Puisi dan Air Mata Ibu

Oleh :
Agus Widiey

Seringkali aku melihat air mata ibu mengalir di pipinya, ketika ayah berangkat bekerja ibu pasti membaca puisi yang ditulis ayah, entah sudah berapa tahun yang lalu, aku pun belum mengerti mengapa ibu bisa sampai menangis ketika membaca puisi itu apakah kata-katanya benar-benar menyentuh hati atau ada nostalgia yang ibu dan ayah di sana. Hanya saja ibu langsung menutupnya ketika aku mendekati dan sesekali mencoba bertanya. Kala itu ayah berangkat bekerja pukul 07 : 00 dan aku nonton TV di ruang tamu, tiba-tiba ibu membaca sebuah buku agak usang dengan begitu larutnya ibu sampai menjauhkan air mata. Aku pun bergegas bertanya pada ibu ” Loh, ibu kok sampai nangis? Emangnya puisi buatan ayah gimana, Bu?”
Tanyaku dengan suara memohon, tapi usahaku nihil ibu sama sekali tidak mau memberikan puisi itu padaku.
*

Seminggu dari kejadian itu ibuku tidak enak badan dan akhirnya ia sakit. Aku dibuatnya semakin cemas dengan keadaan ibu, menjelang senja aku berniat mau ke rumah teman ayah sembari menikmati suasana cahaya senja di atas bukit, sesampainya di rumah yang aku tuju, akhirnya aku bertemu dengan sahabat ayah namanya “Burhan” tapi aku disuruh panggil paman oleh ayah karena sebelum-sebelumnya ayah sudah beberapa kali mengajakku bermain ke rumahnya tanpa banyak basa-basi dengan niat ingin bertanya tentang masalah dalam karya ayah pada man burhan aku pun memulainya “Man Burhan, saya mau tanya dalam buku usang milik ayah, yang isinya puisi-puisi itu mengapa sampai sekarang membuat ibu terus menangis dan kepikiran, sampai-sampai ibu sakit” tanyaku padanya dengan wajah yang kelihatannya tidak menaruh rasa curiga, ia pun menjawab “Begini, Nak. Aku juga tidak paham soal itu, tapi kalau dalam karya khusunya puisi ayahmu biasanya ayahmu sering menyebut nama perempuan.” paman Burhan menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam seakan ia benar-benar menikmati kehidupan ini ” Kok bisa begitu sih, Ayah” tanyaku lagi dengan suara agak sebal dan marah “Memang seperti itu penyair, dan kata Chairil Anwar : Ada banyak bahaya di dunia ini, salah satunya mencintai seorang penyair.” Dan paman Burhan melanjutkan kata-katanya “Lebih jelasnya kamu tanyakan pada sahabat ibumu” paman burhan memberikan jalan lain padaku “Siapa sahabat ibu” “Mamanya ibu Mirna, coba kamu selidiki dan tanyakan tentang semuanya dengan ibu mirna itu” “Iya, paman. Terimakasih akan saya coba.” “Sama-sama, semoga berhasil” “Amin, Assalamualaikum, paman Burhan” “Walaikumsalam, hati-hati di jalan” aku pun langsung pulang karena ayah mengabariku ibu sekarang ada di rumah.
*

Aku berpikir di depan rumah ketika bulan purnama tertera di atas pekarangan, dalam pikiranku yang melintas “Kalau sebab puisi itu membuat ibu kepikiran, mengapa sikapnya pada ayah biasa-biasa aja, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa sedang menyimpan rasa benci.” Karena waktu sudah larut malam dan cuaca terasa lebih dingin dari biasanya maka aku memilih untuk tidur dengan pikiran kacau balau. Setelah suara adzan subuh memanggil umat Islamslam untuk shalat maka sebagai umat Islam aku pun langsung bangun dan mengambil wudhu Dengan niat ingin menunaikan ibadah sholat subuh. Terasa sangat segar dan ketenangan menyelimuti pikiran dan hati setelah selesai shalat dan merapal doa kepada yang mengatur segalanya agar segala kegelisahan-kegelisahanku bisa cepat terjawab. Esok pagi saat matahari sudah mulai meninggi dan jam menunjukkan pukul 07 : 30 dari makanan, minuman serta obat-obat punya ibu sudah aku siapkan, lalu aku berangkat mencari sahabat karib ibu yang bernama ibu mirna. Tak lupa aku juga pamit pada ayah karena hari ini adalah hari Minggu ayah libur kerja maka aku pu keluar dan ayah siap akan menjaga ibu.
*

Setapak demi setapak aku terus berjalan mencari alamat rumah yang sedang kutuju. Akhirnya setelah hampir dua jam baru kutemukan alamat rumah ibu mirna itu dan aku mengucap salam, barangkali ucapanku tadi hampir membuat tuli ibu mirna karena agak kencang kemungkinan sampai terdengar ke belakang rumahnya, takutnya aku dikira mau nagih hutang sama tetangga-tetangganya. Tak lama kemudian datang seorang ibu yang agak tua dan aku pu menyalaminya “Mau tanya, Nek. Apakah benar ini rumahnya ibu mirna?.” Tanyaku pada sang nenek “Iya betul nak, ini rumahnya nyonya mirna.tapi nyonya mirna sedang ke luar negeri ke tempat suaminya bekerja, dan keperluan sampean apa ya, Nak?” Jawabnya sembari menjelaskan bahwa ibu mirna sedang tidak ada di rumahnya. “Saya, anak dari sahabat ibu mirna. Saya kesini dengan niat ingin bertanya sesuatu tentang ibu saya, tapi karena ibu mirna gak ada maka gak jadi, Nek” tukasku pada nenek yang menjaga rumah ibu mirna “Oh iya gak apa-apa, Nak. Sekalian mampir ke dalam dulu, nenek buatin minuman” “Enggak usah Nek, saya masih keburu ini, terimakasih ya” tukasku “Iya sama-sama” dengan punggung sudah mau menjauh dan wajahku masih tersenyum pada nenek itu aku mengucap salam”Assalamualaikum” “Waalaikumsalam” sembari nenek itu juga tersenyum. Dengan usaha keras dan hasil yang nihil aku pun bertekad ingin mencari sendiri. Sesampainya di rumah tak kusangka ibu membacanya lagi dengan air mata yang mengalir, aku pun langsung menyapa ibu “Kenapa ibu menangis” tanyaku, akhirnya ibu menutup buku itu dan mengusap air matanya dan bilang “Enggak apa-apa.” Dalam benakku aku yakin sepenuhnya hati ibu pasti membara ketika membaca karya sastra itu dan ibu merasakan cemburu yang amat dalam. Sampai-sampai ia tak mau ceritakan apa yang ditulis oleh ayah dalam buku itu. Aku pun mengerti bahwa rasa cinta ibu pada ayah sungguh telah mendarah daging, hingga ibu tak mau jika ayah menyebut perempuan lain dalam puisi-puisinya, setelah puisi itu ditutup air mata ibu pun berhenti mengalir. Ibu menghampiriku di menja tempat biasa aku belajar ia mengelus rambutku dan sesekali berkata “Nak, jangan kamu menjadi penyair yang sering menyebut nama perempuan lebih dari satu, sebutlah perempuan yang benar-benar ingin kamu singgahi hatinya, karena jika sampai kamu menyebut nama perempuan selain kekasihmu, maka yang terjadi kamu akan menjadi laki-laki yang hanya menciptakan luka dengan kata.” Aku pun mengangguk dan mulai malam itu segala feelingku terbukti juga, bahwa ibu merasakam sakit selama ini hanya karena merasa cemburu pada apa yang di tulis ayah sebagai simbol bahasa rasanya juga ungkapan-ungkapan kesejatian cintanya untuk siapa yang sebenarnya.

Batuputih, 2021
Tentang Penulis :
Agus Widiey, Lahir di Batuputih, Sumenep, Madura, 17 Mei 2002. Sekarang masih tercatat sebagai santri aktif pondok pesantren Nurul Muchlishin Pakondang, Rubaru, Sumenep, Madura. Siswa kelas XI/2 MA Nurul Muchlishin. Puisi-puisinya tersiar di pelbagai media seperti; Radar Madura, Cakra Bangsa, Harian Bhirawa, Harian Sib, Pojok Sastra, NU Online, Puisi Alit, Puisi Pedia, dan antologi puisinya antara lain; Rumah Sebuah Buku(2020) Hidup Itu Puisi(2020) Subuh Terakhir(2020) Seruling Sunyi Untuk Mama(2020) Sumpah Pemuda (2021) Merapal Jejak(2021) Goresan Kenangan(2021).

Rate this article!
Puisi dan Air Mata Ibu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: