PWNU Perjuangkan Rekom Munas, Muhammadiyah Setuju Dilakukan Perbaikan

Menjelang pengesahan RUU Pilkada oleh DPR RI pada 25 September masih memancing pro dan kontra.  Ada yang mendukung pemilihan tak langsung atau lewat DPRD, ada juga yang mendukung pemilihan langsung.

Menjelang pengesahan RUU Pilkada oleh DPR RI pada 25 September masih memancing pro dan kontra. Ada yang mendukung pemilihan tak langsung atau lewat DPRD, ada juga yang mendukung pemilihan langsung.

Surabaya, Bhirawa
Maraknya pertentangan jelang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada oleh DPR RI pada 25 September nanti, khususnya menyangkut sistem pemilihan tak langsung oleh DPRD atau dipilih langsung oleh rakyat, menjadi perhatian serius PWNU Jatim. Bahkan mereka berencana mengumpulkan seluruh kader NU yang ada di legislatif dari berbagai parpol,  eksekutif atau lembaga pemerintahan yang lain supaya bisa memperjuangkan hasil-hasil Munas alim ulama NU sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Rais syuriyah PWNU Jatim KH Miftahul Achyar menyatakan bahwa sikap PWNU Jatim sudah jelas meminta supaya Pilkada langsung dihapuskan karena dinilai mafsadah (dampak negatif) lebih banyak. Apalagi fakta menunjukkan  setelah pilkada banyak terjadi perpecahan baik antar umat, kiai maupun santri.
Ironisnya lagi orientasi umat memilih pemimpin bukan lagi mencari sosok pemimpin yang dianggap bisa menyejahterahkan rakyat. Tapi justru bersikap pragmatis dan larut oleh permainan money politics (politik transaksional). “Masyarakat di akar rumput sudah tidak bisa membedakan mana calon pemimpin yang bisa memberi kemaslahatan atau tidak karena sudah menjadi korban opini dan politik transaksional,” ujar KH Miftahul Achyar, Minggu (14/9).
Penghapusan pilkada langsung, lanjut kiai Miftah merupakan salah satu bagian dari rekomendasi Munas Alim Ulama NU 2012 di Cirebon. Pertimbangannya, supaya biaya politik bisa ditekan dan dapat dimanfaatkan untuk kepentigan-kepentingan publik yang lebih luas dan nyata kemanfaatannya.
“Pilkada tak langsung memang bukan jaminan bisa bersih dari politik transaksional. Namun setidaknya bisa dilokalisir sehingga pengawasannya lebih mudah. Apalagi sekarang sudah ada KPK dan lembaga audit sehingga para wakil rakyat tidak bisa seenaknya bermain-main,”tegas pengasuh Ponpes Miftahus Sunnah Surabaya.
Diakui KH Miftahul Achyar, kualitas para wakil rakyat hasil Pemilu 2014 masih banyak dipertanyakan karena sistem pemilu legislatif yang masih jauh dari harapan rakyat, bahkan lebih parah dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. “Kualitas anggota DPRD memang sangat menentukan dalam Pilkada tak langsung. Jadi NU harus bisa mendorong supaya mereka bisa menjadi lebih baik,” jelasnya.
Di antara upaya yang akan dilakukan PWNU Jatim yakni mengumpulkan seluruh kader NU yang duduk menjadi anggota legislatif dari berbagai parpol  supaya diberi pengarahan khusus oleh para kiai sepuh yang tak memiliki kepentingan. “Tujuan utamanya adalah memberikan pesan moral dan tanggungjawab supaya kader NU senantiasa memperjuangkan apa yang menjadi garis perjuangan NU yakni Islam Rahmatan Lil Alamin,” beber KH Miftah.
Ia juga mengimbau agar warga NU tak usah turun ke jalan untuk memperjuangkan rekomendasi Munas Alim Ulama NU khususnya menyangkut penghapusan pilkada langsung. Alasannya, situasi dan kondisi saat ini kurang memungkinkan sehingga baik yang pro maupun kontra pasti akan menjadi sorotan untuk kepentingan tertentu.
“Saya berharap anggota DPR RI masih bisa mengemban amanah dan tanggungjawab terhadap rakyat dan mau mengedepankan kepentingan bangsa daripada kepentingan golongan tertentu,” dalih kiai kharismatik asal Surabaya ini.
Bagaimana jika aspirasi warga NU gagal diwujudkan oleh DPR RI? Dengan lugas kiai Miftah menyatakan bahwa NU tak akan pernah mundur dalam memperjuangkan kepentingan yang terbaik untuk umat. Sebab NU sudah terbiasa ketiban gawe sehingga tak mudah menyerah.
Jika NU lebih memilih untuk dilakukan pilkada tak langsung, namun tidak demikian dengan ormas Muhammadiyah. Lewat Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim Nadjib Hamid mengatakan seharusnya dalam menata sebuah negara tidak ada sikap ekstrim yang dilakukan wakil rakyat. Termasuk adanya keinginan untuk mengubah pilkada langsung menjadi tak langsung dengan alasan biaya tinggi dan antar keluarga tidak akur akibat ada perbedaan dalam aksi dukung mendukung.
“Jangan hanya gara-gara tidak sesuai dengan keinginan kita, kemudian sistem yang sudah ada diubah. Kami tidak sepakat jika letupan-letupan tersebut dilakukan dengan sesaat tanpa memperhatikan koridor-koridor yang ada. Karenanya Muhammadiyah mendesak agar sistem yang sudah ada, tetap dilaksanakan, tapi tentunya dengan dilakukan perbaikan-perbaikan yang ditengarai menghabiskan anggaran besar termasuk adanya perseteruan antar keluarga,”tegas pria yang juga mantan komisioner KPU Jatim ini.
Dicontohkan e-voting dan pelaksanaan pilkada serentak, dipastikan akan mengurangi anggaran. Mengingat dengan e-voting, cukup menggunakan perangkat komputer dan pemilih cukup memencet tombol dan hasilnya dapat langsung masuk ke server KPU. Sebaliknya kalau menggunakan kertas suara seperti saat ini, justru inilah yang menghasiskan anggaran.    ”Melihat semua itu, Muhammadiyah setuju sistem yang sudah ada disempurnakan. Termasuk para perangkat pelaksana pilkada yang terindikasi melakukan jual beli suara harus diberi sanksi setimpal. Di sisi lain dengan diikutsertakan masyarakat dalam memilih pemimpinnya adalah bentuk demokrasi rakyat, sehingga rakyat tidak menjadi skeptis (cuek) terhadap pemimpinnya,”paparnya.
Terpisah, Ketua Umum PP GP Ansor, Nusron Wahid lebih setuju jika pilkada langsung dipilih oleh rakyat. Alasannya, dengan dipilih rakyat sebagai bentuk demokrasi sekaligus pemimpin yang dipilih semakin kredibel.  Seraya dicontohkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Banyuwangi Azwar Anas. ”Jadi salah jika pemilihan langsung dianggap liberal. Justru dengan pilkada langsung, para pemimpin yang terpilih akan semakin peduli terhadap rakyatnya,”ujar politisi asal Partai Golkar ini.
Karena itu, dirinya tidak sepakat saat kelemahan pilkada langsung dituding banyak kepala daerah yang dipenjara. Sebaliknya, saat pilkada dilakukan di dewan ternyata banyak dewan yang korup dan dipenjara. Itu terlihat saat pilkada pada 2004-2009. Di sisi lain kepala daerah lebih senang melakukan komunikasi dengan dengan partai daripada dengan masyarakat.
“Hal-hal inilah yang tidak kita inginkan. Memang dalam pilkada langsung ada sisi negatifnya yaitu adanya money politics serta mobilisasi birokrasi. Tapi hal itu perlu dilihat sisi positifnya yang lebih besar yaitu rakyat diajak memilih pemimpinan,”lanjutnya yang ditemui usai pelantikan PW GP Ansor Jatim masa bhakti 2013-2017. [cty]

Tags: