Ramadan, Bulan Peningkatan Ketahanan Keluarga

Oleh :
Gandhung Fajar Panjalu,
Penulis berprofesi sebagai Dosen pada Universitas Muhammadiyah Surabaya, sekaligus menjabat sebagai Wakil Dekan 1 bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Agama Islam UM Surabaya. Sedang menyelesaikan Studi Doktoral S3 bidang Hukum Keluarga pada Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

Ramadan merupakan bulan penuh berkah dan istimewa. Ummat Islam menjadikan Bulan Ramadan sebagai bulan dilakukannya “servis besar” terhadap ketaqwaan, selain adanya servis berkala yang dilakukan setiap mimbar jum’at maupun mimbar keagamaan lainnya.
Salah satu bagian yang mendapatkan sentuhan untuk dilakukan perbaikan dalam bulan Ramadan adalah aspek ketahanan keluarga. Bulan Ramadan menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas keluarga guna menggapai tujuan akhir sebagai keluarga sakinah.
Konsep keluarga sakinah memiliki kaitan erat dengan ketahanan keluarga. Sakinah bermakna ketenangan, atau kedamaian. Kata sakana-yaskunu oleh al-Asfahani ditafsirkan sebagai kondisi sesuatu setelah terjadi gejolak (Tsubutu al-syai’ ba’da al-taharruk).
Sementara itu, ketahanan keluarga (family resilience) didefinisikan sebagai kemampuan keluarga untuk menangkal atau melindungi diri dari berbagai permasalahan atau ancaman kehidupan baik yang datang dari dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar keluarga.
Keduanya memiliki kesamaan makna dalam kemampuan membentuk stabilitas dalam keluarga. Dalam praktiknya, terdapat beberapa indikator untuk mencapai ketahanan keluarga tersebut. Masing-masing indikator tidak berdiri sendiri, namun saling berkaitan dan apabila diwujudkan secara bersama-sama dapat menjadikan keluarga menjadi keluarga sakinah.

Ketahanan Fisik
Aspek ketahanan fisik bukan hanya tentang terpenuhinya kebutuhan sandang-papan-pangan. Aspek ketahanan fisik juga bermakna kemampuan untuk menjaga kesehatan seseorang. Sebagaimana diketahui, di antara persoalan yang menyerang ketahanan fisik seseorang adalah terkait dengan asupan makanan dan pola makan.
Kedua hal tersebut dapat diatur dengan baik pada bulan puasa. Pola makan dapat diatur dengan makan saat buka dan sahur. Di sisi lain, apabila melakukan puasa dengan baik dan tidak sekedar memindah jam makan, maka ia tentu seharusnya mengelola apa yang perlu ia konsumsi dengan baik dan wajar sehingga turut serta mengatur asupan makanan yang diperlukan.
Apabila aspek konsumsi ini diatur dengan baik, maka sudah barang tentu seseorang berada selangkah lebih baik dalam menjaga ketahanan fisiknya. Keluarga memiliki peran agar seluruh anggota keluarga juga menjaga pola makan tersebut.
Jika biasanya di luar bulan ramdan banyak mengisi perut dengan makan makanan yang dibeli di tempat makna yang tidak diketahui dengan pasti higienitas maupun kesehatannya, maka beberapa keluarga biasa mengisi bulan Ramadan dengan mengonsumsi olahan masakn sendiri di rumah

Ketahanan Finansial
Bulan puasa menjadi kesempatan untuk mengelola keuangan dengan baik. Apabila seseorang mampu mengambil hikmah puasa dengan baik, tentu ia tidak akna berperilaku konsumtif maupun boros pada bulan puasa.
Berkaitan dengan perihal makanan dalam aspek ketahanan fisik di atas, apabila ia mampu menjaga konsumsinya dengan makan sewajarnya, artinya ia juga tidak gelap mata dengan membeli segala macam jajanan yang bisa jadi berujung pada perilaku tabdzir (menyiakan harta, boros).
Selain itu dalam bulan Ramadan, terdapat pembiasaan yang baik untuk melakukan perilaku filantropis dengan menyisihkan sebagian rezeki yang dimiliki untuk kepentingan yang lebih luas, misalnya untuk beramal, hingga berujung pada kewajiban zakat maal (harta) pada akhir bulan Ramadan.

Ketahanan Psikis
Sangat penting bagi setiap keluarga untuk menjaga emosi masing-masing anggotanya. Apabila emosi yang ada dalam keluarga tidak dikelola dengan baik maka dapat berujung pada karamnya bahtera rumah tangga.
Berbagai penelitian menunjukkan korelasi antara puasa dan kemampuan mengelola emosi. Rasa lapar yang mendera seseorang menjadi sarana untuk berlatih meredam emosi akibat rasa tidak nyaman yang terjadi dalam diri seseorang. Apabila ia mampu meredam gejolak internal, maka lebih mudah baginya saat meredam gejolak dari luar.
Di sisi lain, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa salah satu cara menahan emosi saat berpuasa apabila ada orang lain yang mencela atau mengajaknya bertengkar, maka hendaknya ia mengucapkan “sesungguhnya aku sedang berpuasa”.
Kalimat tersebut bukan hanya sebagai pemberitahuan bagi orang lain bahwa dirinya sedang puasa, lebih dari itu juga sebagai pengingat pada dirinya sendiri agar ia tetap menjaga stabilitas emosinya. Apabila kebiasaan tersebut dilakukan dengan baik niscara ketahanan psikisnya akan lebih terjaga.

Ketahanan Sosial
Keluarga sebagai organisasi sosial terkecil dalam masyarakat dituntut untuk berperan dalam meningkatkan ketahanan sosial yang dimilikinya. Saat berpuasa, seluruh anggota keluarga diajarkan untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan konflik sosial.
Beberapa hal yang perlu ditahan misalnya larangan untuk menggunjing, mencela, maupun perbuatan kotor lain yang dapat mengganggu stabilitas sosial.
Gerakan filantropis sebagaimana pada bagian sebelumnya juga menjadi upaya untuk meningkatkan ketahanan sosial masyarakat. Gerakan tersebut dapat diwujudkan dengan berbagi dengan fakir-miskin, berbagi ta’jil, kajian berbasis komunitas seprti sahur on the road, maupun hal-hal positif lain yang dapat meningkatkan kualitas sosial masyarakat.

Ketahanan Spiritual
Membincang bulan Ramadan, tentu tidak dapat dilepaskan dari ketahanan spiritual. Bagaimanapun juga, puasa merupakan jalan untuk menuju ketaqwaan. Sementara itu, taqwa merupakan manifestasi dari ketahanan spiritual. Beragam majelis ta’lim dapat kita temui pada bulan Ramadan. Kajian bakda subuh, kajian jelang berbuka, kajian ba’da tarawih, maupun mimbar majelis ilmu yang lain. Media sosial dan tayangan televisi-pun banyak yang menayangkan kajian guna meningkatkan spiritualitas semasa Ramadan.
Tentu ini menjadi momentum bagi keluarga untuk bersama-sama mengikuti berbagai kajian tersebut dengan baik. Selain itu, Ramadan juga menjadi peluang untuk meningkatkan ibadah bersama anggota keluarga, misal dengan shalta berjamaah, tadarus bersama, maupun kegiatan lain.

Keluarga Peraih Taqwa
Menjadi individu yang bertaqwa sebagai oleh-oleh dari bulan Ramadan adalah harapan setiap individu. Begitu pula dalam konteks keluarga, tentu berharap agar menjadi keluarga yang bertaqwa.
Buah manis sebagai hasil ketaqwaan dalam keluarga tidak hanya dinikmati di dunia saja, namun hingga di akhirat kelak. Hasil di dunia bisa dinikmati dengan stabilitas keluarga yang tidak mudah goyah atas berbagai persoalan yang muncul sehingga dapat mewujudkan keluarga sakinah.
Sementara itu, kenikmatan di akhirat adalah kemampuan untuk bersama-sama meraih surga sebagai sebaik-baiknya tempat untuk kembali. Semoga Allah menerima puasa kita, dan semoga kita menjadi hamba-Nya yang beruntung dan digolongkan sebagai hamba-Nya yang bertaqwa. Amin.

———— *** ———–

Tags: