Puasa, Menguatkan Takwa Subtantif

Erna M IzzaOleh :
Erna Maliatul Izza
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang,  Ketua Umum Aliansi Santri Intelektual Organik (ASIO) Semarang

Islam sebagai landasan beribadah, tidak hanya mengandung ajaran-ajaran yang berkaitan dengan esensi ketuhanan (uluhiyyah), tetapi juga mengandung esensi kemanusiaan (ubudiyyah). Puasa sebagai salah satu bagian dari ibadah, tentunya secara mutlak tidak meninggalkan kedua esensi tersebut guna mencapai kesempurnaan dalam berpuasa. Dalam konteks ini, berpuasa sejatinya menyeimbangkan hubungan manusia, baik secara vertikal kepada Tuhannya (hablumminallah) ataupun secara horizontal kepada manusia lainnya (hablumminannaas).
Dalam berpuasa, hubungan secara vertikal kepada Tuhan dapat tercipta dengan adanya sikap takaruf (mendekatkan diri) dengan Sang pencipta. Dengan penanaman sikap takaruf ini, puasa dapat dijadikan sebagai kontrol atas perbuatan keji dan mungkar, serta sebagai media penghantar untuk menjadi muttaqin yang sesungguhnya.
Sudah dapat dipastikan, di bulan Ramadan ini, setiap muslim di seluruh dunia sibuk melakukan kegiatan dengan berbagai euforia, terkhusus di Indonesia. Umat Islam mengadakan banyak agenda dalam menjalankan ibadah puasa. Di samping itu, berbagai tempat-tempat ibadah seperti masjid, musala, dan majlis taklim, ramai dengan segala macam ritual peribadatan. Puasa Ramadan semakin semarak dengan adanya kajian-kajian keislaman yang ditawarkan oleh berbagai media pertelevisian.
Fenomena instan yang terjadi dewasa ini, menggambarkan dengan jelas bahwa puasa Ramadan ibarat magic yang bisa mengubah segalanya secara tiba-tiba. Banyak orang yang sebelumnya malas pergi ke masjid, sekarang malas beranjak dari masjid. Mereka yang sebelumnya jarang atau bahkan tidak pernah melaksanakan shalat malam (qiyamullail), sekarang tidak pernah absen mengerjakannya. Serta banyak ritual peribadatan lainnya untuk  menghiasi bulan yang penuh berkah (syahrun mubarok) ini.
Ironisnya, semua rutinitas seputar puasa Ramadan hanya terjadi di bulan ini saja. Berbagai macam ritual peribadatan, guna menanamkan sikap takwa oleh setiap personel terhadap Sang pencipta, menghilang seiring dengan berakhirnya bulan ini. Kebanyakan orang memaknai puasa Ramadan hanya sebatas kewajiban saja, tanpa memerhatikan subtansi ibadah puasa yang sesungguhnya.
Berdasarkan hukum psikologi, kegiatan yang dilakukan secara continuous (berlanjut) dapat menimbulkan suatu kebiasaan. Nah, atas dasar implemetasi teori inilah pemaknaan puasa diartikan. Puasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadan, sejatinya bertujuan untuk meningkatkan  ketaqwaan seorang muslim, agar menjadi muttaqin yang sesungguhnya. Namun, fenomena yang ada sekarang, segala ritual peribadatan seputar puasa Ramadan hanya dilakukan pada bulan Ramadan saja. Tujuan Ramadan untuk menambah ketakwaan umat Islam tidak bisa terealisasikan karena banyak orang tidak bisa bersikap istiqomah dalam menjalaninya.
Meningkatkan Kepekaan Sosial
Melalui pemaknaan horizontal, ibadah puasa mengajarkan seseorang untuk memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap sesama. Umat Islam pada hakikatnya diajarkan untuk memiliki sikap empati terhadap orang-orang yang selama ini terpinggirkan, dan berada dalam situasi sosial yang sulit. Namun, kondisi yang terjadi sekarang, banyak orang berpuasa, tetapi tidak serta merta memerdulikan keadaan saudara semuslimnya yang mempunyai keterbatasan sosial ekonomi.
Bagi kebanyakan orang, berpuasa justru menjadikan gaya hidup hedonisme, berlebih-lebihan bahkan menghambur-hamburkan. Lihat saja gaya mereka berbuka, tentulah tidak hanya cukup satu jenis makanan, tetapi berbagai makanan seakan telah mereka siapkan untuk kepuasan berbuka.
Di sisi lain, banyak orang-orang diluar sana yang merasakan sulitnya mencari makanan untuk sekadar membatalkan puasa. Tentu akan lebih utama, apabila mereka yang memiliki kelebihan makanan itu disedekahkan kepada yang lebih membutuhkan. Karena berlebihan dalam berbuka itu tidak baik, sementara kesederhanaan adalah gaya hidup yang bijaksana.
Terkait dengan sikap hedonisme diatas, seorang muslim diharuskan menjauhinya. Sebab, sejatinya hakikat berpuasa adalah ikut serta merta merasakan keadaan orang-orang sekitar yang berada dalam keadaan sosial yang sulit.
Maka, sungguh tidak pantas apabila sikap berlebih-lebihan itu dilakukan ketika banyak orang lain yang merasakan kesulitan hidup. Karena itu, diperlukan penanaman sikap kesederhanaan dalam menjalankan puasa oleh setiap individu, guna menciptakan tujuan berpuasa dalam menumbuhkan kepekaan terhadap sosial. Dengan terpenuhinya esensi sosial dalam puasa, tentulah umat Islam dapat mempunyai jiwa sosial tinggi dan peduli terhadap lingkungan.
Untuk mewujudkan ketakwaan substantif dari setiap umat Islam, perlulah kiranya berbagai ritual peribadatan di bulan Ramadan terus dijalankan ketika bulan ini telah berakhir. Karena pada dasarnya, tujuan utama puasa adalah membentuk pribadi yang bertaqwa. Kepada makna inilah, tujuan utama puasa dapat tercapai apabila umat Islam keluar dari Ramadan dengan membawa predikat taqwa.
Hal ini sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam Q.S al-Baqarah : 183 yaitu, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Tingkat keberhasilan seseorang menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan, bisa diukur dari tingkat ketaqwaannya, yaitu sejauh mana seseorang itu mampu merealisasikan ketaqwaan, dan selalu menerapkan sikap muroqobah (kontrol) Allah dalam berbagai situasi dan kondisi. Karena itu, umat Islam hendaknya menjadikan puasa sebagai ajang pelatihan menjadi pribadi yang dapat mentransformasikan nilai-nilai akhlak selama puasa Ramadan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga bisa terciptanya seorang muttaqin yang mampu menghadapi berbagai tantangan zaman.
Wallahu a’lam bi alshawab.

                                                                                                                ——————- *** ——————

Rate this article!
Tags: