seperti memilih langkah berbeda. Sebagaimana dikhawatirkan Choky Ramadhan, gelagat mencabut pengetatan ini sudah dapat dilacak dari pemberian remisi kepada Urip Tri Gunawan, Anggodo Widjojo, Sumadi Singaribun, dan Haposan Hutagalung pada Desember 2014. Ketika pemberian remisi tersebut diikuti dengan upaya merevisi PP No 99/2012, publik memiliki alasan kuat untuk curiga dengan langkah Menteri Hukum dan HAM.
Perlu dicatat, desakan melakukan pengetatan terhadap narapidana korupsi salah satunya didorong sejumlah bentangan empirik bahwa lembaga pemasyarakatan lebih banyak menjadi tempat persinggahan sementara bagi koruptor. Karena itu, langkah pengetatan ini harus ditempatkan sebagai point of no return dalam agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, sekiranya memang ingin memberikan efek jera, yang harus dipikirkan, misalnya, langkah efektif memiskinkan koruptor dan semua jejaring yang ikut menikmati hasil jarahan uang negara.
Terlepas dari semua itu, hal terpenting yang perlu disampaikan, pemerintah harus hati-hati betul dalam mengambil kebijakan yang potensial kontraproduktif dengan agenda pemberantasan korupsi. Jangan pernah gagap mendukung agenda pemberantasan korupsi, termasuk mendukung KPK. Keliru memilih langkah, publik akan semakin mudah menilai bahwa pemimpin politik semakin menjauh dari imaji anti korupsi. Bilamana pemudaran ini tak bisa dihentikan, bersiaplah menanti datangnya bola liar krisis kepercayaan publik yang antara lain dipicu memudarnya imaji anti korupsi.

                                                                                                  ———————– *** ————————-

Rate this article!
Tags: