Rahasia Pembelajaran di Finlandia

Buku : Mengajar seperti Finlandia (Teach Like Finland)
Penulis : Timothy D. Walker
Siti Nurannisaa P.B.
Mahasiswa S3 Pascasarjana TP Unesa dan Pendidik Untar Jakarta
Dimensi Buku : 15 cm x 22 cm
Alih Bahasa : Fransiskus Wicaksono
Penerbit : PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Jumlah Halaman : 198 hlm
Terbit : 2018
Harga : Rp 70.000

Bagaimana bisa model pendidikan yang bebas dari jam pelajaran panjang, bebas dari beban PR (pekerjaan rumah) yang menumpuk dan sedikitnya jumlah ujian mampu “mencetak” siswa dengan prestasi terbaik dunia? Kebahagiaan dan menyenangkan adalah kunci penting keberhasilan pendidikan di Finlandia. Sebisa mungkin meniadakan rasa cemas yang cenderung melumpuhkan proses pembelajaran. Memberi kebebasan yang wajar dan terarah. Kebahagiaan dan kegembiraan menjadi alat yang digunakan untuk mencapai prestasi.
Timothy D. Walker menulis tentang pendidikan Finlandia melalui sudut pandang orang asing. Dia mengupas rahasia dan langkah praktis kegiatan mengajar Finlandia dalam bukunya Mengajar Seperti Finlandia (Teach Like Finland), 33 Strategi Sederhana untuk Kelas Yang Menyenangkan. Kali pertama terbit pada 2017 di New York, buku ini lantas diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Timothy mengidentifikasi langkah dan strategi yang ditulis menjadi lima bagian dalam buku, yaitu: 1) kesejahteraan, 2) rasa dimiliki, 3) kemandirian, 4) penguasaan, dan 5) pola pikir.
Bekerja keras tanpa henti diyakini sebagian orang akan meningkatkan kesejahteraan. Namun, hal ini justru tidak terlihat pada pengajar di Finlandia. Tersedianya waktu istirahat setiap hari memberikan kebebasan bagi para siswa dan guru untuk mengendurkan saraf (hlm 2). Para guru memahami pentingnya waktu luang. Karena itu, jumlah PR diberikan sesuai dengan kebutuhan siswa. Kelas yang menyenangkan dengan prioritas kesejahteraan melalui kesehatan fisik, emosi dan mental guru dan siswa menjadi langkah penting dalam memperbaiki kualitas pembelajaran. Kualitas mengajar lebih penting daripada ‘jumlah jam’ mengajar (hlm 27). Kesejahteraan yang diwujudkan dalam ketenangan, suasana damai, dan bersahabat merupakan alasan mengapa siswanya dapat belajar secara efisien (hlm 47).
Rasa dimiliki (sense of belonging) adalah sesuatu yang tidak bisa diberikan, tetapi harus dialami. Memelihara hubungan antarrekan kerja, guru dan siswa memunculkan rasa dimiliki dan berpengaruh terhadap kebahagiaan dan pengajaran (hlm 56). Terdapat pertemuan rutin antara guru, profesional, kepala sekolah, perawat, pekerja sosial, psikolog, dan guru pendidikan khusus untuk membahas berbagai hal dalam proses pembelajaran. Setiap pihak dapat berbagi tanggung jawab dalam menangani siswa kelasnya, karena ‘itu kelas kami’ (hlm 58). Strategi lain adalah mengenal dan bermain dengan setiap anak, membangun impian kelas, menghapus perundungan (bullying) dan berkawan (hlm 59).
Kemandirian dimulai dari pemberian kesempatan dan kebebasan dalam melakukan sesuatu. “Minggu Belajar Mandiri” merupakan salah satu program bagi siswa untuk memiliki jam pelajaran terbuka dan menyelesaikan tugas sesuai dengan kecepatan masing-masing (hlm 93). Siswa diberi kesempatan membuat perencanaan, memilih dan berdiskusi tugas secara terbuka, mengevaluasi diri sendiri. Dengan diiringi prinsip tanggung jawab, kemandirian akan terbangun dan kesuksesan akademik serta kegembiraan para siswa akan menyertai.
Satu kalimat menarik berbicara tentang penguasaan. “Saya tidak akan membiarkan ‘buku paket’ menjadi majikan di kelas saya” (hlm 137). Penguasaan akan suatu hal adalah sebuah kebutuhan untuk memunculkan perasaan kompeten yang menjadi hal mendasar lainnya untuk menjadi bahagia. Sekolah hanya mengajarkan hal-hal penting sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Buku paket hanya sebagai sumber belajar. Kreativitas guru untuk melakukan pengembangan tidak dibatasi. Siswa dapat “menemukan” hal-hal pokok dalam materi. Dia dapat mengaitkan pengalaman belajar dengan masalah lingkungan sehari-hari secara mandiri.
Buku ini ditutup dengan landasan kebahagiaan melalui pola pikir yaitu ‘di mana ada ruang bagi setiap orang untuk tumbuh’. Menggeser sudut pandang sifat kompetitif, tidak lagi mencari mana yang lebih baik dari yang lain. Fokusnya pada apa upaya terbaik dalam proses pendidikan. Mencari alur untuk tidak menghabiskan waktu membuktikan keunggulan, namun fokus pada tujuan dan aktivitas menyenangkan yang menumbuhkan emosi positif.
Sepertinya yang dilakukan Finlandia bukanlah sesuatu yang “canggih” atau baru. Sistem pendidikan dibangun berlandaskan nilai dasar kemanusiaan yang berlaku sama di negara mana pun. Seperti kebahagiaan (yang menjadi landasan utama), kedamaian, kemandirian, tanggung jawab, ataupun pola pikir bahwa setiap setiap orang berhak untuk tumbuh. Namun apa yang menjadikan negara ini mampu membangun sistem pendidikannya? Sangat percaya diri bahwa sistem yang berlandaskan nilai kebahagiaan yang digunakan akan berhasil. Kemudian fokus mengimplementasikan nilai dasar kebahagiaan dan kedamaian sesuai dengan karakteristik negara.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dalam pengantar buku ini dikatakan bahwa sistem pendidikan seperti halnya tanaman atau pepohonan, yang akan tumbuh baik hanya di tanah dan iklimnya sendiri. Mungkin hal terpenting yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi kondisi tanah dan iklim negara ini. Kembali mengenali dan meyakini identitas dan karakter bangsa, lalu membangun rasa bangga akan identitas tersebut. Identitas inilah yang harus dikembalikan sebagai perwujudan dalam berbagai praktik kenegaraan, khususnya pendidikan.
Saatnya berlatih membangun sudut pandang dan suasana positif. Ini secara perlahan mampu menumbuhkan kekuatan diri. Sebab, tidak ada yang lebih mengenal diri kita, selain diri kita sendiri.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: