Ramadan Bulan Diklat Karakter

Sutawi

Oleh:
Sutawi, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Puasa Ramadan merupakan bulan pendidikan dan pelatihan karakter (akhlak) selama 30 hari bagi umat Islam untuk melatih dan menjaga perasaan, pikiran, perkataan, dan perbuatannya agar memiliki ketahanan terhadap hawa nafsu. Puasa Ramadan disebut juga perang melawan hawa nafsu, yang oleh Nabi Muhammad disebut lebih berat daripada perang Badar.
Nafsu bermakna dorongan hati yang kuat, yang jika ditambah kata hawa (hawa nafsu) biasanya dikaitkan dengan dorongan hati yang kuat untuk berbuat buruk. Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nafsu baik dalam bentuk perbuatan baik dan nafsu buruk dalam bentuk perbuatan buruk. Jika nafsu baik mampu mengalahkan nafsu buruk, maka jadilah manusia berkarakter baik, dan sebaliknya. Ketika berpuasa, seseorang tidak hanya dididik dan dilatih menahan diri dari nafsu buruk, melainkan juga nafsu baik, misalnya makan dan minum di siang hari. Jika nafsu baik bisa dikendalikan, maka nafsu buruk akan lebih mudah dikendalikan.
Dalam Al-Qur’an, kata yang merujuk pada makna nafsu setidaknya disebutkan sebanyak 9 kali, yaitu pada QS. Ali Imran [3]: 39, QS. An-Nisa [4]: 135, QS. Al-Maidah [5]: 30, QS. Yusuf [12]: 53, QS. Taha [20]: 96, QS. Al-Ahzab [33]: 32, QS. Sad [38]: 26, QS. Al-Jasiyah [45]: 23, dan QS. An-Naziat [79]: 40. Al-Quran mengelompokkan nafsu menjadi tiga tingkatan.
Tingkat terendah, nafsu ammarah bissu’ (jiwa yang mendorong berbuat jahat, QS. Yusuf [12]: 53). Nafsu ini mengajak manusia untuk berbuat dosa, melakukan yang haram, dan memotivasi manusia untuk melakukan perbuatan maksiat. Karakter orang yang mempunyai nafsu ini mengikuti kehendak hawa nafsu. Nafsu ammarah senantiasa menyuruh berbuat maksiat, baik ia tahu perbuatan itu jahat atau tidak, baginya baik dan buruk adalah sama saja. Sebagian dari sifat-sifat orang yang mempunyai nafsu ammarah ini antara lain kikir, tamak, sombong, bermewah-mewah, dengki, khianat, dan sifat tercela lainnya.
Tingkat menengah, nafsu lawwamah (jiwa yang menyesal, QS. Al-Qiyamah [75]: 2). Jiwa ini memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafsu ammarah. Jiwa ini menyesali keadaan diri karena merasa kurang melakukan kebaikan dan menyesal atas keburukan yang dilakukan.
Jiwa ini menyukai perbuatan baik, tapi kebaikan ini tidak dapat dipertahankannya, karena di dalam hatinya masih bersarang dorongan maksiat. Jiwa seperti ini belum stabil, masih terjadi pertentangan antara kebaikan dan kejahatan, mengalami goncangan dan kegelisahan, kesedihan dan penyesalan serta pengakuan. Dengan bisikan hati, jiwa ini menyadari kelemahannya dan berusaha kembali kepada kemurniannya. Jika berhasil, maka ia akan mencapai tingkat tertinggi yaitu nafsu muthmainnah.
Tingkat tertinggi, nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang, QS. Al-Fajr [89]: 27-28). Jiwa ini telah mampu menundukkan hawa nafsunya. Jiwa ini senantiasa menyuruh pemiliknya untuk berbuat kebaikan dan taat kepada Allah Swt. Nafsu muthmainnah memiliki karakter pemberi, tawakal, ikhlas beribadah, bersyukur dan ridha dengan segala ketetapan Allah Swt, serta takut kepada-Nya. Jiwa ini tenang dengan mengingat-Nya, berserah diri kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, dan senang karena dekat dengan-Nya. Jiwa muthmainnah berhijrah dari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah menuju kepada perbuatan yang diridhoi-Nya.
Puasa Ramadan pada hakekatnya adalah momentum untuk berhijrah dari nafsu ammarah dan lawwamah menuju nafsu muthmainnah. Keberhasilan seseorang dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan tidak hanya dilihat ketika sedang berpuasa selama sebulan, melainkan pada perubahan karakternya selama 11 bulan setelah menjalankan puasa Ramadan. Jika karakternya semakin baik, berarti puasanya berhasil, dan sebaliknya, jika karakternya tidak semakin baik, berarti puasanya gagal. [*]

Rate this article!
Tags: