Ramadan dan Compulsive Buying

Rahmad Hakim

Oleh:
Rahmad Hakim, Ketua Program Studi Ekonomi Syariah, Universitas Muhammadiyah Malang
Bulan Ramadan, masa pandemi, dan maraknya program belanja online secara masif menjadikan diskursus tentang compulsive buying sangat relevan dewasa ini. Tiga moment tersebut seolah berkelindan menuju satu muara, yaitu beli, beli dan beli.
Lapar dan dahaga selama puasa menjadikan segala bentuk produk, apalagi makanan dan minuman, menjadi menarik. Dan memang tradisi di Indonesia, bahwa bulan ramadhan menjadikan minat konsumsi masayarakat meningkat. Sekilas aneh, tapi nyata. Padahal puasa adalah menahan diri dari makan dan minum, mengapa justru terjadi peningkatan konsumsi?. Hal ini juga disebabkan banyaknya aktivitas diskon dan promo.
Sementara di masa pandemi, sebagaimana lumrah diketahui, dengan beberapa kebijakan pembatasan sosial menjadikan transaksi secara online sebagai solusi. Mudah, fleksibel dan tidak ribet dan repot. Namun jika tidak dikendalikan akan berbahaya, sebab kemudahan membeli seringkali tidak disertai dengan kemampuan untuk melihat isi kantong. Alhasil, bablas!.
Berdasarkan rilis data Dirjen penyelenggaraan Pos dan Infomatika (PPI) Kemenkominfo, dinyatakan bahwa tren belanja secara online masyarakat Indonesia selama pandemi meningkat sebesar 400%. Artinya semakin akses untuk bergerakterbatas, justru aktivitas belanja masyarakat semakin menggurita.
Compulsive buying adalah perilaku menyimpang yang dilakukan seseorang dalam bentuk tindakan belanja yang berlebihan tanpa kontrol, dan dilakukan berulang-ulang sebagai pelarian untuk menghilangkan kecemasan, stress atau gangguan psikis lainnya (Ekasari, 2019). Bahkan menurut Larence, dkk (2014), perilaku ini sejenis dengan candu seseorang terhadap pesta dan juga judi.
Jika tidak segera diatasi dengan baik, perilaku ini dapat mengakibatkan penderita mengalami gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan makan, dan gangguan pengendalian diri (Black, 2007). Ciri kongkrit dari perilaku ini adalah perilaku belanja yang berlebihan padahal barang atau jasa yang dibeli bukan merupakan kebutuhan.
Puasa sejatinya adalah tindakan biang diniatkan untuk menahan hawa nafsu. Para mufassir terkemuka seperti Imam ar-Razi, az-Zamakhsyarihatta Ali as-Shobuni menyepakati bahwa Puasa merupakan sarana menahan diri dari makan dan dan dahaga mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari. Ini merupakan definisi sejarah fiqih.
Namun secara esensi puasa sejatinya adalah menahan hawa nafsu dari segala keburukan. Itulah mengapa Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi tingkatan puasa kepada tiga tingkatan. Puasa tingkatan pertama, adalah puasa dengan hanya memenuhi kriteria puasa dalam fiqih, yaitu menahan hawa nafsu dari lapar dan haus, inilah model puasa orang pada umumnya.
Namun jika kita menginginkan naik kelas, maka kita harus memenuhi kriteria puasa tingkat kedua, yang menurut al-Ghazali dengan menahan diri dari hawa nafsu untuk melakukan keburukan secara lebih umum.Diantaranya adalah menahan hawa nafsu untuk memenuhi keinginan yang berlebihan.
Dalam kategori ini ini, maka compulsive buying dimana terjadi tindakan yang berlebihan dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi keinginannya untuk berbelanja ria tanpa mempertimbangkan aspek kebutuhan atas barang atau jasa yang dibeli tersebut.Sehingga dapat menjerumuskan pelaku kepada kerusakan yaitu kebangkrutan, dalam bahasa al-Quran disebut sebagai perilaku tabzir.
Padahal perilaku berlebihan dalam berbelanja atau tabzir dalam al-Quran digambarkan sebagai salah satu bentuk dari perilaku syaitan (QS. Al-Isra'[111]: 26-27). Maka dari itu perilaku compulsif buyingperlu dihindari, terlebihdi masa Ramadan demi terjaganya kualitas dari ibadah puasa. [*]

Rate this article!
Tags: