Rakyat Menunggu “Jokowi-Nomics”

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

Masyarakat di seluruh dunia, terutama di Eropa dan Amerika, sedang merayakan harga BBM yang murah. Sehingga perayaan menyambut tahun baru 2015 dirancang lebih semarak. Lebih banyak jadwal perjalanan (dan penerbangan) sampai mengalami pick season. Sedangkan di Indonesia, perayaan tahun baru akan dirayakan dengan keprihatinan dan kecemasan. Harap-harap cemas, dengan kegundahan: Apakah pemerintah bisa menjamin perekonomian lebih baik?
Keprihatinan pertama, karena harga BBM bersubsidi dinaikkan oleh pemerintah, pada saat harga minyak (juga ICP) sedang turun drastis. Ini memerlukan penjelasan pemerintah. Ini menyangkut transparansi yang selalu menjadi jargon rezim, terutama besarnya nominal subsidi terhadap BBM. Berapa sih besarnya subsidi tiap liter (untuk bensin dan solar)? Pemerintah belum pernah terbuka tentang detil subsidi.
Sehingga pada masa lalu, perhitungan terhadap subsidi dianggap bagai “kotak pandora” yang tak pernah dibuka. Bahkan kader PDIP (Kwik Kian Gie) yang mantan Menko Perekonomian menyatakan tidak pernah ada subsidi harga BBM. Berdasarkan perhitungan Kwik Kian Gie, dengan harga jual bensin senilai Rp 8.500,- pemerintah sudah meraup untung. Atau setidaknya sudah tidak men-subsidi lagi, Bahkan harga Rp 8.500,- itu sudah termasuk pajak (PPN dan PBBKB) sebesar Rp 1.115,- per-liter yang dibayarkan oleh masyarakat pembeli BBM bersubsidi.
Kenaikan harga BBM bersubsidi, selalu membawa dampak perih pada sektor sosial dan perekonomian. Terutama konsumsi rumahtangga akan tertekan. Padahal belanja rumahtangga merupakan pilar utama perekonomian nasional (sampai 66%). Pada skala nasional berdasar perhitungan BI (Bank Indonesia), setiap kenaikan bensin sebesar Rp 1.000,- per-liter, akan menyebabkan laju inflasi sebesar 1,3%. Kalau naik-nya Rp 2.000,- maka inflasi akan melaju lebih kencang sekitar 2,6%.
Sedangkan menurut perhitungan BPS kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.000,- akan menambah penduduk miskin baru sebanyak 1,2 juta jiwa. Kalau naiknya Rp 2.000,- maka jumlah penduduk miskin baru bertambah 2,4 juta jiwa. Jawa Timur juga akan tertekan dengan beban bertambahnya orang miskin baru. Jika diasumsikan di Jawa Timur terdapat 4,5 juta jiwa warga miskin, maka akan bertambah sebanyak 27 ribu orang miskin baru. Ini problem baru yang tak mudah diurai.
Sebenarnya, menaikkan harga BBM berssubsidi tidaklah mudah.  Pada tahun 2012, ketika SBY akan menaikkan harga BBM bersubsidi, menuai penolakan masif. Sehingga parlemen (seluruh fraksi di DPR, kecuali Partai Demokrat) ramai-ramai pula “meng-hadang.” Walau juga terdapat rekomendasi yang mendukung (diantaranya Munas Apindo). Penghadangan oleh DPR ketika itu dilakukan melalui Undang-Undang (UU). Yakni UU Nomor 22 tahun 2012 tentang Perubahan APBN tahun 2012.
Pada pasal 7 ayat (6A) dinyatakan, pemerintah boleh menaikkan harga BBM bersubsidi manakala 6 bulan berturut-turut harga ICP mencapai 15% diatas patokan APBN. Apakah ICP (Indonesia Crude Price) sudah mencapai US$ 120,75 per-barel? Jika belum, pemerintah hanya boleh (mengambil opsi) melakukan pengaturan. Misalnya mengurangi volume BBM bersubsidi yang beredar.
Nilai Rupiah Anjlok
Keprihatinan kedua, melorotnya nilai rupiah terhadap dolar sudah pada tahap “ambang psikologis.” Sudah kritis, mencapai Rp 12.700,- per-US$ pada pekan kedua bulan Desember. Ini rekor terendah selama 16 tahun sejak krisis ekonomi tahun 1998 silam (saat itu dolar AS senilai Rp 16 ribu lebih). Tetapi beberapa elit politik coba membangun paradigma sebaliknya, bahwa turunnya nilai tukar rupiah dapat menjadi peluang baik untuk perekonomian nasional. Paradigma tersebut tentu menyimpang.
Seluruh dunia meyakini menurunnya nilai tukar mata uang terhadap dolar AS pastilah menunjukkan situasi buruk perekonomian dalam negeri. Kenyataannya memang perekonomian Indonesia belum surplus. Defisit neraca perdagangan Indonesia per-September 2014 masih sebesar US$ 270 juta, atau sekitar Rp 3,375 trilyun (pada bulan Agustus sebesar US$ 318 juta). Berdasarkan catatan BI (Bank Indonesia) defisit transaksi berjalan selama setahun (takwim 2014) akan sebesar US$ 27 milyar.
Artinya, defisit akan semakin besar dalam kurs rupiah manakala nilai dolar AS makin naik. Dus, makin berat untuk menutupi defisit. Bahkan ekspor manufaktur yang diandalkan juga akan mengalami penurunan. Hal itu disebabkan bahan baku yang berasal dari impor pasti terbebani kenaikan kurs dolar terhadap rupiah. Karena itu seyogianya pemerintah (dan BI serta Otoritas Jasa Keuangan) bergerak cepat untuk menyelamatkan rupiah.
Tidak elok elit politik merespons menurunnya nilai tukar rupiah dengan ber-argumen menyimpangi paradigma yang logis. Melorotnya nilai tukar rupia,menurut beberapa pengamat, juga merupakan dampak kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi. Serta rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Ujung-ujungnya, inflasi menekan pasar, karena daya beli menyusut.
Menurunnya nilai tukarrupiah patut dicemaskan. Sebagaimana terjadi tahun 1998 yang menyebabkan Pak Harto memilih lengser.  Lalu diikuti kisruh sosial. Beruntung tidak berlanjut menjadi tawur sosial, seperti terjadi pada pergantian rezim orde lama, 1967. Ketika rupiah terpuruk sampai mulai menyentuh Rp 12.000,- (Juli-Agustus 2013 lalu), pemerintah SBY merespons dengan kebijakan PKPE (Paket Kebijakan Penyelamatan Ekonomi). Walau tidak diikuti kebijakan sistemik.
Menunggu “Jokowi-nomics”
Saat itu pemerintah (SBY) hanya mengeluar PKPA untuk meredam melemahnya nilai tukar rupiah, dengan 13 paket. Termasuk pengaturan impor daging dan bahan pangan lain. Tetapi PKPE dinilai tidak memiliki arah untuk mengamankan perekonomian dalam negeri. Bahkan PKPE (jilid satu) dianggap memberi porsi besar kepada makelar importir. Begitu pula pada bulan Desember 2013 pemerintah juga telah melansir PKPE jilid kedua. Tetapi nyaris tanpa peta jalan (mapping-road) efektif untuk memperbaiki perekonomian, terutama pengendalikan impor.
Bertambahnya impor juga menyebabkan bertambah besarnya defisit tahun anggaran berjalan. Saat ini bukan hanya beras dan minyak yang harus diimpor. Melainkan juga daging, susu, kedelai, cabai, bawang merah, sampai obat-obatan juga sangat bergantung pada impor (65% kebutuhan). Utang pemerintah terasa semakin besar, karena nilai dolar melambung (asumsi APBN 2015 sebesar Rp 11.900,- per-dolar AS).
Menghadapi tahun 2015, secara perekonomian masih harap-harap cemas. diperlukan semacam “Jokowi-nomics” maupun “Kalla-nomics” untuk menyelamatkan perekonomian rumahtangga. Prinsipnya, defisit neraca berjalan harus ditekan sampai se-minimal mungkin. Antaralain dengan mengurangi impor. Juga mengurangi utang luar negeri. Saat ini Pemerintah harus membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri  yang lebih mahal 5% lebih mahal (dengan kurs Rp 12.500,-).
Bahan pangan impor harus dikurangi. Selama 10 tahun terakhir impor produk hasil pertanian naik lebih dari 400%. Pada tahun 2013, nilai impor produk pertanian telah mencapai US$ 14,90 milyar (lebih dari Rp 150 trilyun). Padahal pada tahun 2003, nilainya masih US$ 3,43 milyar. Sudah saatnya pemerintah segera menambah lahan pertanian tanaman pangan seluas-luasnya. Masih jutaan hektar tanah negara (dan tanah milik puluhan BUMN terutama Perhutani) tetap dibiarkan terlantar.
Pada sisi lain, pergantian musim saja, selama satu dekade terakhir malah terasa bagai ancaman ekonomi. Musim kemarau dianggap bencana, karena banyak sawah kekurangan air. Musim hujan (apalagi), karena  kondisi lingkungan yang buruk telah menyebabkan banjir dan tanah longsor. Efeknya, secara langsung menghambat mobilitas perekonomian mayarakat diseluruh sektor. Ancaman banjir belum menunjukkan tren surut, inflasi meroket lagi.
Pada situasi miris seperti saat ini, pemerintah perlu mendorong sekuat-kuatnya (dan sungguh-sungguh) potensi usaha mikro dan kecil yang berupa kerajinan, kuliner dan produk agrobisnis. Kontribusi UMKM terhadap penciptaan PDB nasional mencapai 57%. Sisanya dikontribusikan oleh usaha besar (dan pemerintah) hanya 43%. Sayangnya, unit usaha rakyat ini masih dipandang “sebelah mata” oleh perbankan (Bank BUMN sekalipun).
000

Rate this article!
Tags: