PUSAM UMM Gelar Kolokium Pancasila

Suasana Kolokium Pancasila di Kampus UMM Senin [21/1] kemarin.

Kota Malang, Bhirawa
Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme UMM (PUSAM UMM) menggelar Kolokium Pancasila yang mengambil tema “Refleksi Awal Tahun : Pancasila sebagai Living Values” Senin 22/1 kemarin.
Kolokium ini digekar untuk mengurai polemik sosial di Indonesia yang saat ini sering meneriakkan anti Pancasila. Dengan digelarnya kolokium ini harapannya dapat membuka pikiran para peserta yang hadir untuk memahami luar dalam dari Pancasila itu sendiri.
Empat narasumber yang sudah sangat ahli di bidangnya. Keempat narasumber tersebut adalah Deputi Bidang Advokasi Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang Prof. Dr. Rm. F.X. Eko Armada Riyanto, Program Officer Islam and Development Yayasan The Asia Foundation Dr. Budhy Munawar Rachman, serta akademisi dari Program Studi Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan Pascasarjana UMM Dr. Agustinus, M.Pd.
Deputi Bidang Advokasi UKP-PIP, Hariyono, memaparkan bahwasannya Pancasila bukan hanya menjadi tanggung jawab aparatur negara, tetapi tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia.
“Hal ini ditujukan agar Pancasila tidak lagi menjadi monopoli kebenaran dari sebuah rezim atau kekuasaan sebagaimana yang terjadi di masa lampau,” ujar Hariyono.
Narasumber berikutnya, Budhy Munawar Rachman memaparkan, saat ini Pancasila sudah dianggap sebagai kontrak sosial. Ia juga menjelaskan, pada titik tersebut Pancasila menjadi nilai bersama yang diwariskan para pendirinya.
“Singkatnya dalam Pancasila ada 5 nilai, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah untuk demokrasi dan keadilan. Untuk menghidupkan nilai-nilai tersebut dalam masyarakat dibutuhkan juga hubungan antar nilai yang satu dan yang lain, jadi nilai-nilai tersebut tidak berdiri sendiri,” jelasnya.
Di sisi lain, Eko Armada Riyanto memaparkan sejarah terbentuknya Pancasila. Menurutnya, cara kita untuk memahami bangsa adalah dengan cara memahami riset sejarah termasuk sejarah Pancasila. Ia juga menambahkan bahwa sikap diskriminatif yang sering terjadi saat ini dapat mencoreng narasi Pancasila itu sendiri.
“Ekslusifisme bukan hanya bertentangan dengan Pancasila akan tetapi juga bertentangan dengan kodrat dari bangsa,” pungkasnya.
Senada dengan Eko, Agustinus menghimbau untuk tidak lagi membahas dan mepermaslahkan lagi tentang ideologi, namun menurutnya yang harus dipermasalahkan ialah bagaimana menentukan program yang terbaik bagi bangsa.
Kita harusnya lebih fokus membahas program-program pemerintah yang ditujukan untuk bangsa,” ujarnya. [mut]

Rate this article!
Tags: