Puasa, Menahan Kegemaran Menebar Hoax di Media Sosial

Oleh:
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Di era digital dewasa ini, saat puasa bisa kita tambahkan makna menahan jari-jemari kita dari kegemaran menebar berita palsu alias hoax di media sosial. Lagi-lagi semasa Pilkada DKI, banyak berita palsu bertebaran di media sosial. Tahanlah jari-jemari mengabarkan informasi apa pun sebelum bertabayun atau melakukan verifikasi. Bukankah Tuhan menyuruh kita untuk tidak memercayai dan menyebarkan begitu saja segala informasi sebelum kita memverifikasinya? Berikut sekiranya puasa yang bisa kita jadikan modal sosial di era digital.
Pertama, melalui ibadah puasa kita bersama tentu mengharapkan kelompok yang doyan sweeping untuk menahan diri. Jangan main hakim sendiri. Bila ada hal-hal yang tidak pas atau kurang pantas, serahkan kepada aparat hukum untuk menuntaskannya. Menahan diri dari perbuatan-perbuatan di atas semestinya dilakukan tidak hanya selama Ramadan, tetapi seterusnya. Ramadan ialah bulan ujian.
Kedua, ibadah puasa sebagai peluang meraih kelulusan ujian. Kita lulus menghadapi ujian di Bulan Ramadan justru bila kita sanggup menahan diri setelahnya, selamanya. Kita lulus ujian menahan diri bila kita, misalnya, tak lagi menebar kebencian serta berita palsu pada pilkada serentak tahun depan dan Pemilu 2019. Ramadan dalam bahasa Arab berarti membakar, menghanguskan, atau menghancurkan. Menolak perbedaan, menebar kebencian dan berita palsu, serta berbuat radikal ialah bentuk-bentuk egoisme karena di sana terkandung syahwat pingin menang sendiri.
Ketiga, melatih kepekaan nurani demi kehidupan bersama. Barometer atau parameternya, nurani kita diharapkan mampu merasakan getar-getar adanya pembimbing, pengawas, dan curahan kasih sayang dari Sang Khalik. Dialah Yang Maha besar sehingga kita menjauhkan diri dari segala perilaku sombong, tamak, korup, memfitnah, melukai orang lain dan merusak nilai-nilai kemanusiaan.
Jadi dengan begitu, puasa bisa menjadi modal sosial untuk menyemai perilaku atau laku-laku kemanusiaan. Misalnya semakin peduli terhadap orang lain, menghormati perbedaan keyakinan, memupuk rasa solidaritas, dan meninggikan empati kepada saudara yang tengah tertimpa musibah. Dan tentunya berucap syukur atas segala karunia kesehatan, rezeki, keluarga, dan kehidupan. Meskipun secara lahiriah berbeda-beda, semua umat manusia adalah saudara yang memiliki derajat sama.
Lewat modal hubungan vertikal dan horizontal itulah kiranya umat menebalkan keimanan dan perilaku saling mengasihi. Kesalehan individu beriringan dengan kesalehan sosial akan melahirkan harmoni dan menciptakan sikap peduli. Implementasi sederhana, mencegah hasrat korup tidak hanya pada Ramadan, tetapi berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Stop aksi meneror tak hanya selama berpuasa sebulan penuh, tetapi juga pada masa-masa mendatang.
Bila kita sanggup menahan diri selama Ramadan dan masa-masa setelahnya, ego-ego itu hangus terbakar. Kita seperti terlahir kembali sebagai manusia. Kelak di penghujung Ramadan atau awal Syawal yang dikenal sebagai Idul Fitri, kita kembali ke fitrah atau jati diri kita sebagai manusia. Umat Islam ialah bagian terbesar bangsa ini. Bila lulus ujian menahan diri melalui puasa di bulan Ramadan, umat Islam akan memberi kontribusi terbesar pada kemajuan bangsa ini, menjadi rahmat yang tentunya membawa kebaikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.*

Tags: