Quo Vadis Pencapaian Pembangunan Global ?

Mahathir M IqbalOleh:
Mahathir M Iqbal
Staf Pengajar Pada Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Makin rumit tantangan pemerintah, termasuk pemda, untuk mencapai standar hasil pembangunan global. Ketika kebanyakan target MDGs meleset, kini PBB memberi daftar target lebih banyak via SDGs.
Tutup buku tujuan pembangunan milenium (millennium development goals, MDGs) pada akhir 2015 menyisakan banyak target tercecer. Salah satu indikator penting ”peradaban” adalah angka kematian ibu (AKI). Jumlah AKI dari 390 (1992) baru bisa ditekan menjadi 356 per 100.000 kelahiran pada 2012. Padahal, jumlah kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan bisa ditingkatkan dari 40,70 persen pada 1992 menjadi 83,10 persen pada 2012.
Target penurunan AKI dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) memang agak muluk. Yakni, menuju 307 pada 2008 dan 118 pada 2014. Meski belum ada statistik mutakhir yang pasti, target itu dipastikan meleset jauh, seperti tersirat dari laporan Bappenas. Apalagi bila diukur dengan patokan MDGs sebanyak 102.
Di lingkup yang lebih kecil, Jawa Timur misalnya, angka kematian ibu juga sulit diatasi. Selama 2008-2012, justru terjadi kenaikan angka kematian ibu 7-11 poin. Berdasar data statistik Jawa Timur, angka kematian ibu masih menunjukkan 97,39 per 100.000 kelahiran hidup. Meski demikian, Dinkes Jatim menyebut AKI di provinsi ini sudah berada di bawah target MDGs sebesar 102 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Dinkes kabupaten dan kota melaporkan tahun 2011 sebesar 101,4; tahun 2012 sebesar 97,43; dan tahun 2013 sebesar 97,39.
Mengutip JPIP (Jawa Post Institute of Pro Otonomi), terdapat empat tantangan di Jatim yang dicatat dari hasil riset tersebut. Pertama, fluktuasi anggaran. Ini berdampak terhadap ketercukupan dan jangkauan program-program untuk ibu, terutama akses bagi mereka dari berisiko tinggi dan miskin. Kedua, variasi komitmen kepala daerah atau kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terhadap keberlanjutan program. Ketiga, program yang dibuat bersifat lokal. Dibutuhkan peran pemerintah provinsi untuk menjadi makcomblang inovasi. Keempat, hambatan gender dan sosiokultural masyarakat.
Sejak diterapkan pada 2000, capaian MDGs di Indonesia secara keseluruhan cukup berat. Berdasar hasil laporan Bappenas pada awal 2015, dari 48 indikator MDGs, hanya enam indikator yang sudah tercapai. Sedangkan 42 indikator lainnya belum tercapai dan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Termasuk di antaranya tujuan di bidang kesehatan. Tiga dari delapan tujuan pembangunan milenium berfokus di kesehatan (tujuan 4, 5, dan 6). Yakni, mengurangi angka kematian bayi (AKB), mengurangi angka kematian ibu (AKI), serta memerangi HIV/ AIDS, malaria, dan penyakit lainnya.
Dari tiga tujuan tersebut, hanya satu indikator yang tercapai. Yaitu, penurunan prevalensi TB. Target-target dan indikator lainnya masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan daerah. Juga 11 indikator lain yang masih membutuhkan kerja keras karena masih jauh dari target.
Target makin berat karena PBB membuat daftar lebih banyak dengan meluncurkan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals, SDGs) pada 25-27 September 2015. Jika MDGs hanya memiliki delapan tujuan dan 18 target, SDGs memiliki 17 tujuan dan 169 target. Dengan mengusung prinsip 5P (people, planet, prosperity, peace, dan partnership), tujuan pembangunan yang dimulai 2016 ini akan berakhir pada 2030.
Berbeda dengan MDGs, yang konon hanya didesain beberapa gelintir orang di PBB, SDGs dibuat secara lebih berhati-hati dan komprehensif karena melibatkan banyak negara melalui kelompok kerja, konsultasi, dan survei door-to-door. Ini dilakukan untuk merespons kritik terhadap MDGs karena dianggap tidak mampu mengakomodasi kondisi dan kebutuhan seluruh negara yang sangat bervariasi. SDGs juga tidak hanya melibatkan pemerintah dalam proses implementasinya, tetapi juga dibutuhkan kemitraan dengan pemangku kepentingan lainnya seperti swasta dan masyarakat sipil.
Meski telah terjadi pergantian nama agenda pembangunan global, bukan berarti SDGs benar-benar terpisah dari MDGs. Sebaliknya, tujuan-tujuan yang belum tercapai selama 15 tahun implementasi MDGs telah dimasukkan ke dalam SDGs. Misalnya, pemberantasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan kesetaraan gender. SDGs disusun dengan lebih terperinci dan menambahkan poin-poin penting yang belum diakomodasi dalam MDGs seperti perlindungan HAM dan fokus terhadap kelompok miskin, rentan, dan termarginalkan. Tentu, pekerjaan makin berat.
Meski berat, seperti halnya MDGs, SDGs menjadi penting untuk diperhatikan karena akan berdampak terhadap perencanaan pembangunan di Indonesia mulai tingkat nasional sampai kabupaten/kota.
Karena MDGs pula, pemerintah kabupaten/kota giat menggenjot program-program (dengan berbagai variasi nama program) seperti membebaskan masyarakat dari buang air di sembarang tempat serta penurunan angka kematian ibu dan anak.
Dengan merujuk pada capaian MDGs sampai dengan 2015, pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota butuh meneruskan program yang sudah on the track dan memang harus bekerja keras untuk menuntaskannya.
Soal Kemiskinan
Kemiskinan terus menjadi sasaran pelik jihad akbar pembangunan. Ketika program MDGs dimulai, jumlah kemiskinan di Indonesia ditargetkan terpangkas sampai 7,55 persen, separo dari angka ketika program dimulai, 15,10 persen. Namun, sampai dengan akhir 2014, angka kemiskinan di Indonesia hanya bisa di pangkas hingga 11,25 persen. Berdasar data di Badan Pusat Statistik (BPS), sampai dengan September 2015, sebanyak 28,5 juta penduduk Indonesia masih miskin.
Ketika pengentasan kemiskinan masih menjadi masalah pelik dan belum bisa dipenuhi dalam MDGs, di akhir Desember tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal. Hasilnya, 122 daerah yang tersebar di 22 provinsi dikategorikan tertinggal. Terbanyak ada di Papua dengan 25 kabupaten. Disusul Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Tengah dengan jumlah daerah 17 dan 9.
Memang, beberapa daerah melakukan inovasi. Contohnya, Kabupaten Jember dengan inovasi Pemberdayaan Usaha  Mikro Rumah Tangga Miskin (PUM-RTM). Inovasi itu secara kontinu dilakukan sejak 2005. Dengan mengadopsi model Grameen Bank, sebanyak 433 unit bank keluarga miskin (bankgakin) hadir di tengah-tengah masyarakat dan membantu mengatasi problem kemiskinan. Harapannya, daerah-daerah lain juga harus melakukan inovasi-inovasi dalam mengentaskan kemiskinan.

                                                                                                    ——————- *** ——————

Tags: