Puisi-Puisi Patah

Oleh :
Rizky Saputra

Puisi Patah 1
Tuhan, bolehkah pagi ini, hamba berbisik padaMu?
Oh, sungguh, syair-syair patah sedang mengalun-alun riuh di dalam sukmaku.
Bait-bait patah bersiulan, ia terus menerus berderu, mendekap mataku.
Oh, sungguh, bahkan aku menyaksikan, angin yang biasanya menjadi sahabatku, ia berlayar menuju bintang, lalu mengembunkan rintik-rintik kepedihan.
Temaram, tepat di relung jiwaku.

Tuhan, boleh hamba bercerita padaMu….
Kini, bintang-bintang pun tak lagi ceria.
Saban malam mereka menawanku, menghiburku dengan dongeng-dongeng cinta yang patah.
Tuhan, sepatah inikah jatuh di kala cinta?
Bahkan angin, dan bintang-bintang saja tak mampu mengutuhkanku.
Bahkan sekian abad aku merenung pun, tak akan aku sampai pada pemahaman, “mengapa aku sangat mencintainya?”

Sungguh, bahtera cinta ini akan segara karam.
Aku sendiri yang menyaksikan, dermaga itu melambaikan bendera pisahnya. Bersahut nyiur yang menyanyikan lagu-lagu patah.
Pertanda, aku telah gagal melabuhkan cintanya.
Tuhan, jika memang cintaku padanya terlarang.
Lantas mengapa, kau tawankan hatiku kala itu?
Mengapa kau basuh aku dengan cinta yang amat sempurna padanya?
Sungguh, kalau memang bahtera ini harus karam pada akhirnya.
Tenggelamkan aku bersama cinta yang masih menyala ini.
Biar syair-syair patah itu, kupersembahkan di semesta yang lain…
Barangkali, di semesta yang lain itu,
Kau labuhkan bahtera cintaku, tepat di dermaga cintanya.
_______

Puisi Patah 2
Wahai dunia, beginikah balasanmu, kepada pencinta yang tulus?
Haruskah kau turunkan hujan-hujan belati ini, untuk menghunus relung inti cintaku? Mengapa syair-syair cintaku, justru kau patahkan sebelum sampai ke dekap matanya? Kemarin, kau mandikan aku di telaga nirwarnamu.
Lantaran, bayang-bayangnya masih hadir dalam rengkuhan jiwaku.
Namun kini, bayangan itu pun kau renggut.
Lantas, apa lagi yang aku miliki?

Wahai dunia, sungguh, engkau telah menebas-nebas titik pengharapanku.
Kau injak-injak, kau remukkan, cinta yang sempat ku langitkan.
Kini, yang tersisa dari kekasihku hanyalah Namanya.
Tersebab hati dan jiwanya, sudah dipunyai lelaki lain

Duhai kekasih, hati lelaki mana yang telah menawan keelokanmu?
Datanglah sebentar saja, lalu tikam aku, tepat di pangkal jantung yang mengayun-ayunkan Namamu.
Duhai kekasih, memang beginikah akhir terindah seorang pencinta?
Lebur berkeping-keping, bersemayam di lubuk penderitaan.

Selamat tinggal kekasih,
senang bisa mencintaimu…

_______

Puisi Patah 3
Ketahuilah, kepedihan telah meranggas begitu ganas, berlabuh menuju ruas-ruas harapan yang kini tak lagi utuh.
Telak, kepergianmu menyisakan luka yang tak terelak.
Terkubur, setiap kisah dan tawa yang dulu kita rajut dalam baur, kini rapuh dan perlahan mulai hancur.
Dekap, rengkuhlah jiwaku yang patah tertebas oleh harap, seperih luka yang datang dan pergi tanpa pernah diungkap.
Ku ratapi, hadirmu yang sebatas menemani bukan melengkapi, mecabik-cabik, merobohkan cinta yang tlah kubangun seutuh hati.
Heran, cantik parasmu yang menawan, begitu pandai menyajikan kepalsuan.
Hunus, hunuslah sisa-sisa tawaku yang beranjak pupus, niscaya dengan maaf dan tangis pun, lukaku takkan mampu kau tebus

Ingat, tepat setelah bait-bait patah ku bisikkan.
Kau beranjak menuju peluk yang tak pernah kuinginkan.
Disini, di tubuh yang pernah kau rengkuh, di hati yang pernah kau singgahi.
Aku masih sendiri, dikoyak-koyak sepi,
bersama sajak-sajak kenang, aku membicarakan senyummu di keindahan yang telah hilang. Lihat, tepat setelah lampu-lampu dipadamkan.
Aku menyala sebagai satu-satunya yang kau patahkan, retak berserakan, tanpa kediaman, tersapu kesunyian, mengisahkan kedukaan di kepasrahan yang begitu lapang

Sadar, bahwa matamu tak pernah bersimpuh untuk menatap hadirku.
Celah di hatimu pun tak pernah berkenan mempersilahkanku.
Disini, sejak awal sampai kini. Kepedulianmu hanya menjelma isak, perih dan kecewa yang begitu sesak.

Sadar, aku hanya sekumpulan renjana.
Bagai badut yang membawa tawa dan cerita.
Begitu tangismu berhenti, engkau beralih dan menetap ke lain hati.
______

Puisi Patah 4
Aku mengembara ke berbagai pesona, namun tempatku berpulang tetaplah sepasang matamu
Di sudut-sudut lentiknya aku duduk berayun, menenun kata-kata
Kadang di hamparan hitam sorotnya itu aku berlayar menuju pantai-pantai harapan
Ya, matamu laksana dermaga bagi setiap hati yang tiba berlabuh, menatap lalu menetap.

Akan tetapi, usai kepergianmu
kapal-kapal cinta telah kehilangan dermaganya
banyak nahkoda gugur tenggelam mati menanggung kekecewaan.
Kecuali aku, yang masih setia berlayar terombang-ambing di tengah gelombang kerinduan

Ya, laksana nahkoda yang menantikan angin
Di telaga rindu ini, aku menunggu kembali hadirmu

Nanti, entah kapan, saat engkau datang
Perkenankan aku untuk lebih lama lagi menatapmu
Sembari aku bertanya, “siapa yang lebih kejam di antara kita?”

Engkau yang pergi meninggalkanku seorang diri, bertampuk selendang pemberianku, berlabuh pada pelukan lelaki lain yang lebih mentereng, berpunya, dan bergelimang.
Atau aku yang tergeletak di atas kapal kerinduan, berbulan-bulan, terombang-ambing, tanpa secarik pun kabar darimu?

Nanti, entah kapan, saat engkau datang
Bakarlah habis kapal cinta yang nyaris karam ini! Biar ia binasa, tanpa sedikitpun rindu yang tertebas sia-sia.

Blitar, 7 Februari 2023

———— *** ———–

Tentang penulis:
R Saputra
Seorang Penulis, dan Pegiat Literasi Lahir di Blitar, 6 September 2001. Seorang sarjana hukum lulusan UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Semasa kuliah aktif menulis dan menjuarai sejumlah kompetisi kepenulisan di tingkat nasional. Aktif di beberapa komunitas literasi, mulai dari Forum Lingkar Pena Jawa Timur, Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca Kab. Blitar, hingga Forum Lingkar Pena Cabang Blitar.

Rate this article!
Puisi-Puisi Patah,5 / 5 ( 2votes )
Tags: