Puisi-puisi Zainun Nafis KZ

Oleh :
Zainun Nafis KZ

Setetes Embun Pada Daun

Setetes embun itu ada di ujung daun
Ajalnya sudah di ukir pada rekahan batu.
Yang mana batu itu
Kau tanam di sekitar rusukku
Setiap harinya kau taburi dengan abu
Yang kau pungut dari bawah kakimu

Pada gemerlap setetes embun itu
Terdapat wajahmu
Dengan dahi berkerut
Seperti tak merasa bahwa daun itu
Akan merelakan setetes embun kepada batu.
Debu yang kau tabur
Tak kan lagi hinggap pada batu itu
Rekahan pada batu itu, akan tertutup.
Dan tak kan ada lagi wajahmu,
Pada setetes embun berikutnya.

Cabeyan, 2021

Di Ruangan Itu Kita Duduk

Di ruangan itu kita duduk
Dengan jendela tanpa selembar kaca
Sebagai saudara tanpa nyawa.
Dengan dinding
Hidupnya seperempat saja.

Sudah keberapa tetes kopi
Menenggelamkan kematian kita
Sudah berapa kata
Telah diapungkan dalam semudra hampa
Sudah berapa angka masalalu
Yang tak pernah kita sapa

Hanya lampu redup itu
Mengukir empat jari
Yang pada ahirnya
Kita menenggelamkan bayangan, darinya.

Kemudian sebagian dari kita
Sudah ada di atas roda penghisap yojana
Sedangkan, sebagian dari kita
Menelan jarak dari telapak kakinya.
Karena gua yang dinding dalamnya, berlapis wacana kuno
Telah terlukis di ladang otak dan hati kita.

Cabeyan, 2021

Segenggam Padi

Segenggam padi yang kau tanam
Telah berhasil membuatku beriman.

Wahai padi
Kau juga berhasil membuatku jantan
Sehingga aku mewariskan
Daun-daunmu di tanganku tajam.
hingga membelah ombak pada lautan.
Di dermaga kaca itu.

Wahai padi
Kau juga membutakan mataku
Dengan lumpur tak suci
Sehingga membuatku
Tidak mengetahui tentang Kegetiran dalam hati ini.

Cabean, 2021

Berjalan Tanpa Jejak

Waktu-waktu terus berjalan
Angin-angin menjamah semua ingatan
Dan semua orang
Menelusuri jalan sepi
Hanya aku yang terdiam
Di bawah pohon cemara ini
Dengan kaki
Sudah menjadi sebatas bayang

Tapi mereka lebih bodoh dariku
Yang hanya duduk di bawah pohon cemara ini
Karena kakiku sudah aku tancapkan di punggung otakku
Dan sudah menumbuhkan kaki-kaki baru

Pincuk, 2021

Retak Cangkang Kura-Kura Bersama Rembulan

Ketika senja tidak semerah bibirmu
Saat itu rembulan terlahir
Dengan rangka melukis merah itu lagi
Walau dia menangis dalam sepi
Tapi tidak dapat merenggut merah itu lagi
Meski ribuan tetes air matanya
Sudah memenuhi semesta.

Sedangkan kura-kura tua
Sudah duduk di atas batu nisan
Meretakkan cahaya bersama rembulan
Seperti cangkang kutukan.
Maka retaklah kehidupan
Di mana retakan menjadi jalan
Bagi setiap nafas bagi setiap sosok, hilang
Akan bayang kehidupan.

Sedangkan aku
Bersama awan membenci malam
Melihat mereka dalam buih bayangan.
Hanya retak, yang lelah untuk menjalar.
Sudah hilang akan kepercayaan.

Wahai angin malam
Pembenci tetapi perindu bayangan.
Mungkin, sudahkah usai para musafir mencintai jalan?.

Kutub, 2022

Tentang Penulis :
Zainun Nafis KZ.
Lelahiran Sumenep. Puisi-puisinya sering nongkrong di media cetak dan daring. Saat ini aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: