Ramadan sebagai Solusi Krisis Moral

Oleh:
M Agus Muhtadi Bilhaq
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Pontianak

Bulan suci Ramadan biasanya disambut umat Islam sedunia dengan berbagai seremoni ritual dan kultural. Masing-masing tempat memiliki cara dan keunikan tersendiri dalam menyambutnya. Sekolah-sekolah, perusahaan, bahkan toko-toko dan pusat perbelanjaan pun tak mau ketinggalan ikut meramaikan penyambutan Ramadan. Acara-acara yang bertajuk Ramadan pun mulai menyeruak di berbagai media.
Ibadah apapun, baik yang wajib maupun sunnah, menjadi lebih sering dikerjakan, mulai dari salat tarawih, tadarus, serta ibadah-ibadah lainnya. Tak lain semua dilakukan agar mendapatkan pahala yang melimpah dari sang pencipta. Sebagaimana yang dijanjikan oleh-Nya; bahwa semua ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadan yang didasari dengan niatan lillahita’ala akan dilipat gandakan pahalanya.
Apabila ditinjau dari kacamata sejarah agama, maka ritual puasa sendiri sebenarnya tidak hanya dikenal dalam Islam. Jauh sebelum nuzul-nya Islam, umat beragama maupun kaum terdahulu telah melaksanakan ritual ini. Sebagaiman yang dilakukan oleh kaum Shabi’in yang berpuasa selama 30 hari, orang Budha yang berpuasa (uposatha) sebagai cara untuk melakukan pengendalian diri terhadap nafsu indera, serta agama-agama lainnya seperti Hindu, Yahudi, dan Katolik pun memiliki konsepsinya sendiri tentang puasa. Hal ini semakin dipertegas al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS: Al-Baqarah: 183).
Berkaitan dengan ayat di atas, tujuan utama puasa adalah membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa. Takwa merupakan induk dari segala kebajikan dan asal dari segala kesalehan, baik bagi individu maupun masyarakat. Orang yang bertakwa memiliki kesadaran bahwa dirinya senantiasa dilihat, didengar, dan diketahui oleh-Nya. Seseorang mungkin bisa berbohong dan mengaku dirinya sedang berpuasa kepada orang lain, tetapi tidak mungkin bisa berdusta kepada Allah Swt.
Meski demikian, tidaklah cukup dengan hanya memperhatikan sisi teologis ibadah puasa. Dimensi sosialnya pun tidak boleh terlupakan. Dengan kata lain, nilai-nilai ibadah puasa Ramadan harus tercermin dalam keseharian seorang muslim ketika menjalani kehidupan. [*]

Rate this article!
Tags: