Psikolog Sarankan Sekolah Wadahi Aspirasi Siswa

Psikologi Pendidikan Anak Unair, Dewi Retno Suminar

Minimalisir Siswa Terprovokasi Ikut Aksi Demonstrasi
Surabaya, Bhirawa
Pemandangan langka saat aksi demonstrasi penolakan pengesahan revisi undang-undang KPK dan RKUHP yang terjadi pada 23-24 September terjadi di berbagai daerah. Pasalnya, dalam aksi ini, para pelajar yang menyebutkan dirinya dari STM atau SMK juga tak luput dari keikutsertaan aksi ini. Terlebih saat tuntutan yang disampaikan begitu kompleks dan bukan masalah ringan.
Ditinjau dari sisi Psikologis, Dosen Psikologi Pendidikan Anak Universitas Airlangga (Unair), Dr. Dewi Retno Suminar, MSi, menilai keikutsertaan para pelajar dalam aksi demonstran menurut dia bukanlah hal yang positif. Sebab, secara psikokogis perkembangan emosinya masih belum matang. Oleh karena itu, pihknya lebih menyarankan kepada sekolah untuk memberikan sosialisasi tentang apa dan bagaimana demokrasi dijalankan. Dalam artian luas, bagaimana menyampikan suara atau aspirasi secara tepat.
“Kapan boleh keluar dari lingkungan sekolah dan apa tanggung jawabnya ketika menyuarakan di luar serta apa yang harus dilakukan agar terhindar dari bencana. Saya kira sekolah dapat menggelar lomba debat terkait topik yang ada,” tutur dia.
Bukan justru memberinya sanksi edukatif, lanjut dia. Karena yang namanya sanksi, tidak luput dari kesalahan pendidik dalam pengawasan dan pembelajaran berdemokrasi yang belum berjalan dengan baik. “Jadi hal tersebut seperti menampar muka sendiri,” sambung dia. Sehingga, melatih siswa dengan kepekaan terhadap suatu kejadian di sekelilingnya adalah hal yang bagus. Akan tetapi karena pendidikan selama ini lebih mengasah kognisi saja, maka mengajarkan tentang demokrasi, kepekaan terhadap lingkungan dan juga menghargai perbedaan seakan luput dari perhatian.
“Jadi kalau memberikan sanksi bukan suatu yang mendidik. Kecuali sanksi kerja sosial yang membuat mereka peka. misalnya sepulang sekolah menolong di panti panti. Sekali lagi anak anak perlu tahu sanksi itu diberikan karena apa. Dan fokuskan mereka untuk memahami bahwa kerja sosial ini untuk melatih diri lebih terampil dalam memahami orang lain,” papar dia.
Hal lain yang ditekankan Dewi adalah, pelajaran debat yang ada di mata pelajaran PPKN atau mata pelajaran yang lain. Ia berpendapat jika hal tersebut akan membuat siswa paham dan dapat menelaah aksi demo secara objektif dan akan berani menolak jika diajak. Karena cara berpikirnya yang kritis sesuai dengan analisisnya.
Hal yang sama juga dikatakan Dosen Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Rahma Kusumandari, M.Psi menurut dia, usia para pelajar tersebut masih tergolong di usia remaja. Yang mana cenderung ingin menunjukkan diri. Menunjukkan bahwa dirinya memiliki kekuatan. Hal itu merupakan mekanisme untuk membentuk identitas dan harga diri pada remaja
“Dalam pendidikan politik, siswa SMA seharusnya belum terjun ke ranah politik praktis seperti dengan turun ke jalan untuk demo,” kata dia.
Sehingga, lanjut dia, sekolah bisa saja menyikapi hal itu dengan memberikan tempat penyaluran bagi remaja untuk menunjukkan aspirasinya. Misal dengan meminta mereka menuliskan aspirasinya dalam artikel untuk kemudian dimuat dalam media massa. Atau dengan menyelenggarakan “aspiration day” di sekolah dengan mengundang tokoh masyarakat terkait.
“Bagaimanapun semua pihak perlu meyadari kebutuhan remaja dan memfasilitasi kebutuhan tersebut. sehingga sekolah maupun pihak pemerintahan daerah perlu terbuka untuk mau mendengarkan aspirasi mereka,” tandasnya. [ina]

Tags: