Puluhan Siswa Harus Seberangi Sungai ke Sekolah

Ke sekolah anak asal Desa Opo-opo, Kecamatan Krejengan harus seberangi sungai.

(Berharap Pemerintah Segera Membangun Jembatan)
Kab.Probolinggo, Bhirawa
Tidak adanya jembatan penghubung puluhan siswa-siswi sekolah asal Padukuhan Kedung Miri, Desa Opo Opo, Kecamatan Krejengan, kabupaten Probolinggo setiap hari terpaksa bertaruh nyawa menyeberangi sungai. Padahal jika musim penghujan tidak diketahui akan terjadinya banjir bandang, mereka berharap pemerintah membangun jembatan di tempat tersebut. Kepala Dukuh Kedung Miri, Samsul Rabu (26/4) menurutkan, bagaimana tidak, sekolah di seberang sungai ini terpaksa membuat para siswa harus mencopot sepatu dan menggulung celananya agar tidak basah.
Bagi siswa-siswi yang masih di taman kanak-kanak (TK) harus digendong orang tuanya saat menyeberang sungai. Tak cukup hanya menyeberang sungai, mereka harus berjalan menuju sekolah yang jaraknya sekitar 2 Km.
Bukan perkara mudah untuk menyeberangi sungai. Selain kondisi bebatuan licin, arus sungai cukup deras bisa menyeret mereka sewaktu-waktu. Apalagi saat musim hujan yang tidak bisa diprediksi kapan terjadinya banjir bandang.
“Kondisi ini sudah terjadi sekitar 30 puluhan tahun yang lalu, sejak jembatan bambu terakhir yang kami bangun swadaya, hilang terbawa banjir bandang, sudah menjadi hal biasa baginya setiap pagi membantu dan memastikan para siswa menyeberang sungai selamat ke sisi lain sungai selebar sekitar 35 meter,” katanya.
“Setelah ada kejadian orang hanyut dan siswa yang sempat terseret arus, kami bersepakat dengan warga untuk memastikan anak-anak kami dengan membantu dan mengawasinya di jam-jam berangkat dan pulang sekolah,” ungkapnya.
Tak cuma siswa TK yang seperti itu. Tetapi juga siswi sekolah lain di tingkatan SD, SMP, sampai SMA/SMK yang punya perjuangan serupa ketika menuju sekolah. Tidak hanya anak usia sekolah, ketiadaan jembatan penghubung juga dirasakan oleh warga pada umumnya sehingga akses transportasi antardesa tersendat. “Jika kami putar arah harus melewati persawahan dan memakan waktu lama,” ucapnya.
Kepala sekolah MI Nurul Islam Saiful Anam menegaskan, yang menjadi sekolah sebagian besar anak-anak Padukuhan tersebut. Sudah menjadi hal biasa melihat seragam anak didiknya itu basah kuyup saat memasuki gerbang sekolah.
Ada kalanya orang tua mereka yang mengantarkan pakaian ganti yang dibungkus plastik dan diantarkan ke seberang dan ditaruh di pinggir sungai. Nanti ketika jam istirahat anak-anak yang mengambilnya, paparnya.
Mohammad Rendy, siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Islam mengaku jika menyeberangi sungai sebenarnya membuatnya takut. Apalagi saat kondisi sungai yang airnya keruh ketinggiannya tak seperti biasa. Kalau dalamnya sudah di atas lutut, saya tidak berani nyeberang sungai. Paling saya nunggu orang tua untuk menyeberangkan, kalau tidak ada, ya tidak sekolah, akunya.
Demikian pula dengan Rendy berharap, sangat mendambakan pergi ke sekolah tanpa harus mencopot sepatu dan basah-basahan menyeberangi sungai. Hanima salah satu wali murid mengaku, pihaknya berharap pemerintah membangunkan jembatan di sungai. Karena jika terus seperti ini, maka nyawa menjadi taruhan untuk menyeberang sungai. “Kami sangat berharap ada pembangunan jembatan dari pemerintah,” harapnya. [wap]

Tags: