Ramadan dan Televisi

Sugeng WinarnoOleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Bulan Ramadan telah tiba. Seperti pada setiap Ramadan, stasiun televisi berlomba membuat acara bertema ibadah. Tidak hanya ceramah dan pengajian semata, acara sinetron, film, kuis, musik, talkshow, dan variety show bertabur bintang dikemas menawan. Beragam produk barang dan jasa seperti sarung, aneka minuman dan makanan antri menyela diantara jeda waktu tayangan yang ada.
Ramadan memang bulan berkah bagi siapa saja, tidak terkecuali televisi. Hampir semua stasiun televisi memanfaatkan momentum bulan suci ini untuk mengais rejeki. Waktu menjelang berbuka dan saat sahur tiba adalah waktu berharga bagi televisi untuk “menjual” Ramadan. Beragam acara berlabel “Islami” dibuat dengan barisan iklan produk barang dan jasa silih berganti muncul merayu penonton.
Relasi antara Ramadan dan televisi seakan tidak bisa dipisah. Melalui televisi syiar Ramadan memang bisa jadi lebih bergema. Disisi lain, melalui momentum Ramadan, televisi bisa mendulang keuntungan berlimpah lewat kejelian dan kepandaian para pembuat program acara yang dapat mengundang berjuta pemirsa.
Ramadantainment Televisi
Tayangan Ramadan dibuat dengan kemasan yang memikat dan menghibur. Pembuat program tidak jarang justru melupakan unsur edukasinya. Program Ramadan muncul dengan balutan hiburan yang sangat menonjol. Inilah yang diistilahkan dengan Ramadantainment. Fenomena ini terus berulang dari tahun ke tahun hingga menjadi sebuah kebiasaan.
Selama ini tayangan Ramadan sangat minim edukasi. Penonjolan pada sisi hiburan terlalu dominan. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bidang Informasi dan Komunikasi, Sinansari Ecip mengimbau agar stasiun televisi menyiarkan tayangan Ramadan yang mendidik. Tayangan hendaknya memberikan ajaran untuk anak-anak dan mengajak berfikir bagi orang dewasa (ROL, 12/6/2015).
Pada Ramadan 1436 Hijriyah tahun ini, beberapa stasiun televisi telah menyiapkan paket acara andalannya. Stansiun televisi Trans 7 misalnya, membuat 14 tayangan spesial Ramadan. Stasiun televisi ini juga menyiarkan tayangan saat sahur dengan tajuk “Alhamdulillah Kita Sahur” dengan suguhan komedi dari Komeng, Parto, Aziz Gagap, Saipul Jamil, Nassar, Lolita, Ayu Dewi, dan Mimin.
Sementara itu, SCTV bakal mengulang sukses Ramadan tahun lalu dengan kembali mengusung program seperti “Mutiara Hati”, “Mengetuk Pintu Hati”, dan sinetron “Para Pencari Tuhan” yang telah memasuki jilid 9 pada tahun ini, serta jilid ketiga dari “3 Sempruuul Mengejar Surga”. Sedangkan stasiun televisi TV One menyajikan program Ramadhan “Menuju Satu Kemenangan” yang akan menemani pemirsa setia TV One dalam menjalankan ibadah puasa.
Selama ramadan, jam tayang padat penonton (prime time) juga berubah. Waktu ramai penonton yang biasanya sore hingga malam bergeser menjadi dini hari saat sahur dan sore menjelang buka puasa. Waktu sekitar jelang azan Magrib dan antara pukul 02.00 hingga Subuh menjadi waktu strategis yang banyak dipilih stasiun televisi untuk menayangkan acara unggulannya.
Beragam cara dilakukan televisi demi mendulang jumlah penonton dan pemasang iklan yang berlimpah. Situasinya memang klop. Disaat banyak produsen produk dan jasa berniat mempromosikan dagangannya, disaat itulah televisi menawarkan jasannya. Televisi butuh iklan dan para pemasang iklan ingin agar produknya cepat laku hingga uangpun segera di saku.
Televisi itu Industri
Televisi swasta nasional kita memang industri. Karena orientasi utamanya adalah bisnis, maka ideologinya adalah uang. Apapun akan dilakukan televisi guna mendapat pundi-pundi rupiah yang terus berlimpah. Disinilah menjadi salah satu pemicu mengapa unsur hiburan (entertaint) yang lebih menonjol di hampir setiap acara televisi, termasuk program Ramadan. Dalam hubungan ini, mengutamakan selera pasar menjadi orientasi pertama televisi.
Dalam kebanyakan program Ramadan, acara disajikan dalam bingkai religius. Suasana religius dipadu dengan budaya pasar. Perpaduan yang sungguh bertolak belakang karena selera pasar kecenderungannya jauh dari sifat religiusitas. Selera pasar lebih condong pada sifat hedonis, penuh tipu daya yang selalu mengutamakan kepentingan materi.
Televisi nampak tidak banyak peduli pada tanggungjawab moral kepada masyarakat penontonnya. Kenyataan ini benar adanya seperti yang pernah dikemukakan oleh Dannis McQuail (1996) yang menyatakan bahwa pada dasarnya tayangan televisi itu lebih bersifat non moral. Artinya, para produser, sutradara, tim kreatif, penulis naskah, juru kamera, editor, dan semua kru produksi tidak banyak berfikir akibat yang ditimbulkan dari acara yang telah dibuatnya.
Simak saja acara Ramadan yang dibumbui kuis. Acara kuis dengan iming-iming hadiah berlimpah bisa berdampak masyarakat menjadi malas dan berjiwa pengemis. Acara kuis dengan pertanyaan remeh temeh, hadiahnya bisa jutaan rupiah, bahkan bisa dapat paket perjalanan umroh. Cara ini tentu tidak mendidik, karena masyarakat akan cenderung berangan-angan untuk mendapatkan sesuatu tanpa pengorbanan yang berarti.
Para pengisi acara dan para artis pendukung yang di luar Ramadan terbiasa tampil dengan busana superketat, tiba-tiba didandani Islami dengan kerudung atau jilbab ala kadarnya. Kemasan acara tausyiah juga tidak kalah konyolnya. Tidak sedikit para da’i yang disandingkan dengan para komedian dalam satu acara. Bahkan ada juga acara yang menampilkan seorang penceramah agama yang masuk dalam program yang full komedi.
Acara yang dibalut Ramadan di televisi lebih pada target mengharap sorak sorai, tepuk tangan dan ajang tertawaan belaka. Acara Ramadan lebih hedonis dan profan semata tanpa mampu menghadirkan suasana hati dalam perenungan pesan-pesan dakwanya. Kondisi ini semakin diperburuk dengan iklan-iklan yang berseliweran yang selalu mengajak penonton berperilaku konsumtif. Apalagi diantara bintang iklan produk tertentu itu adalah sang ustad atau ustadah narasumber utama acara yang sedang ditayangkan.
Neil Postman (1985) dalam bukunya “Amusing Ourselves to Death” menyatakan bahwa televisi telah membuat hiburan sebagai format dasar penggambaran segala sesuatu. Hiburan merupakan supra ideologi segala sajian televisi. Televisi tidak terlalu ambil pusing dengan apa yang sedang ditayangkan itu berdampak buruk dan tidak mendidik. Apapun yang tersaji yang penting menghibur dan menyenangkan penonton.
Dampak acara Ramadan di televisi sungguh tidak kecil. Sepenuhnya dampak yang ditimbulkan televisi lebih dominan menjadi tanggungjawab masyarakat penonton. Kondisi ini semakin diperburuk karena televisi adalah media yang sangat perkasa. Dalam konteks agenda setting, televisi selalu punya agenda-agenda tersendiri yang ditembakkan secara terus menerus kepada pemirsa. Alhasil, masyarakatlah yang menjadi bulan-bulanan televisi, tanpa mampu melawannya.
Hati-hati menonton televisi saat Ramadan. Bagi pemirsa televisi perlu kemampuan melek media (media literacy) agar mampu menangkal sisi gelap media audio visual yang populer itu.  Seperti juga telah diingatkan Postman, layar televisi mempunyai bias yang cenderung mengarah pada sekularisme. Untuk itu mari bijak bermedia, tonton televisi kalau memang baik, kalau tidak, matikan saja. Klik!3

                                                                                                      ——————— *** ——————–

Rate this article!
Ramadan dan Televisi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: