Oleh :
Rodinatul Munawaroh
LANGIT BIRU DI LUAR
Ribuan mata terpasang tajam,
Seolah tembok menerawang.
Sementara aku yang malang,
Terperangkap dalam gelap ruang.
Seberkas angan tertahan dalam sepi.
Setitik mimpi terjebak dalam ilusi.
Rebah tanpa tau arah pasti.
Terlalu lambat untuk berlari lagi.
Sementara diluar?
Kapal sang juang sudah berlayar.
Lajunya cepat seperti kuda liar.
Usaha mereka telah terbayar.
Masa depan cerah seperti langit biru diluar.
Aku seperti kisah yang tak tuntas.
Selalu tertinggal sebelum mencapai garis batas.
Selalu kau tebas saat baru bertunas.
Ah, mungkin memang sudah kehendak yang diatas.
TUMBANG OLEH WAKTU
Di denting jam dinding mimpi mulai surut.
Gelap menusuk hati yang kemelut.
Tertatih dalam jalan buntu nan redup.
Tersungkur pada gelapnya sudut.
Merintih bak tercekik puluhan tangan.
Pedih tanpa mampu terungkapkan.
Lelah tuk lagi cari arah.
Letih tanpa temu jalan keluar.
Berat kaki kembali pulang.
Malu jikalau pasrah tanpa menang.
Merana kala realita menikam dada.
Menggilas hari dengan pilu.
Malam mewariskan bisik dosa.
Pagi habis oleh ejekan semesta.
Terhempas laku muslihat dunia.
Selesai sudah langkah ini.
Tumbang tanpa mampu melawan.
Seandainya waktu bisa diulang.
Akankah keluar dari dalam bayang.
Menyingkap kisah dengan tubuh baru.
Menghapus salah dan coretan tabu.
Bangkit pada dimensi penuh warna.
Mengoreksi pena merah dimasa lalu.
Seandainya waktu bisa diulang.
LANGKAH SIMALAKAMA
Kau pamit,
Tapi hatiku kau cubit.
Mengapa tidak menjawabku?
Apakah jarakmu tak terjangkau olehku?
Apakah kepergianmu tak terhitung dalam satuan waktu?
Aku hanya ingin tahu.
Sedangkan langkahmu tercipta tanpa ragu.
Punggungmu menjauh mencipta siluet kelabu.
Semudah itukah untuk meninggalkanku?
Simalakama terasa dalam inderaku.
Berbalik menciptakan arah langkah berlawanan dalam sendu.
Ya, memangnya siapa aku?
Hanya seongok yang disapa sekadarnya saja.
Untuk apa menuntut jelas padanya?
Langkahku semakin cepat.
Simalakama kutelan bulat-bulat.
Biarkan saja dia pergi.
SECARIK SURAT LARA
Hembus angin menusuk kedalam kalbu
Denting waktu menjadi saksi bisu atas gagalnya aku
Tersedu,
Dibawah awan kelabu
Kamu berada disitu
Sendu, menatap aku
Sesak ini semakin menjerat tanpa udara
Merangkap bagai kerangka tanpa organnya
Renta,
Tak berguna
Kamu berada disana.
Payah, mencoba berupaya
Dunia sedang bermain-main dnegan kita.
Menutup tiraiku dari maghligai tulusnya rasa-mu.
Dunia sedang bermain-main dengan kita.
Mencekal tanganmu untuk membawaku dalam pelukmu.
Resah,
Gundah,
Pasrah.
Hanya secarik kertas dan pena disisimu.
Terfikir, kau menuliskan sesuatu untukku;
Laa tahzan, innallaha ma’ana
ILUSI RINDU
Jika ilusi adalah ruang semu yang bisa ditapaki,
mungkin fatamorgana adalah hidupnya.
Tapi ini kehidupan nyata,
Dunia realita yang fana.
Aku yang menanti dia ada didepan mata,
Namun dia entah berpijak dimana.
Sedangkan ruang ilusi dalam fatamorgana telah membukakan pintunya,
melambai indah seolah disanalah dia berada.
Tidak, ‘Dia’ adalah fakta yang putih,
Bukan bayang semu yang kelabu seperti dibaalik pintu itu.
Aku hanya bisa menunggu,
Berharap ilusi itu hilang digantikan dengan wujud nyatanya yang bukan bayang.
————- *** —————
Tentang Penulis:
Rodinatul Munawaroh
Lahir di Pemalang, 7 Maret 2004. Mahasiswa sok gabut di salah satu Universitas Kota Malang. Karyanya pernah dimuat dalam media online dan cetak diantaranya Antologi puisi ‘Merindu di jalan kita’ (2023), Antologi puisi ‘Korus’ (2023), Antologi Puisi ‘Pertemuan Detik dan Rasa’ (2023), koran Harian Bhirawa (2023), Rumah Baca Tv (2022), Tiras Time (2023), Idestra (2023), dan Nolesa (2023). Bisa menghubungi langsung lewat surel rdmunawaroh37@gmail.com, Instagram @rdeelight_