Ramadan Dan Fenomena Kenaikan Harga Pangan

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Berdasarkan data Kemendagri (2021) sebanyak 237,53 juta (86,9%) dari 273,32 juta penduduk Indonesia beragama Islam. Umat Islam wajib hukumnya menunaikan rukun Islam keempat yaitu ibadah puasa selama 30 hari pada bulan Ramadan. Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa mulai dari terbit fajar (Subuh) hingga terbenam matahari (Maghrib). Adanya jutaan orang berpuasa yang tidak mengonsumsi makanan pada siang hari seharusnya mengurangi permintaan bahan pangan. Ditinjau dari ilmu pemasaran, jika permintaan barang berkurang, sedangkan penawaran barang tetap, maka dapat menyebabkan penurunan harga barang. Namun, fenomena yang terjadi tidaklah demikian. Harga-harga barang, utamanya bahan pangan pokok, setiap tahun selalu mengalami kenaikan menjelang dan selama bulan Ramadan sampai Idul Fitri. Sesuai dengan Perpres No.59/2020 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, pada pasal 2 disebutkan sebelas bahan pokok pangan yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu beras medium, kedelai, cabai merah, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar.

Harga berbagai komoditas pangan terpantau mengalami kenaikan sejak dua minggu menjelang Ramadan 2022. Kenaikan harga terjadi untuk komoditas cabai, bawang putih, daging ayam, telur ayam, daging sapi, gula pasir, dan minyak goreng. Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) melaporkan sebagian besar bahan pangan pokok mengalami kenaikan harga signifikan pada minggu pertama Ramadan 2022. Minyak goreng curah mengalami kenaikan Rp19.500 per liter, cabai rawit merah Rp60.000 per kilogram, sementara cabai lainnya di angka Rp50.000 per kilogram. Harga bawang merah naik signifikan dari Rp33.000 per kilogram menjadi Rp37.000 per kilogram, bawang putih dari Rp30.000 ke Rp33.500 per kilogram. Di sisi lain, harga daging ayam dari Rp39.000 menjadi Rp40.200 per kilogram. Sementara itu, harga telur dari Rp22.000 per kilogram menjadi Rp25.300 per kilogram. Gula pasir yang masih langka harganya Rp13.500 ke Rp14.500, tepung terigu dari Rp7.500 ke Rp9.000, daging sapi dari Rp140.000 ribu ke Rp143.000.

Fenomena kenaikan harga pangan selama Ramadan dapat ditinjau dari berbagai faktor. Pertama, terjadi peningkatan permintaan (konsumsi) pangan selama bulan Ramadan. BPS (2021) mencatat jumlah konsumsi pangan rata-rata penduduk Indonesia sebanyak 315,6 kg/kapita/tahun atau 26,3 kg/kapita/bulan. Selama Ramadan dan Idul Fitri biasa terjadi kenaikan permintaan pangan sebesar 10-15 persen. Peningkatan konsumsi terjadi karena keluarga yang berpuasa menyiapkan makanan yang lebih banyak, lebih baik, dan lebih bervariasi untuk berbuka dan bersahur. Fenomena ini menimbulkan sindiran bahwa orang puasa hanyalah mengubah waktu makan dari siang hari ke malam hari. Selain itu, peningkatan konsumsi terjadi karena banyak warga yang bersedekah (berbagi) makanan dalam bentuk tradisi Megengan, buka puasa gratis, berbuka puasa bersama, dan sebagainya. Jika permintaan pangan meningkat, sedangkan penawaran pangan tetap atau menurun, maka terjadilah kenaikan harga pangan.

Kedua, penurunan pasokan (produksi) pangan sebagai akibat konversi lahan, faktor alam, perilaku kartel, maupun persaingan perdagangan internasional. Penurunan produksi CPO menyebabkan kenaikan harga CPO dan minyak goreng, yang kemudian diperparah perilaku kartel produsen yang mengurangi pasokan minyak goreng. Kenaikan harga cabai disebabkan oleh penurunan pasokan, sebagai akibat penurunan produksi dan gangguan distribusi. Pada musim penghujan (Februari-Maret), produksi dan pasokan menurun, distribusi terganggu karena banjir dan kerusakan jalan, mengakibatkan harga melambung tinggi. Harga jagung dan kedelai meningkat akibat melonjaknya impor jagung dan kedelai China dari Amerika untuk mengisi kesenjangan pasokan domestiknya, sehingga berdampak berkurangnya pasokan jagung dan kedelai impor ke Indonesia. Kenaikan harga daging sapi diakibatkan terbatasnya pasokan sapi impor dari Australia sebagai imbas dari upaya pemulihan populasi di peternakan sapi negara tersebut. Jika pasokan menurun, permintaan pangan tetap atau meningkat, maka terjadilah kenaikan harga pangan.

Ketiga, kenaikan biaya produksi dan distribusi. Kenaikan harga telur dan daging ayam berkaitan dengan kenaikan harga jagung dan pakan ternak. Dalam struktur biaya produksi ayam ras, biaya pakan memiliki peran 70% dalam perhitungan harga pokok produksi (HPP), sedangkan komponen utama (sekitar 50%) pakan ayam adalah jagung. Biaya distribusi juga berkontribusi besar meningkatkan harga pangan, karena produksi pangan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, sedangkan konsumen tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini mengakibatkan besarnya marjin perdagangan dan pemasaran (MPP) dari daerah surplus ke daerah defisit. Survei Kemendag (2021) melaporkan MPP dari tingkat produsen sampai pedagang eceran pada komoditas beras sebesar 23,2%, gula 29,6%, jagung 9,9%, cabai 55,9%, kedelai 2,8%, bawang putih 21,2%, dan daging sapi 27,3%. Biaya MPP akan semakin membesar akibat berbagai kebijakan pemerintah awal tahun 2022 seperti kenaikan BBM pertamax, PPN 11% dan tarif tol.

Keempat, peningkatan daya beli. Daya beli masyarakat meningkat karena pemberian gaji tambahan dan Tunjangan Hari Raya (THR) dari pemerintah kepada ASN (Aparatur Sipil Negara) dan dari perusahaan kepada pekerjanya. Kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef, 2019) menyebutkan gaji ke-13 dan THR memiliki dampak yang lumayan besar pada kenaikan konsumsi rumah tangga hingga 5 persen. BPS (2021) mencatat sebanyak 55,5% (Rp 518.073) dari rata-rata pengeluaran rumah tangga sebesar Rp 933.695/kapita/bulan digunakan untuk konsumsi pangan. Bagi pengusaha, beban THR pekerja ini bisa saja dikompensasi pada kenaikan harga agar tidak mengurangi keuntungan perusahaan. Bagi pedagang, THR memberi efek psikologis untuk menaikkan harga untuk bekal Idul Fitri sebagai kompensasi THR yang tidak mereka dapatkan dari pemerintah atau pengusaha. Center of Reform on Economics (CORE, 2021) memperkirakan inflasi pada bulan April 2022 berada pada kisaran 0,6-0,8 persen. Besaran inflasi tersebut merupakan kombinasi dari cost push inflation (dorongan biaya) dan demand pull inflation (tarikan permintaan) selama Ramadan.

——— *** ———-

Tags: