Puasa Menuju Derajat Makrifatullah

Ani Sri Rahayu

Oleh:
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Univ. Muhammadiyah Malang

Puasa Ramadan pada hakikatnya merupakan sarana menuju kesempurnaan, puasa tentu saja tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebagaimana kehidupan sosial, pelaksanaan puasa juga ada etikanya. Itulah sebabnya, Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumaddin membagi puasa dalam tiga level. Puasanya orang awam (shaumul ‘am), puasanya orang istimewa (shaumul khash), dan puasanya orang super istimewa (shaumu khawashil khawash).
Pada level pertama, orang berpuasa hanya menahan nafsu makan, minum, dan berhubungan badan. Puasa level kedua, di samping menahan nafsu perut dan kelamin, juga berusaha mencegah mata, mulut, tangan, kaki, dan anggota-anggota tubuh lainnya dari perbuatan maksiat. Puasa level ketiga adalah puasa hati dari segala pikiran dan kesenangan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari Allah.
Seseorang akan dapat naik peringkat puasanya jika diri kita ini memiliki pengetahuan tentang Allah SWT (ma’rifatullah). Ma’rifatullah sangat erat hubungannya dengan keimanan. Orang yang sudah mencapai derajat ma’rifatullah maka keimanan semakin kuat karena sekat-sekat keraguan dalam dirinya sudah tidak ada lagi.
Makrifat itu sendiri adalah terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada. Dalam bahasa yang sederhana makrifatullah adalah mengenal Allah, yaitu tidak ada yang wujud selain Allah dan perbuatan Allah.
Puasa mendorong pelakunya mengenal Allah SWT. Sebab ibadah puasa, khususnya puasa Ramadan dalam tarap tertentu membutuhkan keimanan yang kuat. Jika tidak ada keimanan tentulah seseorang tidak mau melaksanakannya karena secara fisik ibadah puasa sebulan penuh memerlukan tekad yang kuat. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal ini menunjukkan faktor iman sangat penting dalam ibadah puasa. Orang yang imannya meningkat karena ma’rifatullah tentu melaksankan ibadah puasa akan lebih berkualitas. Tidak sekadar menahan makan, minum, dan syahwat di siang hari. Tetapi sudah dapat melaksanakan puasa khushus atau bahkan khushusil khushus.
Mengenal Allah SWT melalui puasa dapat dilihat dari perintah puasa. Perintah Allah kepada hamba-Nya untuk melakukan satu sifat-Nya, yaitu tidak makan dan tidak minum. Begitu pula puasa adalah istighna; yaitu tidak membutuhkan segala sesuatu. Istighna adalah sifat Allah, karena Allah tidak membutuhkan segala sesuatu.
Jadi sebenarnya saat berpuasa, kita sedang berlatih untuk bersifat dengan sifat Allah, walaupun jelas kita sangat berbeda dengan Allah SWT, karena kita sangat membutuhkan orang lain. Meniru sifat Allah bagian dari upaya kita mengenal Allah SWT. Karena itu Rasulullah SAW menyuruh kita berakhlak seperti akhlaknya Allah SWT, “Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah”.
Karena puasa ini sangat erat kaitannya dengan ma’rifatullah maka yang dapat menghitung pahala orang yang berpuasa hanya Allah SWT sendiri. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, “Segala amal kebaikan manusia adalah untuk-Nya; satu kebaikan akan dibalas sepuluh hingga 700 kali-lipat. Allah SWT berfirman, kecuali puasa karena ia adalah milik-Ku dan Aku pula yang akan membalas kalau ia meninggalkan syahwatnya, makanan, dan minumannya karena Aku’.” (HR Bukhori dan Muslim).
Karena itu, bersungguh-sungguh dalam berpuasa dengan menjalankan ibadah puasa dan memaknai puasa secara hakiki akan menjadikan diri ini semakin mengenal Allah SWT. Semoga puasa kita di bulan Ramadan kali ini, sebagaimana penulis diawal kemukakan masuk pada kategori puasa level ketiga, yakni puasa hati dari segala pikiran dan kesenangan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari Allah. Dengan begitu semoga Ramadan kali ini saatnya kita bermujahadah utuh hanya pada Allah SWT. ***

Rate this article!
Tags: