Puasa dan Moratorium Konsumerisme

Asri Kusuma DewantiOleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar LC (Lembaga Bahasa ) Universitas Muhammadiyah Malang

ON no soul doth Allah place a burden greater than it can bear. It gets every good that it earns, and it suffers every ill that it earns,” (Al-Baqarah, ayat 286).
Pada bulan suci Ramadan ini kita sangat dianjurkan untuk dapat dengan jujur dan genuine mengevaluasi seluruh prilaku selama 11 bulan terakhir. Soal evaluasi dan re?eksi individual, mungkin banyak yang sudah melakukannya, sebab jika sampai terlupakan, ia akan mempengaruhi kualitas ibadah puasa yang bersangkutan.
Ibadah puasa sejatinya merupakan momentum untuk melakukan moratorium budaya konsumtif yang kian menihilkan tanggung jawab keberlanjutan dan keadilan distributif. Puasa sejatinya perlu meneguhkan rasa empati umat Islam terhadap kaum miskin, terutama dengan menerapkan moderasi dalam makan dan minum. Diharapkan, prilaku moderat ini tetap ber lanjut pada bulan-bulan berikutnya.
Namun, esensi Ramadhan kerapkali terabaikan dan berada dalam keadaan menyedihkan bagi sebagian umat Islam. Hal ini jelas terlihat pada prilaku belanja sebagian besar umat Islam selama Ramadhan. Banyak pihak yang justru habis- habisan memanfaatkan Ramadhan guna meraup keuntungan sebesar-besarnya. Berbagai taktik dan strategi penjualan muncul untuk mempengaruhi para konsumen Muslim.
Gairah Konsumsi
Gairah konsumsi yang dipicu di televisi lantas diperkuat di luar layar kaca. Di sekitar kita, kecenderungan peningkatan konsumsi pada bulan Ramadan melonjak tidak terkendali. Kalau dulu pusat-pusat perbelanjaan baru dipenuhi pengunjung pada paruh terakhir Ramadan, tepatnya setelah THR dibagikan, kini pusat perbelanjaan telah dipenuhi pengunjung pada awal Ramadan. Mari kita lihat fenomena di berbagai kota. Kemacetan terjadi di simpul-simpul lokasi perbelanjaan.
Tempat parkir tidak cukup lagi menampung kendaraan pengunjung hingga terpaksa mengambil badan jalan. Kasir, yang sudah ditambah posnya, dipenuhi antrean pembeli. Ruang pas baju alias bahkan sampai diberi nomor antrean saking panjangnya. Padahal, kapasitasnya sudah ditambah dua kali lipat dari jumlah pada hari-hari biasa. Pusat perbelanjaan pun jauh-jauh hari sudah menyiapkan strategi pemasaran untuk memanfaatkan gairah konsumsi yang meningkat.
Mulai dari melipatgandakan produksi sampai memasang label-label diskon, sale, bahkan pre-sale, untuk membujuk konsumen. Promosi semacam itu terbukti berhasil, karena di tengah krisis ekonomi yang berlangsung saat ini, saat harga pangan melonjak gila-gilaan, nafsu belanja masyarakat tetap tidak terbendung.
Peningkatan konsumsi pada bulan Ramadan sesungguhnya tidak lepas dari kebiasaan yang kita pelihara. Pertama, Ramadan dianggap sebagai bulan penuh penderitaan dalam mengekang hawa nafsu. Karena itu, berbuka puasa menjadi oase untuk memuaskan nafsu duniawi yang terkekang. Makanan Ramadan dibuat istimewa dibanding hari-hari sebelumnya.
Takjil, kurma, kue-kue kering hanyalah beberapa contoh keistimewaan tersebut. Buntutnya, kita jadi terbiasa lapar mata ketika membeli santapan untuk berbuka puasa. Bukan rahasia lagi bahwa apa yang kita beli kerap tidak sesuai dengan daya tampung perut kita. Kedua, Ramadan menjadi momen yang begitu istimewa sehingga perlu “dirayakan” dengan silaturahmi yang lebih dibanding hari-hari biasa. Maka, momen buka puasa bersama pun dilakukan demi memperkuat silaturahmi sambil beramal. Tidak ada yang salah dengan ini.
Tetapi, bayangkan, hampir setiap organisasi, lingkar pertemanan, keluarga besar, sampai kelompok-kelompok informal di mana kita menjadi anggotanya menjadwalkan buka (puasa) bareng. Sepanjang Ramadan, sedikitnya ada empat momen buka bersama yang diselenggarakan, yaitu buka bersama yang dijadwalkan kantor, buka bersama dengan komunitas di luar kantor, buka bersama dengan teman-teman segeng, dan buka bersama keluarga besar.
Tidak mengherankan restoran-restoran menjadi penuh dan full book untuk melayani kebutuhan tersebut! Disadari atau tidak, waktu kita terkorbankan untuk menyiapkan atau menghadiri acara tersebut. Ketiga, Idul Fitri dimaknai sebagai hari kemenangan mengatasi godaan hawa nafsu. Maka, ketika hari besar itu tiba, perlu dirayakan semeriah-meriahnya. Konsekuensinya, Lebaran ditandai dengan segala sesuatu yang serbabaru: baju baru, sepatu baru, peralatan ibadah yang baru, dekorasi rumah baru, sampai mobil baru karena mudik tampaknya membutuhkan kendaraan yang benar-benar sip untuk menghadapi kemacetan (di samping, kadang-kadang buat peningkatan simbol status juga).
Lebaran juga perlu ditandai dengan segala macam kemewahan layaknya sebuah pesta. Santapan lezat, kue-kue istimewa, dan uang saku spesial alias angpau. Masyarakat Indonesia tergolong masyarakat kolektif yang mengonsumsi bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk banyak pihak. Maka, pasar dan pusat belanja lain diserbu buat beli oleh-oleh, sumbangan kelompok duafa, parsel kepada kolega. Intinya, ada saja alasan untuk memperbesar keran konsumsi.
Pengendalian Perilaku Konsumtif
Siapa pun yang tak tak mampu mengendalikan diri bakal menjadi mangsa para pedagang atau penjual yang tak peduli lagi dengan daya beli yang sudah kembang kempis. Ketika keuangan mulai menipis, banyak yang beralih kepada kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan belanja. Tren ini terus berulang dari Ramadhan ke Ramadhan, tiap tahun. Ramadhan telah berubah menjadi bulan komoditas.
Bila dicermati, perilaku konsumtif di kalangan umat Islam selama Ramadhan terkait erat dengan kegagalan mereka untuk membatasi hasrat. Pengeluaran selama Ramadhan jauh lebih besar daripada bulan-bulan lainnya. Kelompok “gila belanja” ini kerap tidak memikirkan kemampuan keuangan mereka dan konsekuensi dari pengeluaran yang mereka lakukan. Beberapa di antara mereka juga menyatroni aneka bazar Ramadhan untuk membeli berbagai hidangan lebih dari yang diperlukan. Meskipun Ramadhan mengajarkan Muslim bersikap moderat dalam setiap aspek kehidupan, pemborosan telah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.
Saat Ramadhan saat ini, banyak sejumlah pedagang yang menggelar gimmick iklan dan penjualan. Bermacam kegiatan promosi makin meningkat selama Ramadhan lewat slogan-slogan yang kian banyak untuk menarik perhatian konsumen yang sudah terobsesi dengan tawaran diskon atau hadiah. Para pebisnis tetap bersemangat menyelenggarakan bazar murah dan megasale lantaran kecenderungan dan sifat boros para konsumen.
Belajar dari Ramadhan sebelumnya, banyak taktik digunakan untuk menarik konsumen selama Ramadhan. Tetapi, pada bulan yang sama konsumen juga mengeluhkan praktik-praktik tidak etis terhadap bazar murah disebabkan tidak ada perbedaan harga sebelum atau selama bazar murah atau penjualan yang menawarkan diskon. Persoalannya terletak pada tindakan para pedagang yang terlebih dahulu menaikkan harga, lalu memberikan diskon. Pemahaman yang keliru pada Ramadhan telah merusak dakwah dengan tabiat komersialisme sebagian umat Islam.
Perilaku belanja berlebihan perlu segera dihentikan dengan mengejawantahkan sikap hidup sederhana secara berkelanjutan. Uang yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan biaya Lebaran, seperti untuk menutupi biaya BBM mudik ke kampung halaman. Ritus puasa seyogianya memberikan pelajaran moral, terutama berkaitan dengan nilai-nilai moderasi, kesederhanaan, dan pengendalian diri.
Seyogianya semangat emansipatif puasa dapat merombak perilaku konsumtif masyarakat menjadi produktif sehingga ledakan demografi bangsa ini adalah kekuatan dan bisa bermuara pada kemakmuran dan keberlanjutan, bukan petaka. Mari kita daulat Ramadhan bulan moratorium terhadap kekonsumtifan.

                                                                                                           ——————— *** ———————

Rate this article!
Tags: