Ramadan, Momen Kembali ke Jalan Lurus

Asri Kusuma Dewanti

Oleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Sikap bersih dan baik yang diwujudkan dalam kehidupan bersama harus menjadi budaya sehari-hari. Dengan puasa Ramadan, sikap ta’awun atau soldaritas sosial yang luhur itu merupakan hasil dari proses transedensi (hablu min Allah) yang membuahkan sifat kemanusiaan yang luhur (hablu min al-nas) yang bersifat serbautama.
Dalam Islam, hablu min Allah itu harus tecermin dalam hablu min al-nas begitu pula sebaliknya (QS Ali Imron: 112). Artinya, setiap Muslim yang melakukannya memang lahir dari panggilan iman dan ketauhidan yang kuat sehingga membentuk solidaritas sosial yang kuat, jernih, dan serba baik.
Melalui berpuasa Ramadan, kita mengembalikan harkat kemanusiaan kita yang lebih mulia dari segala yang ada di dunia ini sebagai makhluk ciptaan Allah. Kitalah yang mengendalikan harta, bukan harta mengendalikan kita. Kitalah yang mengendalikan makanan, bukan makanan yang mengendalikan kita. Kita kembalikan jalan hidup kita ke jalan lurus.
Bertumpuknya hikmah Ramadan ini sesungguhnya bisa dikembalikan pada semangat Islam, yakni semangat pembebasan yang integratif dengan spirit kemanusiaan. Ramadan menjadi pijakan untuk meneguhkan fitrah yang menghajatkan dimensi ekologis yang kental dengan dimensi transendental untuk menggapai keadilan hakiki. Dalam semangat fitrah terpapar etika untuk mencapai kesalehan secara masif, tidak serta-merta transendental, juga tanpa pengebirian terhadap kesucian hak manusia lainnya.
Spirit semacam ini akan menghalau kesenjangan sosial, sikap serba cuek dengan sekitarnya. Jika semangat pembebasan telah berurat akar, fitrah manusia akan kembali menemukan harmonisasi di tengah kosmos. Kehidupan yang merupakan pancaran aura ketuhanan dengan potensi azali manusia akan saling bersahutan demi membangun masyarakat yang adil.
Kemiskinan, kebodohan, dan borjuasi kehidupan telah menggurita di berbagai lapisan masyarakat. Kaum Muslim hanya berkompetisi di depan publik dengan pemberian hadiah pada saat momen religius saja. Di luar itu, basis kebajikan manusia kembali mengakar pada teosentrisme, sebuah hal yang lagi-lagi dilogikakan demi kepentingan Tuhan yang sebenarnya. Seorang Muslim yang baik semestinya tidak mengukur pahala sebagai standardisasi pola kerja kebajikannya, tetapi menggunakan realitas sosial sebagai parameter kesuksesan kebajikan.
Oleh sebab itulah, manusia bertakwa sejati pasti memiliki kesadaran tinggi untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan kepada sesamanya, jujur, setia kawan, empati, rendah hati, memaafkan, toleran, penuh kasih sayang, dengan menunda kesenangan sementara menuju kemenangan, kebahagiaan, dan kemuliaan hidup jangka panjang.
Melalui puasa yang menumbuhkan semangat solidaritas sosial, akan tercipta kehidupan sosial yang religius, bermoral, demokratis, harmoni, kebersamaan, toleransi, dan saling menjunjung tinggi martabat kemanusiaan tanpa diskriminasi. Nilai-nilai kebaikan tersebut bagi setiap Muslim yang berpuasa akan tecermin dalam perilaku yang tulus, jernih, kata sejalan dengan tindakan, serta tidak mengada-ada sebagai sebuah sikap yang semu dan sesaat. Dengan demikian, akan tercipta kehidupan manusia yang bermakna di dunia dan akhirat.
Walhasil, saatnya kita berdoa dan bertekad kembali agar puasa Ramadan tahun ini bisa menyadarkan dan mencerahkan kita semua untuk kembali ke jalan lurus. Jalan menuju transformasi diri yang berangkat dari kesadaran spiritual individual dan kemudian berurutan mewujud dalam kesadaran sosial sehingga bisa membawa manfaat bagi negeri kita tercinta ini, yang tengah membangun dalam suasana plural dan multikultural. ***

Rate this article!
Tags: