Puasa Melatih Kesabaran

Prof Dr KH Ahmad Zahro MA

Prof Dr KH Ahmad Zahro MA

Oleh:
Prof Dr KH Ahmad Zahro MA
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Puasa (shaum, shiyaam-Arab) secara bahasa berarti menahan, mengekang, mengendalikan, dan sejenisnya. Secara syara’ (ajaran Islam) adalah menahan segala yang membatalkannya (seperti makan, minum, merokok dan bersetubuh) sejak terbit fajar (subuh) sampai terbenam matahari (magrib).
Puasa adalah materi latihan dan uji kesabaran yang luar biasa, baik kesabaran jangka pendek (seharian), jangka menengah (sebulan), maupun jangka panjang (seumur hidup). Betapa tidak? Makan, minum dan bersetubuh adalah kebutuhan vital bagi siapa pun yang normal dan akan datang setiap saat, harus ditahan seharian (kira-kira 14 jam) selama 1 bulan (29 atau 30 hari) dan berulang setahun sekali (setiap bulan Ramadan).
Kesetiaan dalam menjalani latihan dan mengerjakan ujian ini amat terkontrol karena pengawasnya langsung Allah SWT sendiri. Latihan, penataran atau ujian mana yang sanggup menandingi kemungkinan efektivitasnya?
Kesabaran dalam perspektif Islam setidaknya terbagi dalam tiga katagori, yaitu: Pertama, sabar melaksanakan perintah (ash-shabru ‘ala ath-thaa’ah). Selama puasa, kita dilatih dan diuji secara konstan untuk setia melaksanakan perintah Allah SWT terkait dengan kewajiban sehari-hari, utamanya kewajiban mempertahankan puasa kita.
Sesuatu yang lazim, bahwa kesadaran taat ini muncul lebih terasa pada hari-hari puasa. Orang yang tidak biasa ke masjid, tiba-tiba rajin berjamaah. Orang yang tidak biasa mengaji, tiba-tiba rajin tadarrus (membaca Alquran). Orang yang jarang bersedekah, tiba-tiba menjadi dermawan, walaupun sebagian masih sebatas pada bulan Ramadan saja. Hal ini secara pelan tapi pasti akan menumbuhkan internalisasi kesetiaan yang diharapkan tetap terbawa pada kehidupan sebelas bulan berikutnya.
Kedua, sabar menjauhi larangan (ash-shabru ‘ala al-ma’shiyyah). Orang yang berpuasa memiliki kepekaan lebih atau sensitivitas tinggi terkait dengan kemaksiatan (pelanggaran, perbuatan dosa). Tentu kita sering mendengar ungkapan spontan saudara kita (atau malah kita sendiri) “Ee… sedang puasa kok mengumpat” ketika ada orang mengumpat, seolah kalau tidak sedang berpuasa boleh mengumpat.
“Lho… sedang puasa kok bohong” ketika ada teman yang diduga berbohong, seakan kalau tidak berpuasa boleh berbohong. Padahal tidak demikian, melainkan semata-mata karena tingginya kesadaran spontan untuk menjauhi larangan Allah SWT (seperti mengumpat dan berbohong).
Ketiga, sabar menghadapi musibah (ash-shabru ‘ala al-mushiibah). Kalaupun musibah selama ini dipersepsikan sebagai ‘bencana’ fisik, tetapi penderitaan ‘bencana’ psikis boleh jadi lebih berat dibanding ‘bencana’ fisik. Latihan sekaligus ujian menghadapi penderitaan akibat ‘bencana’, baik fisik maupun psikis ada di puasa. Betapa tidak? Latihan dan uji kesabaran yang terjadi secara konstan dalam puasa dan selama bulan puasa (Ramadan) adalah materi unggul yang tak tertandingi.
Ketiga jenis kesabaran tersebut hanya akan secara efektif terlatih dan teruji dalam puasa, manakala puasa itu kita laksanakan sesuai protap (prosedur tetap) fiqihnya, sesuai aturan normatifnya, dan sesuai etika serta esensinya. Karena sesungguhnya puasa bukanlah menahan segala yang membatalkannya secara fisik saja, melainkan dan mestinya termasuk priorotas, adalah menghindari segala yang mengganggu pahala puasa.
Dalam hal ini sindiran Rasulullah SAW amat mengena pada kita yang kualitas puasanya baru sebatas puasa fisik. Baliau menyatakan dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dll. maknanya: “Siapa yang berpuasa tetapi tidak meninggalkan perkataan/perbuatan curang, maka sungguh Allah SWT tidak butuh mereka meninggalkan makan dan minum”.
Ini artinya, yang sesungguhnya dituntut di balik puasa fisik adalah puasa psikis, yaitu pembentukan pribadi bermoral lurus, berbudi mulia dan bermental kokoh. Dengan kata lain, kualitas puasa amat menentukan berhasil tidaknya seseorang mencapai esensi puasa, di antaranya adalah kesabaran.
Mengenai puasa sebagai latihan dan uji kesabaran, Rasulullah SAW dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh al-Jama’ah (banyak perawi) menasihati para pemuda yang belum sanggup menikah dengan sabda beliau yang maknanya:  “Hai para pemuda, manakala kalian sudah mampu maka menikahlah, karena nikah itu lebih dapat mengendalikan pandangan dan nafsu. Tetapi jika kalian belum mampu maka berpuasalah, karena puasa itu adalah perisai (bagi pandangan dan nafsu)”.
Dari hadis di atas jelas tertangkap, bahwa puasa adalah pengendali nafsu yang ampuh, termasuk bagi para pemuda yang nafsu birahinya belum dapat tersalurkan. Dalam perspektif spiritual, puasa juga merupakan laku spiritual yang amat dahsyat mengumpulkan enegi positif bagi kekuatan “supranatural”.
Namun kalau ditelusur lebih jauh ternyata bukan hanya bertumpu atau disebabkan karena puasanya saja, melainkan lebih bertumpu pada kemampuan seseorang untuk bersabar. Artinya sehebat apapun laku spiritual itu dilaksanakan, jika mental kesabarannya tidak terlatih dan belum teruji, maka mentah juga kekuatan “supranatural” nya.

Rate this article!
Puasa Melatih Kesabaran,5 / 5 ( 1votes )
Tags: