Puasa dan Solidaritas Berskala Besar

Susanto

Oleh:
Susanto, Guru SMAN 3 Bojonegoro
Puasa pada prinsipnya akan menjadikan seorang individu dengan sendirinya akan terbentuk sebuah perilaku yang maha sempurna. Sebuah perilaku yang selalu mendapatkan ketenangan jiwa manakala dalam menjalankan kehidupan selalu ikhlas. Surat Al Baqarah 183: “Hai orang-orang yang beriman, di wajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Orang-orang yang berimanlah yang selalu mendapatkan panggilan untuk melakukan puasa. Terlebih lagi puasa adalah sebuah jawaban untuk membentuk insan menjadi orang yang taqwa. Menjauhi segala sesuatu perbuatan yang munkar dan melaksanakan perintah-Nya.
Sehingga dalam konteks yang bagaimana pun dimensi puasa adalah perlu mendapatkan keimanan yang kuat. Puasa dalam sekala luas adalah sebagai pembentuk watak dan karakter yang patuh dan disiplin terhadap peraturan. Puasa berdimensi luas karena dengan puasa orang akan semakin mempertebal sikap disiplin dalam beribadah. Implementasi dari perilaku ini selalu mengikuti protokol kesehatan. Senantiasa memakai masker, cuci tangan, jagak jarak sosial maupun jaga jarak secara fisik di saat mewbahnya Covid-19.
Lantas bagaimana menjalankan puasa di tengah pandemi Covid-19 seperti saat ini? Pertama, menguatkan keimanan dalam suasana wabah. Artinya, umat Islam tidak hanya menahan lapar dan haus semata-mata. Namun, yang terpenting pengaktulalisasian diri yang dapat menahan nafsu yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Perilaku mencegah perbuatan yang munkar dan selalu mengerjakan yang ma’ruf untuk mendekatkan diri dan menjalankan perintah-Nya. Seseorang yang berhasil dalam puasa ramadhan akan berdampak pada kehidupan sehari-hari khususnya menjadi pribadi yang memiliki empati di tengah pandemi.
Kedua, senantiasa memerangi perilaku dan sikap yang membuat masyarakat untuk selalu ke jalan Allah bukan perilaku yang merugikan masyarakat. Logika bahasanya agar umat Islam bisa tenang dalam beribadah. Dan yang terpenting juga agar kita senantiasa membentengi keluarga kita dari perbuatan maksiat dan juga yang merugikan diri sendiri dan juga masyarakat.
Umat Islam harus bisa menerjemahkan bahwa puasa dapat dimaknai media untuk meningkatkan derajat kesehatan tubuh yang sehat. Segala kegiatan yang selama bulan puasa ini harus istiqomah. Beribadah yang dapat mudah mentransformasi dalam setiap gerak aktivitas dan nafas kita. Betapa indahnya manakala gerakan kehidupan selalu didasari ketaqwaan bukan kemunkaran.
Ketiga, mempertinggi kepekaan empati sosial berskala besar. Kehidupan tentunya akan bersentuhan dengan perilaku orang banyak. Dalam situasi yang demikian, rasa sosial kepada sesama harus menjadi sesuatu harga mati. Jangan terjebak pada perilaku individualis.
Momen puasa yang kebetulan saat Covid-19 seperti ini salah satu cara yang tepat untuk menata kembali empati sosial kita. Ramadan adalah bulan solidaritas kepada sesama untuk selalu berbagi kepada siapa saja khusus para dhuafa dan orang-orang miskin yang butuh uluran kita. Semua harus bisa merasakan sekaligus merefleksi saat sedang lapar dalam berpuasa.
Bisa menjadi perbandingan bagaimana kalau orang lain yang tidak berkecukupan dalam merasakan kelaparan. Transformasi “ikut rasa” dan jiwa tidak egois pada sesama untuk bisa dikendalikan pada saat ramadhan kali ini. Sangatlah relevan sekali bila puasa ramadhan kali ini sebagai media mawas diri untuk menatap hari esok yang lebih baik dan bermartabat. [*]

Rate this article!
Tags: