Putusan Mahkamah Konstitusi Perluas Kinerja KPPU

Komisioner KPPU saat menyampaikan keputusan MK di Surabaya. [m ali/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) September 2017 lalu, menyangkut pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Larangan Praktik Monopoli Usaha), memperjelas dan memperluas kewenangan Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Menurut Kepala KPPU KPD Surabaya Aru Armando, Senin (27/11) kemarin, putusan MK tersebut sudah tepat. Hal ini memperjelas legitimasi KPPU dalam melakukan investigasi terhadap kasus kartel pengadaan barang dan jasa.
“KPPU kerap menemukan beberapa modus persekongkolan yang tidak hanya melibatkan antar pelaku usaha dengan pelaku usaha lain melainkan antara pelaku usaha dengan pihak lain yang menfasilitasi pelaku usaha tertentu untuk memenangkan tender,” papar Aru.
KPPU mencatat lebih dari separuh atau sekitar 70% perkara yang ditangani mereka adalah perkara persekongkolan tender yang melibatkan pihak lain. KPPU dalam menjalankan kewenangan penyelidikan bukan dalam kapasitasnya sebagai tindakan projustisia. Sebaliknya, penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU adalah penyelidikan yang sifatnya administratif.
“Namun, apabila terdapat unsur pidana, KPPU dapat menyerahkan ke pihak kepolisian untuk dilakukan penyelidikan dalam upaya penegakan hukum pidana. Selama ini, KPPU dalam menangani laporan masyarakat atau inisiatif sendiri selalu berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian,” urainya.
Lebih jauh dijelaskan, berita tersebut belum lama ini disampaikan oleh Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Sukarmi didampingi Humas KPPU Pusat Dendy R Sutrisno yang ditemui sendiri oleh Kepala KPPU KPD Surabaya Aru Armando.
Dikatakan, komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Sukarmi menyampaikan, bahwa, dengan diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sejumlah pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 semakin memperluas kinerja KPPU dan mempertegas kewenangan KPPU. Khususnya, terkait aturan tindakan penyelidikan dan pengawasan yang dilakukan KPPU dinyatakan bukan tindakan projustisia, seperti hal aparat penegak hukum.
“Dalam putusan MK No register 85/PUU-XIV/2016 itu, frasa ‘penyelidikan’ sebagaimana dalam Pasal 36 huruf c, d, h, dan i serta Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU Larangan Praktik Monopoli Usaha bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan ‘pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan’ (bukan sebagai tindakan projustisia).” ungkap Sukarmi.
“Begitu pula dengan frasa ‘pihak lain’ dalam Pasal 22, 23 dan 24 UU Larangan Praktik Monopoli Usaha bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain,” tambahnya.
Masih menurut Sukarmi, KPPU sebelumnya tidak memiliki patokan terkait dengan ‘pihak lain’ dalam Pasal 22, 23 dan 24. Pasal itu mengatur larangan bagi para pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain dalam menjalankan usaha anti persaingan usaha.
“MK mentafsirkan pihak lain sebagai pihak yang memiliki keterkaitan dengan pelaku usaha yang diperkarakan KPPU. Lantas siap yang dimaksud dengan pihak dalam hal ini? Bahwa, pihak tersebut dapat berupa orang perorang yang dekat dengan pemilik proyek maupun institusi atau lembaga yang mempengaruhi penentuan pemenang tender,” pungkas Sukarmi. [ma]

Tags: