Quo Vadis Pemberantasan Narkoba?

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Awalnya publik mengapresiasi ‘keberanian’ aparat kepolisian ketika melakukan penangkapan terhadap politisi Andi Arief karena diduga mengonsumsi narkoba. Dari hasil olah TKP juga menunjukkan bahwa ada indikasi telah terjadi penyalahgunaan narkoba dengan ditemukannya peralatan untuk mengonsumsi narkoba. Apresiasi publik itu layak diberikan, karena sosok Andi Arief adalah bukan ‘orang biasa’ dalam panggung politik di tanah air. Sehingga, kesan awal yang muncul adalah betapa kepolisian telah bertindak tegas tanpa pandang bulu. Bahwa siapapun yang bersentuhan dengan narkoba harus disikat.
Hanya kemudian yang menjadi mengagetkan sekaligus menggelisahkan adalah ketika akhirnya penyidik kepolisian memutuskan menghentikan kasus Andi Arief dan yang bersangkutan (AA) direkomendasikan menjalani rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Pro kontra pun kemudian muncul dalam menyikap hal tersebut. Berbagai analisa dan kecurigaan lantas berseliweran membuat hiruk pikuk media sosial. Termasuk misalnya, ada analisa yang kemudian menarik kasus ini dalam tarik menarik terkait konstelasi politik Pilpres. Namun tentu penulis tidak ingin ikut-ikutan terbawa arus dalam ranah perdebatan semacam itu.
Bahwa banyak argumentasi yang bisa disodorkan untuk bisa menjelaskan dan melegitimasi keputusan penyidik polisi tersebut. Salah satunya adalah dengan merujuk Surat Edaran Nomor SE/01/II/Bareskrim pada 15 Februari 2018. Dalam surat edaran tersebut mengatur ada sejumlah poin pertimbangan tentang pelayanan rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam rehabilitasi medis maupun sosial. Pertimbangan pertama, rehabilitasi diberikan kepada pecandu dan korban penyalahgunaan narkotik yang melaporkan diri sendiri atau dilaporkan oleh orangtua kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Pertimbangan kedua, rehabilitasi diberikan kepada tersangka yang tertangkap dengan bukti hasil pemeriksaan urine positif, tanpa ditemukan barang bukti.
Dalam dua pertimbangan ini tidak dilakukan proses penyidikan terhadap pecandu atau korban penyalahgunaan narkotik. Penyidik hanya diizinkan melakukan interogasi untuk mengetahui asal usul narkotik yang diperoleh oleh pecandu atau korban penyalahgunaan narkotik.
Pertimbangan terakhir, rehabilitasi diberikan kepada tersangka yang tertangkap tangan dengan bukti hasil pemeriksaan urine positif serta ditemukan barang bukti narkotik dengan jumlah tertentu. Adapun batasan jumlah barang bukti untuk 16 jenis narkotik, yaitu sabu (satu gram), ekstasi (2,4 gram atau delapan butir), heroin dan kokain (1,8 gram), ganja (lima gram), daun koka (lima gram), meskalin (lima gram), kelompok psilosybin (tiga gram), kelompok d-lisergic acid diethylamidr (dua gram), dan kelompok phencyclidine (satu gram). Kemudian, kelompok fentanil (satu gram), kelompok methadon (0,5 gram), kelompok morfin (1,8 gram), kelompok petidin (0,96 gram), kelompok kodein (72 gram), serta kelompok bufrenofrin (32 miligram).
Dari ketiga pertimbangan di atas, sesungguhnya yang harus dipahami adalah bahwa rehabilitasi sejatinya lebih ditujukan kepada anggota masyarakat yang secara sadar mau melaporkan diri atau keluarganya sebagai pengguna narkoba. Inisiatif melaporkan inilah yang dianggap sebagai itikad baik korban sehingga kepada mereka inilah yang kemudian berhak mendapatkan rehabilitasi. Namun tentu langkah ini harus dibedakan dengan mereka yang tidak melaporkan diri dan secara sadar melakukan penyalahgunaan dengan mengonsumi narkoba. Bahwa orang secara sadar melakukan tindak pelanggaran hukum (mengonsumsi narkoba) tentu harus bersiap mendapatkan konsekuensi hukumnya. Apalagi kalau yang melakukan adalah tokoh masyarakat sekelas AA.
Beberapa Catatan
Keputusan penyidik kepolisian untuk melepaskan AA dengan berdalih sudah sesuai dengan aturan (SE Bareskrim Polri, red) sesungguhnya menghadirkan dua catatan serius yang harus menjadi perhatian kita bersama.
Pertama, bahwa penghentian penyidikan terhadap AA juga perlu diikuti dengan pertanyaan lanjutan yakni apakah keputusan serupa juga diberlakukan juga bagi masyarakat lainnya utamanya bagi masyarakat kecil yang tidak memiliki daya tawar di hadapan hukum. Pertanyaan ini menjadi penting karena kasus narkoba juga mewabah di kalangan masyarakat bawah. Selama ini, aparat hukum rasanya begitu mudah untuk melakukan ‘kompromi’ dengan melakukan rehabilitasi ketika berkaitan dengan pengguna narkoba yang berasal dari kalangan yang secara politik maupun ekonomi berdaya seperti politisi dan selebriti. Sementara, diluar sorot kamera media, banyak kasus-kasus sejenis yang melibatkan masyarakat kelas bawah. Lantaran itu, sungguh perlu juga dipertimbangkan rasa keadilan masyarakat terkait penanganan kasus narkoba. Publik tentu ingin bahwa kasus AA bukan merupakan bentuk ‘keistimewaan’ aparat hukum kepada AA. Kalau kemudian berdalih jumlah alat buktinya kecil, tentu juga harus ditelusuri apakah tidak terjadi penghilangan alat bukti di dalamnya. Karena bila terjadi penghilangan barang bukti maka itu juga merupakan tindak pidana. Oleh karena itu, publik tentu berharap agar negara tidak terlalu lemah kepada para penyalahguna narkoba. Tentu dapat dibayangkan, bagaimana nasib bangsa ini karena akan jadi bulan-bulanan para pengedar narkoba.
Kedua, bahwa memang ada ‘ruang gelap’ untuk menentukan apakah pelaku itu pengedar atau pengguna. Penetapan ini menjadi otoritas penyidik kepolisian. Sementara implikasi dari status sebagai pengguna atau pengedar itu menjadi sangat penting untuk menentukan proses hukum berikutnya. Lantaran itu memang butuh mekanisme yang komprehensif dan ketat dalam memutuskan apakah pelaku itu merupakan pengguna atau pengedar. Di luar faktor ini, rasanya juga perlu dipertimbangkan untuk memberikan kriteria lebih ketat untuk korban narkoba yang perlu mendapatkan rehabilitasi atau tidak. Kalau pelaku seperti AA yang secara psikologis dan sosial sudah dewasa mapan rasanya sudah bisa memilih dan sadar betul apa yang dilakukannya. Lain halnya kalau misalnya pelaku adalah anak-anak atau melakukannya dalam situasi tertekan atau dibawah ancaman tentu layak untuk dianggap sebagai korban. Namun lagi-lagi pemikiran ini tentu harus dikaitkan dengan desain besar pemberantasan narkoba di tanah air. Artinya, kebijakan untuk melakukan rehabilitasi apakah akan membuat pecandu narkoba semakin berkurang atau bahkan semakin bertambah. Dengan demikian kajian lebih serius terhadap regulasi termasuk UU Narkotika menjadi relevan untuk dilakukan. Kekhawatiran ini muncul karena bagaimana pengguna narkoba tidak bertambah kalau pemakai yang tertangkap tidak perlu menjalani hukuman pidana namun cukup menjalani proses rehabilitasi saja dengan berdalih sebagai korban. Kalau ini yang terjadi betapa banyak anggaran negara yang harus tersedot untuk melakukan rehabilitasi para pecandu narkoba. Sekadar catatan, data dari BNN misalnya menunjukkan bahwa pada 2017 tercatat ada 3,367 juta pengguna narkoba. Untuk rehabilitasi mereka dalam satu tahun pemerintah hanya mampu 14.000 saja. Sehingga untuk rehab 3 juta lebih pecandu tersebut akan butuh waktu beberapa tahun lagi. Artinya, jangan sampai bangsa ini kolaps gara-gara anggarannya tersedot hanya untuk ngurusi rehabilitasi korban narkoba.
Keraguan akan kesungguhan pemberantasan peredaran narkoba di tanah air sesungguhnya sudah bukan rahasia lagi. Mengapa? Tidak lain karena banyak kasus yang mempertontonkan betapa peredaran narkoba justru sering ‘difasilitasi’ oleh oknum-oknum yang berada di lembaga negara. Mulai dari level kepolisian, kejaksaan, pengadilan hingga ke Lembaha Pemasyarakat (LP). Artinya, gurihnya bisnis narkoba ternyata juga dinikmati oleh oknum para penegak hukum kita. Artinya, transaksi kasus itu sangat mungkin bisa dimulai dari saat penyidikan, penuntutan, putusan hakim hingga saat menjalani hukuman. Semua bisa ditransaksikan. Tentu saja transaksi ini hanya mungkin dilakukan ketika pelaku adalah mereka yang berdaya secara ekonomi. Sementara bagi pelaku yang tidak memiliki daya tawar dihadapan hukum tentu tidak bisa melakukan ‘negoisasi’ hukum atas kasusnya.
Kita mungkin tak bisa meniru gaya Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte yang terus mengeksekusi para bandar narkoba tanpa lewat jalur pengadilan. Meski begitu, Indonesia perlu mencontoh semangat dan keseriusan Presiden Duterte dalam memberantas narkoba yang dinilainya telah menghancurkan bangsa Filipina. Ketegasan penting ditunjukkan demi menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: