Rahmat Santoso Berbicara Perihal Penerapan New Normal di Pesantren

H Rahmat Santoso, SH, MH

H Rahmat Santoso, SH, MH
Sebagai Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat  Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (DPP IPHI). Kiprah Rahmat Santoso sudah diakui malang melintang di Indonesia. Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) MPC Pemuda Pancasila Kota Surabaya dan Vice President Kongres Advokat Indonesia ini buka suara perihal New Normal di lingkup pesantren.
Terlepas dari beragam perdebatan tentang istilah New Normal, kalimat yang didengungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai tatanan hidup baru berdampingan dengan COVID-19. Rahmat merasakan hal itu seperti embun yang menyejukan hati para kyai dan ulama pengasuh pondok pesantren.
Meski menjabat sebagai Ketua Umum (DPP IPHI), pihaknya masih kerap sowan dan berkumpul bersama para kyai dan ulama-ulama. Keresahannya sama, kapan santri-santri bisa berkumpul lagi dan pendidikan pesantren dimulai?.
Keresahan itu wajar. Sudah hampir tiga bulan pesantren seperti mati suri setelah semua santri dipulangkan akibat pandemi virus corona ini. Padahal, jumlahnya tidak sedikit. Ada sebanyak 28.194 pesentren dengan sekitar 5 juta santri mukim yang tersebar di seluruh Indonesia saat ini.
Sedangkan jika total dengan santri non mukim berkisar 18 juta jiwa. Belum lagi jumlah pengajar yang tak kurang dari 1,5 juta jiwa. Semua bersandar pada kehidupan pesantren. Tentu menjadi normal, jika banyak pertanyaan sampai kapan aktifitas pesantren ini terhenti?.
Sebelum meneruskan perbicangan soal new normal di pesantren, terlebih dulu  ijinkan saya memberikan salam hormat pada para leluhur,  Datuk Syeh Muhamad Arsyad Albanjari, Datuk Abdusamad dan Datuk Sulaiman Marabahan  dari  Barito Koala, Kalimantan Selatan.
Selain itu, salam hormat juga kepada para guru di Pondok Peta, Tulungagung, Jawa Timur, Syaikhina Abdul Djalil Mustaqim,  Asy-Syaikh Mustaqim bin Husein dan seluruh guru-guru saya lainnya.
Berbicara soal pesantren, saya juga teringat kembali kiprah Ketua Umum DPP IPHI sebelumnya, almarhum Indra Sahnun Lubis.  Semasa hidupnya, posisi beliau yang sekarang saya gantikan pernah menjadi penasihat hukum PB Nahdhatul Ulama (NU),  mulai era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga  KH. Hasyim Muzadi (almarhum).
Jadi, IPHI sebagai salah satu satu pioner organisasi advokat sudah akrab dengan dunia pesantren. Sejak dulu, IPHI bergendengan dengan para kyai dan ulama, khususnya kalangan NU.
Kembali ke masalah pesantren menyambut New Normal, dalam dua hari terakhir ini mulai marak diperbincangkan. Kementerian Agama (Kemenag), tanggal 27 Mei 2020   juga sudah mengeluarkan edaran “Kebijakan Kegiatan Pesantren dan Rumah Ibadah dalam Menghadapi New Normal”.
Secara umum, apa yang terkandung dalam konsep pesantren menuju New Normal dari pemerintah melalui Kemenag itu sebenarnya sudah bukan baru dalam Islam. Protokol pencegahan covid-19, seperti mencuci tangan, memakai masker, bersin menutup mulut, hingga jaga jarak adalah konsep Islam Life Style.
Memakai masker misalnya, mirip dengan cadar yang dipakai wanita mukminah. Cuci tangan, juga ada dalam wudhu. Mejaga wudhu sangat dianjurkan dalam Islam.  Selain itu, soal sosial distancing, dalam Islam juga sudah dianjurkan  berkumpul harus memberi manfaat,  tidak boleh yang berkumpul sia-sia apalagi yang membahayakan.
Lantas apa yang menjadi masalah pesantren tidak segera dibuka jika konsep new normal itu sudah bukan barang baru di Islam. Tentu, pemerintah dan termasuk kita semua harus berhati-hati.  Keselamatan santri dan para guru pesantren  di atas segalanya. Apalagi kondisi  pandemi korona di tiap daerah tidak sama. Ada yang sudah turun tapi juga ada yang justru naik, seperti yang terjadi di Jawa Timur.
Untuk itu,  perlu berbagai persiapan agar memastikan pesantren benar-benar aman sebelum dibuka kembali. Secara garis besar ada empat langkah untuk memulai New Normal di Pesantren. Keempatnya, yaitu Sertifikasi Pesantren, Protokol Kesehatan COVID-19 Pesantren, Sarana-Prasana dan Kelompok Rentan.
Terkait sertifikasi, tujuannya untuk  menentukan kelayakan pesantren atau memberikan jaminan bagi seluruh stake holder (orangtua/wali santri, pengajar, staf, dan masyarakat di sekitar pesantren) bahwa pesantren yang menyandang sertifikasi berarti memenuhi kualifikasi bebas COVID-19 atau dalam konteks ini bahwa pesantren tersebut memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan dan mematuhi protokol kesehatan COVID-19.
Untuk itu perlu segera dilakukan pendataan kembali ke semua pesantren dari berbagai hal untuk memenuhi standart verifikasi atau kualifikasi bebas covid-19 itu. Kalaupun ada yang kurang, pemerintah maupun stake holder lainnya bisa membantu untuk melengkapi. Harapannya, semua pesantren bisa mendapatkan sertifikasi. [bed]

Tags: