Puasa Wahana Penyegaran Iman

Ani Sri Rahayu

Oleh:
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Ibadah puasa, seperti diketahui, dimaksudkan untuk memproses diri menjadi takwa (QS Albaqarah [2]: 183). Penting disadari ibadah puasa memiliki hubungan yang kuat dengan pendidikan moral (akhlak). Puasa, kata Nabi Muhammad SAW, ialah tameng dari dosa dan kejahatan. (HR Bukhari).
Sedangkan ketakwaan tak lain merupakan suatu kesadaran ketuhanan yang membuat manusia merasa malu dan menahan diri dari keburukan. Kita semua mengetahui, masyarakat dan bangsa kita, meski dikenal religius, tetapi amat rentan terhadap pelanggaran moral.
Ulama besar dunia, Yusuf al-Qardhawi, memandang puasa sebagai institusi pendidikan moral par-excellent (madrasah mutamayyizah) semacam candradimuka yang mampu mengasah kepekaan moral dan ketajaman spiritual untuk mencapai takwa. Selain itu, dalam ibadah puasa terkandung dua semangat yang sangat penting dilihat dari perpektif pendidikan moral (akhlak).
Pertama, semangat pencegahan (kaffun wa tarkun) dari proses dehumanisasi, atau dalam bahasa Al-Ghazali pencegahan dari al-muhlikat, yaitu kecenderungan-kecenderungan dalam diri manusia yang bersifat destruktif, fujur (QS Al-Syams [91]:7-8).
Kedua, semangat bertindak (hatstsun wa `amalun) menuju atau ke arah humanisasi, atau dalam bahasa Ghazali dorongan pada al-munjiyat, yaitu proses yang akan membawa manusia menuju kemuliaan dan keselamatan dengan menghidupkan kecenderungan-kecenderungan dalam diri manusia yang bersifat konstruktif, takwa (QS Al-Syams [91]:7-8).
Meruju dari dua semangat ibadah puasa, dapat disimpulkan bahwa selama bulan suci Ramadhan berlangsung, sebenarnya setiap individu muslim melalui ibadah puasa (dan ibadah-ibadah lainnya) sedang melakukan intensifikasi iman, amal, dan takwa dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam perjalanan hidup seorang muslim ada hal-hal yang tidak selalu pas dengan iman dan keberimanannya.
Itulah sebabnya selalu diperlukan revitalisasi iman dan penyegaran kembali spirit keberagamaan dalam dirinya agar perilakunya tetap berjalan di atas jalan yang lurus (shirathal mustaqim) sesuai dengan ajaran Allah. Dengan demikian spirit iman dan keberimanan seorang muslim tetap dalam koridor fitrah insaniah dan nilai transendental Ilahiahnya. Dalam konteks demikian, ajaran puasa Ramadan (dan ajaran ibadah-ibadah yang lain) punya arti yang sangat mendalam dan strategis dalam mengintensifkan iman, amal, dan takwa seorang muslim.
Pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan secara konsisten, baik, dan benar akan membentuk fondasi iman dan pilar keberagamaan seorang muslim lebih kuat, dinamis, kreatif, dan fungsional.Sebagai hasilnya, terbentuklah bangunan iman multidimensi yang akan selalu bekerja dan berkarya secara produktif dan kreatif yang dapat menghasilkan karya-karya kemanusiaan dan amal-amal kebajikan, tidak saja selama bulan Ramadhan, tetapi juga di luarnya.
Dengan memiliki kualitas pribadi seperti ini, Allah selalu hadir secara fungsional dalam diri seorang muslim tadi dan Dia selalu membimbingnya sehingga dirinya selalu merasa dekat dengan Allah. Dalam diri sang mukmin tadi, nur Ilahi selalu memancar menerangi kalbu nuraninya dan Allah men­jadi pelita terang sepanjang lika-liku perjalanan hidupnya. Sang muslim tadi selalu berpegang pada ajaran Alquran dan menyesuaikan segala gerak-gerik perilakunya dengan sunah Nabi untuk selalu berjalan di atas jalan lurus yang diajarkan Allah SWT. ***

Rate this article!
Tags: