Quo Vadis Pendidikan Karakter

Oleh :
Aprilia Susanti
Praktisi dan pengamat pendidikan ; Guru SMP Negeri Model Terpadu Bojonegoro

Dunia pendidikan kembali terluka. Media nasional setidaknya telah beberapa kali merekam jejak gelap pendidikan Indonesia. Masih basah ingatan tentang kasus penganiayaan seorang taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Marunda (10/1). Disusul kasus pembunuhan siswa SMA Taruna Nusantara pada 31 Maret 2017 lalu. Di tengah era pendidikan karakter,senioritas dan perundungan masih menduduki peringkat pertama daftar hitam pendidikan di Indonesia. Apa yang hilang?
Tekanan dalam sebuah komunitas menghasilkan pergolakkan. Lambat laun pergolakan ini akan berakumulasi. Akumulasi emosi positif mengarah pada terbentuknya kebersamaan dan sense of belonging (perasaan saling memiliki).
Di lain pihak, emosi negatif dapat menimbulkan friksi antar anggota komunitas. Munculnya kompetisi dan euforia balas dendam melancipkan benih senioritas. Tanpa pengawasan dan pendampingan, senioritas tak bertanggung jawab dapat mengarah pada tindakan perundungan (bullying).
Walaupun berbeda makna, ada keterkaitan antara senioritas dan perundungan. Senioritas tumbuh dari rasa eksklusifisme sebagai anggota komunitas yang ‘dituakan’ dan harus dihormati. Sedangkan perundungan merupakan hasil senioritas yang ekskursif. Senioritas tidak selalu menghasilkan tindakan perundungan. Namun, perundungan mutlak hasil senioritas yang tak dikelola dengan baik.
Perundungan dapat berupa tindakan kekerasan secara verbal, gestur, fisik maupun psikis. Perundungan dapat terjadi antar anggota komunitas. Perundungan dapat terjadi baik one on one (satu lawan satu) maupun berkelompok. Perundungan dapat menyebabkan tindakan anarkis maupun kriminal yang lain.
Bourdieu (1990) menyebutkan bahwa kelompok modal atas dapat memaksakan habitus (kebiasaan) kepada kelompok modal yang lebih rendah. Kelompok modal dapat dikategorikan berdasarkan modal sosial, budaya dan simbolik. kelompok modal atas akan cenderung mendominasi modal bawah. Inilah yang disebut Bourdieu (1990) sebagai kekerasan simbolik (blog.unnes.ac.id, 01/04).
Praktik kekerasan simbolik juga terjadi di lembaga pendidikan formal. Berbagai bentuk aturan ‘dipaksakan’ untuk ditegakkan. Dengan alasan menegakkan kedisiplinan, berbagai jenis aturan dibuat. Guru atau pengajar memiliki modal simbolik terhadap murid. Kakak kelas juga memiliki modal simbolik terhadap adik kelasnya. Kebutuhan untuk dipatuhi dan dihormati adalah contoh kekerasan simbolik. Secara tidak sadar, habitus ini justru berkembang di lembaga pendidikan. Artinya, senioritas itu ada di manapun. It’s there!
Ada beberapa teori belajar untuk mengajarkan sebuah ideologi, sikap dan budaya. Salah satunya adalah teori behavioristik Pavlov. Pemberian stimulus yang berulang – ulang dapat menghasilkan respon yang diinginkan. Disinilah perlunya metode drilling pembelajaran. Pembiasaan merupakan metode khas behavioristik. Sehingga, muncul penguatan (reinforcement) berupa reward and punishment (hadiah dan hukuman). Penguatan ini akan mendekatkan metode pembiasaan dengan tujuan.Umumnya, inilah yang mendasaripembentukan kedisiplinan di lembaga pendidikan.
Justru, benih senioritas bisa tumbuh dari teori ini. Bagaimana tidak, teori ini mendudukkan pembelajar sebagai individu yang pasif (Kompasiana.com, 02/04). Dalam hal ini, pembelajar sebagai kelompok terdominasi. Stimulus diberikan oleh kelompok dominasi (Bourdieu, 1990). Inilah area yang paling rentan terjadi senioritas kelompok modal atas.
Senioritas dapat terjadi di lembaga pendidikan manapun. Terlebih di lembaga pendidikan berbasis semi militer, di mana kelas – kelas pemilik modal simbolik jelas dibedakan. Seorang Tamtama tentu berbeda dengan Bintara, khususnya dalam hak dan kewajiban. Seorang senior diberi amanah untuk memberi contoh bahkan ‘mendisiplinkan’ juniornya pada hal tertentu.
Kasus yang terjadi beberapa waktu ini merupakan tamparan keras bagi wajah pendidikan. Di tengah sosialisasi pendidikan karakter, kasus senioritas yang berujung kriminal masih terjadi. Sehingga, sekolah – sekolah berbasis semi militer harus memperbarui regulasi terkait hal ini.
Menegakkan kedisiplinan memang suatu keharusan. Terlebih karena kedisiplinan merupakan salah satu poin penting dari pendidikan karakter. Internalisasi nilai – nilai humanis pun harus lebih ditekankan. Lembaga pendidikan harus memiliki aturan aplikatif mengenai hal ini, tidak sekadar normatif. Jika sebuah sikap (bahavior) dapat diukur dan dibuat aturan secara aplikatif, begitupun  pengajaran bernilai humanis.
Restorasi makna pendidikan karakter mutlak diperlukan. Pendidikan sejatinya membebaskan. Pendidikan sejatinya mendewasakan. Ini harus diteguhkan kembali, apapun visi dan misi internal kelembagaan itu. Pendidikan yang humanis mengembalikkan fitrah manusia sebagai individu pembelajar. Pendidikan untuk memanusiakan manusia menurut Maslow dan Carl Roger (Kompasiana.com, 02/04). Artinya, kesalahan dan kegagalan dalam memenuhi target (aturan) dapat dipahami dan dicarikan solusi terbaik sesuai kesepakatan. Ini akan memicu dan menajamkan kesadaran pribadi tentang nilai – nilai positif.
Berdasarkan uraian tentang teori Bourdieu dan Pavlov, ada benah merah di antaranya. Bahwa pembelajaran berbasis pembiasaan tanpa memerhatikan aspek humanis rentan terjadi kekerasan simbolik. Untuk itulah, mengajarkan makna jauh lebih krusial dibanding mengajarkan serangkaian peraturan.Ajarkan makna tepat waktu, bukan hukuman apa jika tidak tepat waktu. Ajarkan makna menjaga kebersihan, bukan hukuman apa bagi siswa yang tidak menjaga kebersihan.
Menyoal kasus senioritas yang terjadi, bukan seluruh sistem pendidikan di lembaga yang harus diubah. Sekolah – sekolah berbasis semi militer justru merupakan garda terdepan nilai – nilai pendidikan karakter. Suasana disiplin yang ketat tentu dapat menjaga nilai – nilai karakter bangsa. Memberikan hukuman bagi pelanggar peraturan tentu penting. Aturan dibuat untuk mengikat kebaikan bersama. Aturan tidak dapat dihapus.  Namun, menanamkan arti memaafkan tidak kalah penting. Dengan demikian, pelanggar dan penegak peraturan akan saling memahami. Tidak akan ada dinding yang semakin meninggi antara si pelanggar dan penegak peraturan. Senior akan semakin memahami junior. Junior akan semakin menghormati senior. Di titik itulah, dinding senioritas lambat laun dapat diruntuhkan.
Lembaga pendidikan harus memiliki regulasi aplikatif dan visible mengenai internalisasi nilai – nilai humanis ini.  Jika aspek behavior dapat di – SOP- kan, maka aspek humanis haruslah demikian. Dengan demikian, pendidikan karakter akan semakin bermakna. Kasus kekerasan dapat berkurang dan hilang. Semoga!
———– ooo ————

Rate this article!
Tags: