Pungutan No, Sumbangan Yes !

wahyu kuncoroOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Peristiwa ‘Operasi Tangkap Tangan (OTT)’ yang melibatkan Wakil Kepala Sekolah SMA 15 Surabaya atas dugaan pungutan (liar) terhadap wali murid jelas mengagetkan dunia pendidikan di Surabaya. Bukan saja karena SMA 15 Surabaya adalah salah satu sekolah favorit di Surabaya, tetapi juga Kota Surabaya sesungguhnya merupakan barometer pendidikan di tingkat nasional. Logikanya, kalau di sekolah favorit saja masih memungkinkan terjadi praktik pungutan liar seperti itu, lantas seperti apa kondisi di sekolah-sekolah lain. Artinya, kasus tersebut jelas ikut mempertaruhkan reputasi pendidikan Surabaya.
Memang masih ada kontroversi terkait pengungkapan dugaan praktik pungutan liar di SMA 15  tersebut, bukan saja karena tafsir terkait pungutan dan sumbangan yang masih debatable tetapi juga karena peristiwa OTT tersebut agak ‘aneh’ karena melibatkan anggota DPRD Surabaya. Pertanyaannya, mengapa pelibatan anggota DPRD menjadi ‘aneh’? Penyebabnya tidak lain karena, peristiwa yang melibatkan politisi sering dibaca sekaligus dipahami juga secara politis. Sehingga tak urung memunculkan tafsir yang bermacam-macam atas ‘semangatnya’ anggota DPRD Surabaya untuk ikut operasi OTT tersebut.
Terlepas dari hal tersebut tentu pengungkapan dugaan praktik pungutan liar yang dilakukan  pihak pimpinan SMA 15 Surabaya patut diapresisasi secara positif. Setidaknya kasus tersebut mampu memberi pesan kepada publik bahwa momentum mutasi siswa sekolah di Surabaya masih rawan menjadi ajang terjadinya praktik pungutan liar.
Pungutan atau Sumbangan
Salah satu perdebatan yang muncul ke permukaan adalah apakah uang Rp3juta yang diberikan wali murid kepada wakil kepala Sekolah SMA 15 Surabaya tersebut dianggap sebagai sumbangan atau pungutan. Pihak sekolah selama ini selalu berdalih bahwa uang tersebut sumbangan sukarela untuk pembangunan masjid sekolah. Namun  di pihak lain menilai bahwa uang tersebut adalah jelas pungutan (liar).
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar, pasal 1 ayat 2, dijelaskan, “pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.”
Sedangkan sumbangan, (pasal 1 ayat 3) adalah “penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.”
Dalam Permendikbud ini disebutkan, pembiayaan pendidikan dengan melakukan pungutan hanya dibolehkan untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Sedangkan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat/daerah, tidak diperkenankan menarik pungutan tapi bisa menerima sumbangan dari masyarakat.
Setiap pungutan/sumbangan yang diperoleh dari masyarakat menurut Permendikbud 44/2012 ini dapat digunakan oleh sekolah untuk empat hal yakni : biaya investasi; biaya operasi; bantuan biaya pendidikan; dan beasiswa. Pungutan/sumbangan tidak boleh digunakan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung (pasal 11 c).
Walaupun sumbangan diperbolehkan untuk sekolah yang diselenggarakan pemerintah pusat/daerah, tidak otomatis semuanya dibebankan ke orang tua. Sekolah, harus memiliki rencana anggaran/kerja tahunan yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Dana sumbangan yang didapat dari masyarakat betul-betul dipakai untuk menutupi kekurangan biaya operasional.
Untuk mencari sumbangan dari masyarakat, selain memiliki rencana kerja tahunan sekolah juga wajib membahasnya bersama dengan komite sekolah. Rencana kerja sekolah dan anggaran yang dibutuhkan juga harus diketahui dan disetujui oleh pejabat berwenang (dinas pendidikan). Dan yang terpenting, bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan melakukan pungutan harus mencerminkan prinsip keadilan.
Pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan dana pungutan maupun sumbangan harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan secara transparan kepada pemangku kepentingan pendidikan terutama orang tua/wali peserta didik, komite sekolah, dan penyelenggara satuan pendidikan dasar.
Peran Serta Masyarakat
Bahwa dengan demikian kalau merujuk pada Permendikbud di atas, maka apa yang terjadi di SMA 15 Surabaya jelas-jelas menabrak Permendikbud 44/2012 ini. Apalagi Walikota Surabaya melalui Perwali Nomor 47/2013 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan mengamanahkan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses mutasi. Salah satunya perpindahan siswa ke sekolah negeri tidak boleh dikenai biaya. Mutasi juga harus memperhatikan kemampuan akademik, jenjang pendidikan, jenis pendidikan, status akreditasi, status sekolah, dan daya tampung. Perpindahan siswa dari luar kota harus memenuhi syarat. Yakni, orang tua siswa merupakan penduduk Surabaya yang dibuktikan dengan kartu keluarga. Selain itu, siswa pindah dengan alasan mengikuti orang tua pindah tugas sebagai PNS, TNI/Polri, atau pegawai BUMN yang berdomisili di Surabaya.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah wali murid (baca : masyarakat) tidak boleh berpartisipasi dalam penyelenggaraan sekolah? Jawabnya tentu sangat boleh bahkan malah dianjurkan. Hanya tentu mekanisme pemberian sumbangan itu harus lewat mekanisme yang benar dan tepat. Apa yang dijelaskan dalam Permendikbud 44/2012 sesungguhnya sudah sangat jelas tentang bagaimana sumbangan itu harus dilakukan.
Penekanan pada aspek mekanisme yang benar ini jelas bukan dimaksudkan untuk menghalang-halangi masyarakat termasuk wali murid untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan, tetapi mekanisme itu perlu diatur untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan sumbangan untuk kepentingan pribadi atau diluar kepentingan pendidikan.
Undang Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 46 ayat (1) sudah sangat jelas dan tegas menjelaskan bahwa masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Sementara dalam konteks Surabaya, Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan dalam pasal 109 ayat (1)  menjelaskan bahwa  Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat. Dalam pasal Pasal 110 ayat (1) secara rinci juga menjelaskan bahwa Dana pendidikan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dapat bersumber dari : (a). APBD; (b). bantuan Pemerintah/Pemerintah Provinsi; (c). pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan; (d). bantuan dari pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang tua/walinya; (e). bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau (f). sumber lainnya yang sah.
Lantaran itu, pengelolaan dan penggalangan pendidikan bagi sekolah tidak bisa serta diputuskan sendiri oleh kepala sekolah namun juga harus melibatkan komite sekolah. Dalam konteks inilah maka sesungguhnya peran komite sekolah menjadi signifikan untuk ikut serta terlibat dalam peningkatan kualitaspendidikan di sekolah. Komite sekolah bukan hanya kumpulan wali murid yang dihadirkan hanya untuk menggalang sumbangan saja, tetapi juga untuk memikirkan dan merancang agar satuan pendidikan (sekolah, red) bisa semakin maju dan berkualitas pendidikannya. Peran aktif komite sekolah diharapkan akan membuat Kepala Sekolah berikut para gurunya lebih fokus dalam melaksanakan tugas pembelajaran sebagai pendidik dan tidak direpotkan oleh persoalan sumbangan dan pendanaan sekolah lagi.
Wallahu’alam Bhis-shawwab
—————- *** ——————

Rate this article!
Tags: