Puncak Kebahagiaan (bisa) Berangkat Haji

(Peningkatan Manajemen “Melayani” Ibadah Haji)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial-politik.

“Tidak ada yang tahu tentang Mekkah, …, kalaupun ada bekal sampai haji mabrur, pastilah bukan rupiah atau dinar, melainkan keberanian dan kesanggupan untuk mati serta sabar dan ikhlas selama hidup di dunia.”
(Syeh Maulana Maghribi, dalam Suluk Wujil)
Ajaran (makrifat) hikmah haji mabrur telah diajarkan oleh ulama ahli sufi, termasuk Wali Songo. Dalam kisah wali-wali disebutkan, Sunan Kalijaga juga urung pergi haji. Padahal ia sudah berada di laut Malaka, tetapi dicegat oleh Syeh Maulana Maghribi, diperintah kembali pulang ke Jawa. Alasannya, membangun mental (dan moral) masyarakat lebih penting dibanding men-shaleh-kan diri sendiri. Sunan Kalijaga boleh berhaji, setelah sukses me-reformasi mental rakyat.
Toh, predikat “mabrur,” bisa diperoleh tanpa menunaikan haji. Perjalanan melaksanakan ibadah haji, sungguh berat (dan mahal). Bahkan sampai musim haji tahun (2019) ini masih terdapat calon jamaah haji, yang ingin turun pesawat, ketika masih terbang di atas ketinggian 30 ribu kaki. Tetapi seluruh keletihan akan terbayar lunas, manakala telah mencium Ka’bah (baitullah). Serta duduk tafakur di Raudloh.
Yang disebut Roudloh, adalah ruang antara rumah Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan masjid yang didirikan pertama kali. Air mata bercucuran deras, bahagia, haru. Tak terpikirkan indahnya suasana kebatinan. Lebih lagi bisa menempelkan pipi (dan telapak tangan) di dinding Ka’bah, meski sekejap. Karena harus bergantian dengan 3 juta muslim lain (dari seluruh dunia) yang sama-sama ingin mencium Ka’bah.
Walau sebenarnya, puncak ibadah haji bukan di arena Masjidil Haram (di Mekkah) maupun di masjid Nabawi (di Madinah). Melainkan duduk tafakur (di dalam tenda kemah) di padang Arafah. Kota tertua di dunia ini radiusnya cuma sekitar 30 kilometer. Dengan tamu haji sebanyak 4 juta orang, kepadatannya mencapai 7,5 orang per-meter persegi. Tiada kota di seluruh dunia dengan kepadatan se-rapat itu.
Padahal teritorial kota Makkah telah diperluas 10 kali dibanding tahun 632 Masehi. Masih ditambah konstruksi kompleks Masjidil Haram dengan konsep bersusun. tempat ritual rukun haji pun dilakukan bersusun, Sai diantara shafa dan Marwah berusun. Begitu juga tempat Thawaf, dibangun paralel bersusun. Suhu udara di Makkah, rata-rata sekitar 42 derajat Celsius. Tetapi di dalam masjid, suhunya tak pernah lebih dari 23 derajat, selalu sejuk.
Maka benar syair dalam Suluk Wujil (yang digubah Syeh Maulana Maghribi). Dalam frasa kata, “tidak ada yang tahu tentang Mekkah.” Begitu pula frasa kata, “keberanian dan kesanggupan untuk mati.” Maksudnya, perjalanan ibadah yang berat, dahulu sampai kini. Bahkan dalam budaya Jawa, masih dikenal iringan talkin kepada calon jamaah haji (CJH). Diperlakukan bagai jenazah yang siap dihantar ke makam (kuburan).
Layanan Wajib VVIP
Beratnya ibadah haji, telah dinyatakan dalam Al-Quran surat Al-Hajj (22:27). Dinyatakan dalam frasa kata, “mengendarai setiap onta yang kurus, mereka datang dari penjuru yang jauh.” Artinya, karena perjalanan yang berat, sampai kendaraan (saat itu) unta menjadi kurus. Realitanya saat ini, hampir 99,9% jamaah haji di Makkah, bukan warga kota Makkah (Arab Saudi). Melainkan dari seluruh penjuru dunia, termasuk muslim dari Amerika Selatan, dan benua Australia (yang paling jauh).
CJH Indonesia, tak kalah sulit (dan berat) bisa melaksanakan rukun Islam ke-lima. Yang berangkat haji tahun (2019) ini, sudah antre sejak 12-15 tahun silam. Bahkan karena mahal, sebelumnya perlu menabung bertahun-tahun untuk melunasi biaya haji resmi yang ditentukan pemerintah. Lagi, berdasar data Kementerian Agama, lebih dari 80% CJH belum pernah bepergian (jauh) naik pesawat. Sebagian hanya fasih berbahasa daerah. Samasekali tidak bisa berbahasa Arab.
Karena itu CJH Indonesia selalu berombongan, dan mentaati perintah “komando” petugas haji. Maka pantas, pada tahun 2013, Indonesia memperoleh predikat “The Best Pilgrim” (Peziarah Terbaik). Penilaian berdasar 15 kriteria. Survei online melibatkan 5000 organisasi penyelenggaraan haji dan umroh seluruh dunia. Diantara kriterianya adalah, keramahan, kepatuhan terhadap peraturan, serta manajemen haji oleh pemerintah (Indonesia).
CJH Indonesia pantas memperoleh layanan VVIP level pejabat tinggi, karena telah mengeluarkan biaya besar. Seluruh komponen pembiayaan ditakar dengan harga layanan VVIP. Tetapi selama bertahun-tahun, JCH Indonesia diperlakukan bagai wisatawan “kelas dua.” Andai pelayanan (oleh pemerintah) disesuaikan dengan nilai pembayaran, maka pelaksanaan ibadah haji semakin nyaman. Terutama jarak pemondokan tidak terlalu jauh dari masjidil Haram (di Makkah). JCH Malaysia, misalnya, memperoleh layanan terbaik di Arab Saudi.
Banyak pihak terlibat penyelenggaraan ibadah haji. Ada biro travel, ada organisasi usaha bimbingan, sampai petugas Kementerian Agama di daerah (dan pusat). Seluruhnya memungut biaya. BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) dibanderol tinggi, rata-rata sekitar Rp 38 juta. Namun semangat menunaikan ibadah haji tetap bergelora, meski mahal, dan sulit. Serta harus sabar meng-antre sampai belasan tahun.
Andai baru mendaftar haji tahun ini, maka perkiraan berangkatnya pada tahun 2030-an. Kecuali terdapat takdir lain. Inilah realita keyakinan masyarakat, bahwa berangkat menunaikan ibadah haji, merupakan panggilan Ilahi. Bukan ditentukan oleh antrean. Bahkan yang tidak pernah antre (mendaftar), tetap berkesempatan memperoleh “panggilan” ber-haji. Tetapi untuk berangkat ibadah, niscaya harus dimulai. Terutama dengan cara menabung.
Pengalaman “Otoritas” Haji
Maka kesempatan berhaji bagai ketiban ndaru (takdir). Tidak mesti kaya, tidak mesti sehat. Ndaru haji memang hampir menjadi keyakinan para ulama salaf (tempo dulu). Banyak jamaah calon bukan tergolong kaya. Banyak pula jamaah haji yang sudah berusia diatas 70 tahun, banyak juga yang berpenyakit menahun, toh bisa berangkat ke tanah suci. Ada yang sudah membayar haji dengan ongkos sangat mahal (dengan ONH plus), usia belum 55 tahun, sehat, tetapi gagal berangkat.
Realitanya, mayoritas CJH Indonesia bukan tergolong kaya. Banyak pula dari kalangan ekonomi bawah, berpenghasilan rendah. Ada pedagang sayur, penjual bakso, pedagang dengan gerobak dorong, sampai tukang becak. Gigih menabung selama belasan tahun, juga bisa menunaikan haji. Sebaliknya, banyak bupati, walikota, pejabat daerah, dan pejabat tinggi, belum menunaikan ibadah haji. Padahal setelah berhaji, semua orang ingin menunaikan haji lagi.
Pelaksanaan ibadah haji, bukan hal baru di Indonesia. Pemerintah maupun masyarakat sejak lama telah melaksanakannya. Konon sejak abad ke-16, telah terdapat rombongan jamaah haji dari Jawa, Sunda, Banjar, dan Aceh. Sejarawan Ludivico di Varthema, di Makkah pada 903 H (tahun 1504 Masehi) mencatat, sudah banyak jamaah haji dari wilayah timur. Yang dimaksud wilayah timur, termasuk Kepulauan Nusantara.
Kisah orang Nusantara berhaji, bersamaan dengan munculnya kerajaan Islam di sepanjang pantura Jawa (antaralain Demak dan Cirebon). Serta kerajaan Aceh, dan kerajaan Banjar (Borneo, Kalimantan). Berhaji menggunakan kapal laut yang biasa melakukan perdagangan antar-bangsa. Tak jarang dilakukan secara estafet, berganti kapal beberapa kali di berbagai negara.
Namun mempersiapkan keperluan ibadah haji lebih dari 211 ribu orang, saat ini sungguh tidak mudah. Seluruhnya memerlukan dokumen perjalanan sangat rinci. Termasuk catatan riwayat kesehatan. Juga penelitian visa oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Serta disediakan kemudahan pemeriksaan visa oleh petugas imigrasi Arab Saudi, di Indonesia. Tidak perlu antre pemeriksaan di Madinah.
Tetapi pemerintah bisa meniru wakaf model Baitul Asyi, yang digagas oleh ulama Aceh, syeh Abdurrahman “Bugak” Asyi, pada tahun 1809. Habib “Bugak” mewakafkan tanah dan bangunan berlantai dua miliknya di kampung Qusyasyiyah (Makkah) untuk jamaah haji asal Aceh. Bangunan yang berjarak sekitar 500 meter dari masjidil haram itu, kini telah berubah menjadi hotel bintang lima, berlantai 25, dan menara bisnis berlantai 28. Menjadi bangunan tertinggi di Makkah.
Nilai aset Baitul Asyi, hanya sekitar Rp 7 trilyun. Sedangkan Dana Abadi Umat (DAU) dari sisa ibadah haji telah mencapai lebih dari Rp 100 trilyun. Sebagai otoritas tunggal penyelenggaraan ibadah haji, pemerintah wajib memperbaiki layanan haji. Terutama pemondokan terbaik, dan terdekat Masjidil Haram (di Makkah), dan Masjid Nabawi (di Madinah). Pemerintah perlu mengubah paradigma, yang semula sebagai otoritas “penyelenggara” ibadah, menjadi “pelayan” ibadah haji.
——— 000 ———

Tags: