Provokasi Ekstremisme

foto ilustrasi

Tragedi pembuhuhan gubernur Jawa Timur, RMT Soerjo, di Ngawi (tahun 1948), masih di-ingat benar oleh seluruh masyarakat Indonesia. Gubernur pertama (pribumi) itu dalam perjalanan, dihadang oleh segerombolan masa PKI (Partai Komunis Inonesia). Gubernur dibunuh, jasadnya dibuang di hutan dekat desa Kedung-galar, Ngawi. Tragedi berdarah lebih besar (dan masif) terjadi di Madiun. Banyak kyai dan santri dibunuh.
Wilayah eks-karesidenan Madiun (Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan), dilanda kerusuhan masal, terutama menyasar kyai dan santri. Sebagian besar saksi korban (dan saksi mata) tragedi 69 tahun silam, sudah tiada. Tetapi anak dan cucu korban masih dapat menceritakan lantang, fakta kekejaman PKI. Presiden (pertama) RI, Ir. Soekarno, sampai harus menyampaikan pesan yang disiarkan luas melalui radio. “Pilih Muso, atau pilih saya (Soekarno)?”
Rakyat (dan tentara), segera merespons cepat. Baru disadari, bahwa PKI tengah melakukan percobaan makar, melawan pemerintahan yang sah. Ironisnya, kekuatan tentara (TNI) terpecah. Institusi tentara RI saat itu masih dalam suasana konsolidasi, belum terorganisir kuat seperti sekarang. Percobaan makar PKI yang hampir sukes itu, dicoba lagi pada tahun 1965. Kekuatan politik PKI telah cukup besar, menjadi urutan keempat perolehan suara dalam pemilu tahun 1955. Tetapi terbukti tidak cukup untuk men-sukses-kan makar.
Seluruh pimpinan dan anggota PKI di desa-desa, termasuk underbouw (anak organisasi) kepemudaan, buruh, petani, PNS, dan ke-guru-an, di-eksekusi. Tak terkecuali organisasi non-pribumi (warga etnis keturunan) yang ber-afiliasi pada PKI. Sebagian dihukum melalui proses pengadilan. Namun sebagian tidak sempat diadili. Boleh jadi, karena banyaknya kasus. Namun secara substansial, PKI kalah, dan menjadi pihak yang “kalah perang.”
Propaganda pelurusan sejarah kelam tawur sosial nasional, niscaya akan selalu memperoleh perlawanan (antipati). Mayoritas rakyat Indonesia telah mengalami dua percobaan makar oleh PKI, Pelurusan sejarah akan selalu dianggap sebagai provokasi penyebaran paham ekstrem kiri. Begitu pula negara (jajajaran keamanan dan ketertiban), akan menindak tegas. Kewaspadaan nasional saat ini mencapai tahap yang peka terhadap penyusupan ekstremisme (kiri maupun kanan).
Berbagai komunitas telah siaga membentuk barisan pengamanan swakarsa. Ada yang tidak sabaran, dengan merespons cepat setiap aksi yang dianggap propaganda ekstrem kiri. Termasuk seminar, pergelaran seni budaya maupun bincang “Aksi Asik-asik,” tak luput dari respons cepat swakarsa. Sebelumnya, polisi juga tidak memberi izin seminar pelurusan sejarah G 30-S (1965).
Bersyukur, aparat negara bidang hukum dan keamanan masih berpatokan pada Ketetapan MPRS Nomor 25 tahun 1966. TAP MPR ini berisi larangan PKI sebagai organisasi terlarang. Serta larangan menyebarkan paham ajaran komunisme. Bahkan TAP MPR tidak dapat dibatalkan oleh siapapun). TAP MPR hanya bisa dicabut melalui TAP juga, dalam sidang MPR.
“Gertakan” ekstrem kiri, dalam lima tahun terakhir terasa makin sistemik. Tahun lalu, presiden memanggil Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BIN, dan Kepala Staf TNI-AD. Rapat terbatas bidang hukum dan keamanan membahas lambang-lambang komunisme yang kembali marak di Jakarta dan beberapa daerah.  Termasuk penjualan baju kaus berlogo palu-arit.
Pelurusan sejarah, seyogianya dilakukan secara fair, dan runtut sejak tahun 1948. Mengundang berbagai unsur pelaku. Antaralain, NU, Ansor, Muhammadiyah, eks PII (Pelajar Islam Indonesia), serta TNI. Masing-masing dapat mengungkap fakta sejarah. Dapat difasilitasi oleh lembaga resmi negara, misalnya Komnas HAM. Yang diundang harus seimbang, bukan hanya korban.
Andai diperlukan rekonsiliasi, harus dengan itikad baik tanpa provokasi sosial yang menyulut perlawanan. Rekonsiliasi secara damai (dan fair), dapat menjadi peta-jalan awal perubahan stigma kekejaman PKI.

                                                                                                         ———- 000 ———–

Rate this article!
Provokasi Ekstremisme,5 / 5 ( 1votes )
Tags: