Pulangnya Sepasang Pengantin

Oleh :
Monaris Febryanti Pasaribu

Malam semakin larut dan waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Seorang gadis berjalan melewati daerah stasiun kereta api ditemani dengan embusan angin malam. Gadis tersebut berjalan sembari mendengar lagu dari earphone yang ia pakai guna mengusir rasa kantuk. Meskipun sudah larut dan berjalan sendirian dirinya tetap menikmati udara malam sambil bernyanyi. Namun, tiba-tiba ia merasa seperti ada seseorang yang mengikuti tetapi saat melihat ke belakang tidak ada seorang pun di sekitarnya.

Ia menghela napas lalu lanjut berjalan, tetapi gadis itu merasakan lagi kalau seseorang mengikutinya dan saat berbalik jalanan tampak kosong hanya saja lampu di pinggir jalan tiba-tiba mati membuat dirinya terkejut. Gadis bernama Devara tersebut merasakan hal yang sama sampai tiga kali, dirinya mencoba menghiraukan dan tetap tenang tetapi melangkah semakin cepat mencari daerah ramai untuk menghindari hal buruk. Untuk kedua kalinya lampu jalanan mati dan suasana semakin gelap membuat bulu kuduk di tangan berdiri secara bersamaan. Devara menghidupkan flash ponsel dan melihat seorang perempuan memakai gaun pengantin duduk di kursi papan panjang dengan anak kecil di pangkuannya.

Devara heran dan iba karena dua orang tersebut memegang perut masing-masing yang menandakan lapar. Dengan inisiatif dirinya membeli beberapa roti di kedai kecil yang masih buka dan memberikan roti kepada dua orang tersebut. Sebenarnya, Devara ingin bertanya mengapa perempuan tersebut memakai gaun pengantin namun ia ragu karena merasa hal tersebut merupakan privasi. Setelah itu, Devara melanjutkan perjalanan dan tanpa ia sadari ada sepasang mata yang menatap punggungnya.

*

Devara hanyalah seorang gadis tanpa orangtua alias yatim piatu, kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Saat kecelakaan terjadi, Devara tidak paham dengan situasi hatinya, ada perasaan sedih dan senang. Sedih karena kehilangan dan senang karena tidak akan merasakan sakitnya dicambuk oleh ayah dan pukulan dari ibu. Kehadiran dirinya di tengah keluarga seakan angin berlalu selalu dibandingkan dengan kakaknya yang berprestasi. Untuk sekarang pun Devara tidak tahu kakaknya tinggal di mana karena semenjak orangtua mereka meninggal, rumah yang mereka tinggali dijual dan hasil dibagi dua lalu melanjutkan kehidupan masing-masing. Semesta memaksa Devara harus melanjutkan pahitnya kehidupan dengan bekerja saat duduk di kelas sebelas.

“Beruntung ada yang mau menerimaku bekerja,” gumam Devara kala itu.

Kegiatan Devara setiap harinya adalah menghabiskan waktu di kantor dan tidur bermalas-malasan di kamar saat weekend atau libur tiba. Devara pernah berpikir untuk melakukan kencan seperti pasangan lain, namun selalu disadarkan dengan keadaan kalau dirinya jomblo.

Pagi ini hujan turun dan terasa dingin, keadaan yang lebih cocok untuk tidur sembari selimutan, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan karena hari Senin telah tiba. Devara menatap langit berharap hujan segera berhenti namun asa tidak mengikuti permintaan karena hujan turun semakin deras. Saat melihat sekeliling rumah, kedua netra Devara melihat seorang pria berdiri di bawah pohon mengulurkan tangan kanan menampung air hujan. Ia membuka payung yang sedari tadi ia genggam dan menuju halte bus, menghiraukan pria tersebut ketika bayangan kejadian beberapa hari lalu melintas di benak.

“Kamu tidak pulang, Devara?” tanya teman Devara.

“Sebentar lagi,”

“Jangan pulang larut lagi masih ada hari esok,”

Devara menjawab ucapan temannya dengan menganggukkan kepala. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam, segera ia membereskan barang dan menuju halte bus. Sambil menunggu bus datang, ia memainkan ponsel. Namun, fokusnya beralih ke perempuan yang kemarin ia temui di stasiun kereta api. Perempuan tersebut masih menggunakan gaun pengantin dan menggendong anaknya yang menangis, entah niat yang muncul darimana ia menghampiri perempuan itu.

“Kenapa anakmu menangis?”

“Rindu ayahnya.”

Perempuan itu menjawab tanpa mengalihkan atensinya ke Devara. Tak lama kemudian anak kecil itu berhenti menangis. Sebenarnya rasa penasaran masih membuncah dalam diri gadis tersebut, dia pun bertanya.

“Maaf, tetapi mengapa kamu masih memakai gaun pengantin?”

“Kabur dari rumah.”

Tanpa penjelasan detail, Devara mencoba memahami situasi perempuan di hadapannya. Dengan tulus ia mengajak dua perempuan tersebut tinggal bersama. Mentari menampakkan wujud tanda pagi telah tiba, Devara bangun dan melihat dua perempuan yang ia ajak tadi malam masih terlelap. Tidak ingin mengganggu, dirinya pergi ke luar mencari sarapan. Hari ini weekend, biasanya gadis tersebut akan bermalas-malasan di atas tempat tidur sepanjang hari tetapi karena sudah ada orang lain maka akan ia ajak mengobrol. Saat perjalanan menuju pulang, Devara melihat pria yang berjalan mondar-mandir, karena penasaran ia pun bertanya. Namun, dia terkejut karena pria tersebut adalah seseorang yang berteduh di bawah pohon dekat rumah.

“Aku mencari istri dan anakku, kemarin mereka kabur.”

Devara membelalak, kebetulan sekali pikirnya. Ia bercerita kalau di rumahnya ada perempuan dengan gaun pengantin dan seorang anak perempuan kecil. Dirinya membawa pria itu ke rumah dan benar saja anak kecil itu antusias memeluk pria berjas hitam. Begitu juga dengan perempuan yang masih menggunakan gaun pengantin tersenyum bahagia. Hati Devara tersentuh ikut merasakan hangatnya keluarga mereka. Setelah itu, pria tersebut menyebutkan alamat rumah dan minta tolong mengantarkan mereka pulang. Devara mengangguk setuju dengan senyuman tulus.

Penumpang bus di siang hari sangat ramai untung saja mereka berempat masih kebagian bangku. Mereka sangat bahagia terbukti dengan senyum dan tawa yang tak berhenti. Kalau boleh jujur Devara sebenarnya iri, ingin merasakan hangatnya keluarga. Kini, Devara dengan pengantin perempuan saling mengobrol dan tertawa bersama membuat fokus para penumpang menatap dan berbisik ke arahnya. Devara menghiraukan bisikan para penumpang dan seorang ibu paruh baya yang duduk di samping kiri bertanya sambil menepuk bahu kanannya.

“Nak, kamu berbicara dengan siapa?”

Detik itu juga Devara tersentak dan sadar kalau alamat yang diberitahu tadi adalah daerah pemakaman.

Langit Kompak, 23 Agustus 2021

Monaris Pasaribu, lahir di Medan 13 Februari 2001. Merupakan mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Prima Indonesia. Saat ini bertempat tinggal di Medan, Sumatera Utara. Bergabung di dalam Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK). Karya tulis fiksi juga pernah dimuat oleh surat kabar Kota Medan. Jejak bisa ditemukan di akun instagram @monafbryntt,

——— *** ——–

Rate this article!
Tags: