Quo Vadis Manajemen Pengelolaan Guru?

Dian SavitriOleh:
Dian Savitri
Mahasiswa S2 Unmer Malang. Guru SDIT Nur Hidayah Malang

Tarik ulur, maju mundur, mungkin itulah yang bisa kita gambarkan tentang kebijakan pengelolaan pendidikan di negeri ini. Beragam kebijakan yang plintat-plintut, sebut saja misalnya, tarik ulur pelaksanaan Kurikulum 2013 dan terakhir yang sedang hangat dibicarakan adalah wacana sentralisasi pengelolaan guru.
Wacana ini telah berkembang pada masa pemerintahan sebelumnya, waktu itu Kemendikbud dipimpin oleh M Nuh. Menurutnya, pengalihan pengelolaan guru didasarkan atas persoalan yang muncul selama ini di antaranya posisi guru ketika pemilihan kepala daerah dikaitkan dengan
politik, sulitnya pemerataan distribusi guru dan tersendatnya
penyaluran dana untuk tunjangan sertikasi guru.
Tampaknya realisasi wacana itu kian nyata seiring akan diberlakukannya Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tahun 2016 mendatang. UU ini akan mengatur kewenangan pengelolaan guru antara kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Pemberlakuan UU ini tentu akan menimbulkan perubahan yang cukup signifikan pada pengelolaan pendidikan.
Pengambil-alihan pengelolaan guru oleh pemerintah provinsi atau pusat bisa saja memberikan dampak positif dan tak dimungkiri juga akan melahirkan dampak negatif. Terutama bagi guru atau pihak-pihak yang selama ini merasa nyaman. Mereka dapat dipastikan akan merasa terusik atas kebijakan ini. Tidak mengherankan, nantinya implementasi kebijakan ini akan melahirkan pro dan kontra. Pun desentralisasi pendidikan yang didasarkan pada UU No 32 Tahun 2004 yang kemudian diperbarui menjadi UU No 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah.
Desentralisasi pendidikan mempunyai tujuan esensial untuk menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat industri modern yang berakar pada kondisi masyarakat setempat. Maka, seharusnya amanah desentralisasi tersebut harus mendukung peningkatan profesionalitas guru, bukan sebaliknya, otonomi guru justru dikebiri demi perolehan ataupun pelanggengan kekuasaan.
Namun, faktanya berkata lain, desentralisasi mempunyai celah bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya di kabupaten/kota. Terutama, oknum guru yang dimanfaatkan
sebagai tunggangan politik.
Ekses negatif pengalihan pengelolaan guru yang pernah terjadi di kabupaten/kota bukan tidak mungkin juga bisa terjadi bila dialihkan ke provinsi atau pusat. Sebab, ketika terjadi suksesi pemerintahan di tingkat provinsi, kemungkinan ada saja oknum guru yang justru memanfaatkan pengaruhnya dalam masyarakat untuk bertransaksi dengan calon penguasa. Hal ini tak bisa dimungkiri sebab tidak sedikit guru yang tergiur berbagai imbalan balas jasa yang dijanjikan oleh calon penguasa.
Rahman (2013) dalam bukunya, Guru dalam Pusaran Kekuasaan mengatakan bahwa guru merupakan sosok multi-dimensional yang dipahami banyak orang sebagai pendidik yang bermotif pengabdian (devotion) dan dilandasi keikhlasan (earnest), namun secara natural-pragmatik, mereka manusia yang memiliki motif-motif lain termasuk motif ekonomi dalam rangka meraih kekuasaan politik dan kesejahteraan hidupnya. Sehingga,
upaya memahami jati diri guru dari realitas yang mereka tampilkan sering kali mengalami distorsi. Lalu, patut digaris-bawahi bahwa kebijakan ini harus jelas grand
design-nya dan memang bisa menjadi solusi dalam memecahkan persoalan pendidikan yang terjadi selama ini.
Kebijakan ini tidak boleh asal  jadi dan dipaksakan. Pun jika semua serba minim kajian,  pengalihan ini justru akan menambah permasalahan baru. Karena, nyatanya pendidikan selama ini berjalan berdasarkan ‘keinginan’ para penguasa, bukan dari sebuah perencanaan yang matang. Rezim pemerintahan yang baru nanti bisa jadi akan merombak pola pendidikan jika ternyata pejabatnya tak mempunyai selera yang sama dengan pemerintahan saat ini.
Guru sebagai eksekutor kebijakan di lapangan sering kali
terombang-ambing dengan beragam kebijakan yang sering kali berubah. Oleh sebab itu, pengalihan pengelolaan guru ini harus memiliki program yang terencana dan terukur. Terutama berkaitan dengan profesionalitas dan jenjang karier guru. Jangan seperti selama ini hegemoni politik kepala daerah begitu terasa dalam jenjang karier guru, misalnya, dalam hal penempatan kepala sekolah. Hal inilah yang harus dihentikan. Guru
harus benar-benar merdeka, begitu pula penempatan kepala sekolah harus bebas dari intervensi penguasa.
Adanya campur tangan politik dalam penentuan kepala sekolah ditengarai banyak pihak semakin membuat pendidikan kita kian terpuruk.  Sebab, dasar penetapannya tidak melihat jenjang karier dan profesionalitas guru. Dengan demikian, bisa saja banyak kepala sekolah yang belum layak menjadi kepala sekolah namun karena kedekatannya dengan penguasa, diangkat menjadi kepala sekolah. Pun yang tak penting, yang harus dibenahi berkaitan dengan pemerataan guru, selama ini telah terjadi penumpukan guru di kota-kota besar dan kota-kota kecamatan.
Sementara di pelosok-pelosok desa masih kekurangan. Hal ini sebenarnya bisa diatasi jika guru memiliki integritas untuk mau dan mampu ditempatkan di mana saja sesuai dengan sumpah waktu pengangkatannya. Namun, patut disayangkan, banyak guru yang justru melayangkan permohonan mutasi ke daerah perkotaan. Dan, mereka pun banyak yang difasilitasi karena relasi guru dengan penguasa. Sehingga, fakta integritas yang telah diikrarkan ketika seorang guru menjadi bagian dari aparatur negara tidak bermaknaapa-apa .
Kita membutuhkan guru yang memiliki integritas dan memerlukan komitmen serius pemerintah dalam pengelolan guru. Artinya, guru dan pemerintah harus memegang teguh tanggung jawab moral dalam melaksanakan tugas demi memajukan pendidikan negeri ini. Nah, semoga sistem sentralisasi
pengelolaan guru akan membawa pendidikan kita lebih maju dan bermutu.

                                                                                                                       ——— *** ———

Rate this article!
Tags: